Powered By Blogger

Laman

Minggu, 07 Maret 2010

REFORMASI PERENCANAAN TATA RUANG KOTA

REFORMASI PERENCANAAN TATA RUANG KOTA

Oleh:
Sunardi


Pendahuluan
Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di sekitarnya.
Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik dan psikhis) masyarakat.
Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi: (a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak kejahatan; (b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok pemuda. Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar kelompok preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.
Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %), sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan.

Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia
Kiranya pemerintah telah menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.
Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning yang ketat.
Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.
Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.
Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.
Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.

Reformasi perencanaan kota
Di Indonesia reformasi total telah digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya perubahan/reformasi.
Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue print).
Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning.
Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.
Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang kota antara lain:
1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.
2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning. Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.
4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.
5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.
6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan men-jadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda.

kab kota di sumut

No. Kabupaten/Kota Ibu kota 1 Kabupaten Asahan Kisaran 2 Kabupaten Batu Bara Limapuluh 3 Kabupaten Dairi Sidikalang 4 Kabupaten Deli Serdang Lubuk Pakam 5 Kabupaten Humbang Hasundutan Dolok Sanggul 6 Kabupaten Karo Kabanjahe 7 Kabupaten Labuhanbatu Rantau Prapat 8 Kabupaten Labuhanbatu Selatan Kota Pinang 9 Kabupaten Labuhanbatu Utara Aek Kanopan 10 Kabupaten Langkat Stabat 11 Kabupaten Mandailing Natal Panyabungan 12 Kabupaten Nias Gunung Sitoli 13 Kabupaten Nias Barat Lahomi 14 Kabupaten Nias Selatan Teluk Dalam 15 Kabupaten Nias Utara Lotu 16 Kabupaten Padang Lawas Sibuhuan 17 Kabupaten Padang Lawas Utara Gunung Tua 18 Kabupaten Pakpak Bharat Salak 19 Kabupaten Samosir Pangururan 20 Kabupaten Serdang Bedagai Sei Rampah 21 Kabupaten Simalungun Raya 22 Kabupaten Tapanuli Selatan Sipirok 23 Kabupaten Tapanuli Tengah Pandan 24 Kabupaten Tapanuli Utara Tarutung 25 Kabupaten Toba Samosir Balige 26 Kota Binjai Binjai Kota 27 Kota Gunung Sitoli - 28 Kota Medan - 29 Kota Padang Sidempuan - 30 Kota Pematangsiantar - 31 Kota Sibolga - 32 Kota Tanjung Balai - 33 Kota Tebing Tinggi -

TUGAS URBAN & REGIONAL PLANNING[IV NEOLIBERALISM AND FLEXI LABOR MARKET]

2010

AHMAD ROYHAN MASHURI HARAHAP

06 0404 105




TUGAS URBAN & REGIONAL PLANNING[IV NEOLIBERALISM AND FLEXI LABOR MARKET]

Since the 1997s,macroeconomic policy under the noeliberalism has ,in the main adopted a ‘ fight inflation first ‘ strategy. In recent years the battle appears to have been won. The cost, however has been high……


IV NEOLIBERALISM AND FLEXI LABOR MARKET
Since the 1997s,macroeconomic policy under the noeliberalism has ,in the main adopted a ‘ fight inflation first ‘ strategy. In recent years the battle appears to have been won. The cost, however has been high. Based on largerly correct diagnosis that the major driver or inflation was wage pressures, neoliberal policy has effectively jettisoned the postwar full-employment priority. Instead, macroeconomic policy, through policies of slow growth of this period to occasional policy-induced recession, has attempted for much of this period to discipline labour trough high unemployment. On the fiscal policy front, governments have pursued stringency, aimed at balanced or surplus budgets and low taxes, and this has added a disinflation and public-sector slimming bias to policy. Monetary policy, through the setting of short-term interest rates, has been used aggressively on several occasions, most spectacularly in the high interest rate squeeze and subsequent deep recession of the early 1990s. Complementing all this, microeconomic and industrial relations policy has focused on increasing labour-market competitiveness and removing market protections and award conditions. Despite sound evidence that Australia already has levels of labour-market flexibility paralleling the much vaunted levels found levels found in the US ( Gregory, Klug and Martin 1999 ), Prime Minister Howard has spoken of the need for an ‘ infinitely more flexible ‘ labour market. The main aim is to discipline labour and return it to the status of commodity subject to the price signal. The combined result of this policy framework thus far have been high unemployment., as well as increasing wage dispersion and rising market inequality, proverty and inadequate provision of government relief in term of labour-market programs and job creation. Little wonder that by the mid-1990s, over one-third of the unemployed had become long-term unemployed and almost one-third of the Australian population was in receipt of some from of social security benefit.
There have been some policy bright spot. In the 1980s, under the Prices and Income Accord, federal labour governments did attempt to move beyond austerity policies and adopt a Keynesian-style strategy that aimed at expansionary, job-creating economic policy. The idea was to run the economy harder to create jobs while keeping the lid on inflation through a negotiated wage-moderation strategy with the union – the accord. The policy worked well for a period but came to grief as the expanding economy ran into a ‘ banana republic ‘ current account crisis and later suffered from a heavy-handed policy response in the face of an economic boom. Essentially, the economy was running too hard and because of underlying structural economic weakness, was pulling in too many exports and building up what many considered to be worrying levels of foreign debt. By the late 1980s, as we know, a major boom was under way, soon to be brought down by highly restrictions policy – later interrupted by leaders such as Paul Keating as the ‘ recession we had to have ‘. In the wake of the recession, under the banner of the Working Nation program, Labour tried t mount remedial labour-market programs aimed particularly at the growing queues of long-term unemployed. Labor also tried, largely successfully, to compensate for rising market inequality an wage moderation trough the welfare system. The problem was that Labor’s strategy of compensation was becoming fiscally unsustainable ( at least on the existing tax and revenue base ). In the 1996, the incoming conservative coalition government slashed expenditure on these program and has since concentrated mainly on privatizing job-broking end employment services. The coalition has tightened fiscal policy further, and wage and labor-market ‘ flexibility ‘ has become the leitmotif of employment policy.








IV NEOLIBERALISME DAN KEFLEKSIBELAN BURSA TENAGA KERJA

Sejak tahun 1997-an, kebijakan makroekonomi telah berada di bawah paham noeliberalis, dalam mengadopsi strategi 'melawan inflasi pertama'. Dalam beberapa tahun terakhir sepertinya persaingan telah dimenangkan. Biaya, telah tinggi (melambung). Berdasarkan diagnosis yang secara luas benar bahwa pengarah utama atau tekanan inflasi, kebijakan neoliberal telah disingkirkan secara efektif sesudah perang prioritas tiadanya pengangguran. Sebaliknya, kebijakan ekonomi makro, melalui kebijakan-kebijakan pertumbuhan yang lambat pada periode ini untuk sesekali resesi akibat kebijakan, telah dicoba untuk beberapa periode ini untuk mendisiplinkan tenaga kerja pengangguran tinggi. Pada kebijakan fiskal, pemerintah telah mengejar secara ketat, yang tujuannya untuk menyeimbangkan atau surplus anggaran dan pajak rendah, dan ini telah menambahkan disinflasi dan sektor publik mengurangi penyimpangan kebijakan . Kebijakan moneter, melalui penetapan jangka pendek tingkat suku bunga, telah digunakan secara agresif pada beberapa kesempatan, paling spektakuler untuk menekan tingkat bunga yang tinggi dan selanjutnya dalam resesi dari awal 1990-an. Untuk melengkapi semua ini, ekonomi mikro dan kebijakan hubungan industrial telah difokuskan pada peningkatan daya saing pasar tenaga kerja dan menghapus perlindungan pasar dan kondisi penghargaan. Meskipun bukti suara bahwa Australia sudah memiliki tingkat fleksibilitas pasar tenaga kerja sejalan dengan yang banyak ditemukan membanggakan di Amerika Serikat (Gregorius, Klug dan Martin 1999), Perdana Menteri Howard telah berbicara tentang perlunya ' fleksibilitas tak terbatas' pasar tenaga kerja . Tujuan utama adalah untuk mendisiplinkan tenaga kerja dan mengembalikannya ke status komoditas pokok pada sinyal harga. Hasil kombinasi dari kerangka kebijakan ini sejauh ini telah menciptakan pengangguran yang tinggi, Dan juga meningkatkan kenaikan upah pasar dispersi dan ketidaksamaan, proverty dan tidak memadai penyediaan bantuan pemerintah dalam hal program pasar tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja. Agak mengherankan bahwa pada pertengahan 1990-an, lebih dari sepertiga dari pengangguran telah menjadi pengangguran jangka panjang dan hampir sepertiga dari penduduk Australia sudah menerima sebagian dari tunjangan keamanan sosial.

Ada beberapa kebijakan yang telah menjadi titik terang. Pada 1980-an, di bawah Harga dan Pendapatan yang sesuai, tenaga kerja pemerintah federal melakukan upaya untuk bergerak melampaui kebijakan penghematan dan mengadopsi gaya strategi – Keynes yang ditujukan untuk memperluas kebijakan ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan. Idenya adalah untuk menjalankan perekonomian yang lebih sulit untuk menciptakan lapangan kerja sekaligus mempertahankan agar tertutup terhadap inflasi melalui strategi negosiasi upah yang di modernisasi dengan persetujuan serikat buruh. Kebijakan bekerja dengan baik untuk jangka waktu tertentu tapi menjadi kabar buruk sebagai perkembangan ekonomi dengan 'banana republik' rekening krisis sekarang dan kemudian cukup dari respon kebijakan yang banyak bercampur tangan dalam menghadapi perekonomian yang naik turun dengan tiba-tiba. Pada dasarnya, ekonomi berjalan terlalu keras dan karena kelemahan ekonomi struktural yang mendasarinya,telah menarik terlalu banyak ekspor dan membangun apa yang banyak dianggap mengkhawatirkan terhadap tingkat utang luar negeri. Pada akhir 1980-an, seperti yang kita tahu, sebuah ledakan besar sedang berlangsung, segera akan diturunkan oleh pembatasan kebijakan yang tinggi - kemudian terganggu oleh para pemimpin seperti Paul Keating sebagai 'resesi yang harus kita miliki'. Sebagai akibat dari resesi, di bawah bendera Program Kerja Nasional, Serikat Buruh mencoba memperbaiki program pasar tenaga kerja yang ditujukan khususnya pada pertumbuhan pengangguran jangka panjang. Pekerja juga telah mencoba, sebagian besar berhasil, untuk mengimbangi peningkatan pasar yang tidak merata moderasi suatu upah melalui sistem kesejahteraan. Masalahnya adalah bahwa strategi Perburuhan sebagai kompensasi fiskal yang tidak berkelanjutan (setidaknya pada pajak dan pendapatan dasar). Pada tahun 1996, pemerintahan koalisi konservatif yang memangkas pengeluaran pada program tersebut dan sejak itu terutama terkonsentrasi pada privatisasi pekerjaan-pialang pelayanan ketenagakerjaan. Koalisi ini telah memperketat kebijakan fiskal lebih lanjut, dan upah dan pasar tenaga kerja yang 'fleksibel' telah menjadi motif utama kebijakan tenaga kerja.
KESIMPULAN
1. Di Australia, kebijakan ekonomi makro dipengaruhi paham neoliberalis
2. Pada kebijakan fiskal, pemerintah menargetkan anggaran yang seimbang atau surplus dan menurunkan pajak
3. Dalam resesi ekonomi tahun 1990-an, kebijakan moneter diterapkan,diantaranya dengan menekan tingkat suku bunga
4. Ekonomi mikro dan kebijakan hubungan industrial, dengan peningkatan daya saing pasar tenaga kerja dan menghapus perlindungan pasar
5. Hasil kombinasi dari kebijakan tersebut, sejauh ini telah menciptakan pengangguran yang tinggi, dan juga meningkatkan kenaikan upah pasar dispersi dan ketidaksamaan,dan pemerintah tidak sanggup dalam hal menciptakan kerja.
6. Pada tahun 1980-an, ada beberapa titik terang kebijakan ekonomi yaitu dengan mengadopsi strategi Keynes, menciptakan lapangan pekerjaan, dan lain-lain
7. Dalam menangani perekonomian yang naik dan turun secara tiba-tiba dengan lebih banyak mencampuri permasalahan perekonomian dalam negri
8. Akibat resesi, di bawah bendera Program Kerja Nasional, Serikat Buruh mencoba memperbaiki program pasar tenaga kerja yang ditujukan khususnya pada pertumbuhan pengangguran jangka panjang
9. Pada tahun 1996, pemerintahan koalisi konservatif memangkas pengeluaran pada program kerja nasional tersebut dan sejak itu terutama terkonsentrasi pada privatisasi pekerjaan-pialang pelayanan ketenagakerjaan.

PERENCANAAN PROPOSAL " SIMPANG CROSS BERSINYAL DENGAN METODE IHCM 1997 "

Kamis, 08 Oktober 2009
PERENCANAAN PROPOSAL " SIMPANG CROSS BERSINYAL DENGAN METODE IHCM 1997 "
Diposkan oleh joko harisiswanto di 05:42 Label: PROPOSAL SKRIPSI TEKNIK SIPIL
Latar Belakang
Masyarakat hidup dengan berbagai aktivitas dan rutinitas yang berbeda-beda. Diperlukan pula berbagai sarana dan prasarana guna menunjang pergerakan aktivitas dan rutinitas tersebut, salah satunya adalah sarana jalan raya. Dapat dilihat bahwa jalan raya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hidup masyarakat, dalam kehidupan social maupun ekonominya demi peningkatan taraf hidup mereka. Dapat disimpulkan bahwa jalan raya mempunyai fungsi utama sebagai prasarana untuk melayani pergerakan manusia dan barang secara aman, cepat, efektif, dan ekonomis.
Di era modern ini banyak terjadi peningkatan arus pergerakan dan juga barang, Kota Surakarta sebagai kota perdagangan tentu semakin berkembang dengan tumbuhnya berbagai macam industri. Dengan begitu sudah dapat dipastikan bahwa sarana dan prasarana harus semakin diseimbangkan, terutama mengenai transportasi. Pembangunan jalur- jalur alternatif dapat difungsikan sebagai sarana arus pergerakan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Namun tampaknya pembangunan jalur tersebut tidak sesuai dengan ukuran arus pergerakan dan barang, sehingga jalur alternatif tidak berjalan secara optimal. Terbukti dengan masih adanya kemacetan-kemacetan lalu lintas dibeberapa titik tertentu, terutama pada jam- jam sibuk seperti di pagi hari.
Simpang merupakan titik simpul dari jaringan jalan yang mempunyai peranan penting dalam memperlancar transportasi. Dengan adanya simpang apalagi simpang yang sudah dilengkapi dengan traffic light sudah barang tentu mempermudah akses berlalulintas, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dapat diminimalkan. Selain daripada itu simpang juga merupakan titik temu antara lintasan-lintasan pergerakan kendaraan yang berlawanan arah, dimana ruang dan waktu digunakan secara bersamaan, yang juga dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Simpang Luwes Gladak yang terletak di Jalan Slamet Riyadi Surakarta, Jalan Kapt. Mulyadi, dan Jalan May. Sunaryo adalah salah satu dari sekian banyak simpang yang ada di Surakarta.
Persoalan-persoalan lalu lintas akan timbul pada simpang yang ada, maka sangatlah diperlukan pemikiran cermat dan sikap bijaksana untuk menanggulangi persoalan tersebut dimana keselamatan dan kelancaran berlalulintas menjadi prioritas utama.
Untuk mengetahui apa saja persoalan yang timbul dalam lalu lintas dapat dilakukan sebuah penelitian maupun survey lapangan. Persoalan tersebut biasanya masih disebabkan oleh adanya simpang yang dibawah standar geometri yang berpengaruh terhadap arus jenuh dan kinerja simpang itu sendiri.
Berdasarkan persoalan-persoalan yang timbul perlu direncanakan pengaturan tepat dan efisien dengan simpang bersinyal, dengan mempertimbangkan kepadatan lalu lintas pada jam-jam tertentu yang dapat mengakibatkan kemacetan panjang.


C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi kinerja existing simpang?
2. Bagaimana kondisi kinerja simpang jika diatur dengan simpang bersinyal?

D. Batasan Masalah
Agar penelitian tidak meluas dan dapat terarah sesuai dengan tujuan penelitian, maka diberi batasan-batasan masalah yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian, yaitu di simpang Luwes Gladak (pertemuan Jl. Slamet Riyadi, Jl. Kapt. Mulyadi, Jl. May. Sunaryo)
2. Geometri persimpangan dan kondisi lingkungan berdasarkan kondisi kenyataan.
3. Jenis kendaraan yang disurvei :
a. Kendaraan ringan (LV) seperti mobil penumpang, kendaraan pribadi, dan mobil box.
b. Kendaraan berat (HV) seperti truk 2 as, truk 3 as, truk gandeng, dan bus.
c. Sepeda motor (MC).
d. Kendaraan tak bermotor seperti gerobak, sepeda, dan becak.
4. Arus lalu lintas berdasarkan jam sibuk yaitu pagi hari pukul 06.00-08.00 WIB, siang hari pukul 11.00-13.00 WIB, sore hari pukul 16.00-18.00 WIB, dan yang digunakan dalam analisa perhitungan adalah arus lalu lintas selama satu jam terpadat.
5. Ukuran kinerja simpang yang diteliti meliputi panjang antrian, kendaraan terhenti, serta tundaan yang terjadi.
6. Perhitungan kinerja existing simpang Gendengan.
7. Pedoman untuk analisa perhitungan menggunakan IHCM (1997).

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi kinerja existing simpang.
2. Untuk mengetahui kondisi kinerja simpang bersinyal.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi tentang kinerja simpang, apakah pemakai jalan yang melewati simpang dapat secara optimal tertampung atau tidak, masih mengalami kemacetan dan keterlambatan atau tidak, serta dapat memberikan perlindungan atau tidak bagi pemakai jalan agar merasa aman dan nyaman.
2. Menambah pengetahuan dalam merencanakan simpang bersinyal dengan menggunakan metode Indonesian Highway Capacity manual (1997).



G. TINJAUAN PUSTAKA
A. Simpang
Menurut O’flaherty (1997), simpang merupakan pertemuan dua jalan atau lebih dimana merupakan potensi terjadinya konflik lalu lintas. Simpang dapat dibagi berdasarkan format dasar dan segi pengaturan. Bentuk simpang berdasarkan format dasar dapat dilihat pada gambar berikut :

Bentuk simpang berdasarkan format dasar
Sumber : Transport Planning and Traffic Engeneering O’Flaherty, 1997


Dari segi pengaturan, simpang dapat dibedakan menjadi :
1. Simpang sebidang (at-grade junctions)
Menurut Hobbs (1995), simpang jalan sebidang yaitu jalan yang berpotongan pada satu bidang datar. Pada pertemuan jalan yang terdapat semua gerakan membelok, maka jumlah simpang jalan tidak boleh lebih dari 4 buah, demi kesederhanaan dalam perancangan dan pengoperasian. Hal ini untuk membatasi jumlah titik konflik dan membantu pengemudi untuk mengamati keadaan.
Jika terdapat volume lalu lintas belok kiri dan kanan yang besar, maka perlu penambahan jalur yang dapat diperoleh dengan cara pelebaran (Widening), yaitu salah satu bentuk pelebaran jalan, baik pada arus yang mendekat, arus prioritas maupun arus memotong dibutuhkan perencanaan yang lebih lengkap, termasuk kanalisasi, bundaran, rambu lalu lintas, dan pertemuan jalan tak sebidang, dapat dilihat pada gambar II.1, tipe-tipe simpang jalan sebidang.
2. Simpang tak sebidang (grade separated junctions)
Menurut Hobbs (1995), simpang jalan tak sebidang dengan atau tanpa fasilitas jalan tak sebidang (Interchange), yaitu jalan berpotongan melalui atas atau bawah. Pertemuan jalan pada jalan-jalan yang lebih penting biasanya berupa pertemuan jalan tak sebidang (Interchange, misalnya berbentuk semanggi), karena kebutuhan untuk menyediakan gerakan membelok tanpa perpotongan maka dibutuhkan tikungan yang besar dan sulit serta biasanya mahal. Pertemuan jalan tak sebidang juga membutuhkan daerah yang luas serta penempatan dan tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi.
Gerakan membelok biasanya tersedia pada pertemuan jalan bebas hambatan diperkotaan dan tercapai keseimbangan antara jalur masuk dan keluar dengan gerakan yang terdapat pada jalan tersebut. Pertemuan jalan tak sebidang dengan kaki lebih dari 4 buah tidak dianjurkan karena pertimbangan biaya dan lalu lintas.

B. Pengaturan dengan lampu lalu lintas
Menurut Hobbs (1995), lampu lalu lintas merupakan alat pengatur lalu lintas yang mempunyai fungsi utama sebagai pengatur hak berjalan pergerakan lalu lintas (termasuk pejalan kaki) secara bergantian dipertemuan jalan.
Tujuan diterapkannya pengaturan dengan lampu lalu lintas adalah :
1. Merupakan pergerakan dan hak berjalan secara bergantian dan teratur.
2. Meningkatkan daya dukung pertemuan jalan dalam melayani arus lalu lintas.
3. mengurangi terjadinya kecelakaan dan kelambatan lalu lintas.
4. Mengkoordinasikan lalu lintas dibawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik, sehingga aliran lalu lintas tetap berjalan lancar menerus pada kecepatan tertentu. Menciptakan kelompok pada arus lalu lintas yang padat untuk memberi hak berjalan, arus lalu lintas lain (seperti sepeda, pejalan kaki) memasuki persimpangan dan menciptakan iring-iringan (platoon) pada arus lalu lintas padat.
5. Memberikan mekanisme pengaturan lalu lintas yang lebih efektif dan murah dibandingkan pengaturan manual.
6. Memberikan rasa percaya kepada pengemudi bahwa hak berjalannya terjamin dan menumbuhkan sikap disiplin diri.
C. Arus Lalu Lintas
Menurut IHCM (1997), arus lalu lintas adalah jumlah unsur lalu lintas yang melalui titik tak terganggu dihulu, pendekat per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam. Nilai harus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi arus lalu lintas dalam satuan mobil penumpang (smp). Ekivalensi mobil penumpang (emp) dapat diturunkan secara empiris untuk setiap tipe kendaraan sebagai berikut :
1. Kendaraan ringan / Light Vehicle (LV)
Meliputi mobil penumpang, minibus, truk pick up, dan jeep.
2. Kendaraan berat / Heavy Vehicle (HV)
Meliputi truk 2 as, truk 3 as dan bus
3. Sepeda motor
Meliputi sepeda motor dan kendaraan roda 3
4. Kendaraan tak bermotor (UM)
Meliputi sepeda, becak, kereta kuda dan kereta dorong.
Menurut Sukirman (1994), arus lalu lintas disebut sebagai volume lalu lintas, yaitu jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Dimana perkerasan jalan yang lebih lebar dibutuhkan pada volume lalu lintas yang tinggi, karena apabila jalan yang terlalu lebar dipergunakan untuk volume lalu lintas rendah akan cenderung membahayakan, pengemudi dapat mempercepat laju kendaraannya, sedangkan situasi jalan tidak dapat dipastikan begitu saja.


Volume lalu lintas dapat dinyatakan dalam :
1. Lalu lintas harian rata-rata (Average Daily Traffic / ADT)
Jumlah satuan volume lalu lintas lebih dari satu hari dan kurang dari satu tahun dibagi dengan jumlah hari dalam periode tertentu.
2. Lalu lintas harian rata-rata tahunan (Average Annual Daily Traffic / AADT)
Jumlah volume lalu lintas dalam satu tahun dibagi jumlah hari dalam tahun tersebut.
Dari uraian diatas, untuk perencanaan jalan raya termasuk informasi-informasi yang dibuthkan haruslah relevan antara volume sekarang dan volume yang akan datang.

D. Arus Jenuh
Menurut Warpani (1988), salah satu factor penting dalam menghitung lalu lintas adalah arus jenuh menjelang persimpangan. Arus jenuh merupakan arus maksimum yang dapat melewati persimpangan dari satu arah tanpa gangguan lalu lintas. Untuk pengukuran arus jenuh biasanya dilakukan pada kendaraan dihitung perjam waktu hijau, yaitu arus bila suatu antrian kendaraan kontinyu dikeluarkan pada 100% warna hijau.

E. Siklus Jenuh
Menurut IHCM (1997), suatu siklus disebut jenuh apabila pada cakhir siklus (akhir nyala hijau) masih terdapat kendaraan antri, yang dimaksud satu siklus disini adalah pengulangan waktu nyala merah ke merah lagi.
Model keberangkatan kendaraan (melewati garis berhenti) dibuat dengan asumsi bahwa tidak ada kendaraan melewati garis berhenti pada saat lampu merah menyala efektif dan selama waktu hijau efektif kendaraan melewati garis berhenti dengan interval sebagai berikut :
1. Bila ada antrian maka interval waktu keberangkatan sama dengan saat saturation flow.
2. Bila tidak ada antrian maka interval waktu keberangkatan sama dengan interval kedatangannya.

F. Kapasitas Simpang
Menurut IHCM (1997), kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan yang dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam. Sedangkan kapasitas simpang adalah volume lalu lintas maksimum yang dapat ditampung oleh suatu persimpangan dalam waktu satu jam, dan menjadi dasar perhitungan dalam menganalisis lalu lintas pada waktu simpang.
Perhitungan data melalui metode IHCM (1997) berdasarkan data empiris yang dikumpulkan untuk nilai derajat jenuh (DS) dibawah 1, 0 analisa simpang ini lebih dapat diandalkan bila dibandingkan dengan nilai DS di atasnya. Karena pada keadaan tersebut pengemudi lebih agresif untuk berebut menguasai seluruh ruang yang mungkin diperolehnya didaerah konflik. Hal ini mengandung resiko yang cukup tinggi untuk terjadi saling menutup dan saling mengunci sehingga terjadi keadaan macet total.

G. Satuan Mobil Penumpang
Setiap jenis kendaraan mempunyai karakteristik pergerakan yang berbeda, karena dimensi, kecepatan, percepatan, maupun kemampuan maneuver masing-masing tipe kendaraan berbeda-beda disamping juga pengarug geometric jalan. Untuk menyamakan satuan dari masing-masing jenis kendaraan digunakan suatu satuan yang bisa dipakai dalam perencanaan lalu lintas yang disebut satuan mobil penumpang (smp) perjam digunakan ekivalensi mobil penumpang (emp).

H. Tingkat Kinerja
Menurut IHCM (1997) tingkat kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional dari fasilitas lalu lintas seperti dinilai oleh Pembina jalan. Untuk simpang bersinyal, tingkat kinerja dinyatakan dalam panjang antrian, proporsi kendaraan terhenti dan tundaan.

I. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian nerupakan urutan langkah-langkah yang disusun secara sistematis dan logis berdasarkan teori yang sudah ada, guna mencapai tujuan suatu objek permasalahan, agar dalam proses penyusunannya menjadi lebih mudah.
Tahapan penulisan penelitian ini secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut :



Tahap I. Survey Pendahuluan
Sebelum penelitian atau pengamatan dilapangan dilaksanakan, perlu diadakan survey pendahuluan agar dalam pelaksanaan penelitian sesungguhnya tidak banyak mengalami hambatan, yang antara lain adalah :
a. Survey untuk memilih lokasi yang aman dan memudahkan dalam pengamatan.
b. Mengamati arus lalu lintas pada kondisi maksimal atau jam puncak.
c. Penentuan jumlah tenaga survey dimana setiap lengan yang akan disurvei sedikitnya 3 surveyor untuk menghitung jumlah kendaraan.
d. Penentuan tanggal dan hari yang tepat yang diharapkan dapat mewakili hari-hari dalam satu minggu dan hari-hari dalam satu tahun.
e. Penentuan jam pelaksanaan yang tepat sehingga diharapkan dapat mewakili konodisi arus lalu lintas jam puncak.
Tahap II. Penyusunan Formulir Penelitian
Adapun cara penyusunan formulir survey adalah sebagai berikut :
a. Formulir dibagi menjadi 4 bagian atau kolom dengan pembagian sebagai berikut :
1). Kendaraan ringan (LV) : Kendaraan bermotor ber as 2 dengan 4 roda (meliputi : mobil penumpang, mikro bus, pick up,mobil pribadi, mikro truk sesuai klasifikasi Bina Marga).
2). Kendaraan berat (HV) : Kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda (meliputi : bus, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombninasi sesuai klasifikasi Bina Marga).
3). Sepeda motor ( MC ) : Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda (meliputi : sepeda motor dan kendaraan beroda 3 sesuai klasifikasi bina marga).
4). Kendaraan tak bermotor1 : Kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan (meliputi : sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong sesuai dengan klasifikasi Bina Marga).
Tahap III. Persiapan
a. Alat tulis dan formulir survei, digunakan untuk mencatat hasil pengamatan.
b. Alat penunjuk waktu (Arloji dan Stopwatch), digunakan untuk menentukan waktu periode pengamatan kendaraan.
c. Alat pengukur (Roll Meter), digunakan untuk mengukur lebar jalan.
d. Pencacah (Hand Counter), digunakan untuk menghitung jumlah kendaraan yang lewat.
Tahap IV. Pelaksanaan Penelitian
Setelah diadakan persiapan dan penentuan waktu penelitian, langkah selanjutnya adalag melaksanakan penelitian, antara lain :
a. pencacahan volume kendaraan tiap arah pada semua lengan persimpagan sesuai dengan jadwal penelitian.
b. Pengukuran lebar tiap lengan dengan persimpangan
c. Pengamatan kondisi lingkungan setempat oleh peneliti dengan memperkirakan factor-faktor lingkungan yang berkaitan.

Tahap V. Perencanaan dan Pembahasan
Setelah diperoleh data dari hasil penelitian lapangan, selanjutnya dianalisa dan dibagi dengan cara :
a. semua data volume lalu lintas dikonversikan ke dalam satuan mobil penumpang.
b. Perhitungan berpedoman pada Indonesian Highway Capacity Manual (1997).
c. Hasil dari analisis digunakan untuk merencanakan simpang dengan menggunakan sinyal dan membuat kesimpulan serta saran.

J. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan pengamatan secara langsung dilapangan. Jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. data primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung dilapangan, yang termasuk data primer adalah :
a. Data geometrik jalan
Data geometrik jalan diperoleh dengan mengukur lebar jalan tiap lengan persimpangan dan jumlah jalur.
b. Data arus lalu lintas jalan
Dengan mencatat semua jenis kendaraan yang melewati ruas-ruas lengan simpang yang diteliti dengan pembagian jenis kendaraan dan gerak lalu lintas.


c. Data lingkungan
Data lingkungan diperoleh dengan mengamati aktifitas disekitar persimpangan dan sepanjang jalan yang digunakan sebagai penelitian.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait, yaitu instansi yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian. Di antaranya adalah data jumlah penduduk dan peta jaringan jalan.

K. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah :
Bab I . Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan dan Manfaat Tugas Akhir
4. Batasan Masalah
5. Metodologi
6. Pengumpulan Data
Bab II. Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka.
Bab III. Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang dasar – dasar teori, kerangka pikiran.


Bab IV. Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang metode penelitian, pengumpulan data, tahap penelitian jalan simpang Gendengan.
Bab V. Perencanaan dan Pembahasan
Bab ini berisikan tentang kondisi existing, kondisi kinerja existing simpang, pembahasan.
Bab VI. Kesimpulan
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil analisa kinerja simpang Cross Luwes Gladak, Surakarta.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DEWA 19 KANGEN

03 03 010
DEWA 19 KANGEN
kutrima suratmu dan kubaca dan aku mengerti betapa meerindunya dirimu akan hadirnya diriku di dalam hari hari mu,,bersama lagi......
kau bertanya padaku kapan aku akan kembali lagi ,, katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada,,yang membara menahan rasa pertemuan kita nanati
saat kau ada di sisku
semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya
menahan rasa ingin jumpa..percayalah padaku aku pun rindu kamu...
ku akan pulan gmelepas semua kerinduan yang terpendam....
kau tuliskan pada ku kata cinta yang manis dalam surt mu...kau katakan padaku saat ini ku ingin dalam peluk mu,,,
dan belai lembut kasih mu takkan kulupa selamanya saat bersama dirimu
semua kata rindumu semakain membuatku tak berdaya ingin jumpa.... percayalah pada ku aku pun rindu kamu ku akan pulang
melepas kerinduan,,, yang terpendam...
jangan katakan cinta menambah beban rasa..sudah simpan saja sedihmu itu ku akan datang.............wo.......