Powered By Blogger

Laman

Kamis, 03 Juni 2010

Perencanaan Konstruksi Jalan Rel

1
BAB 1 KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Perencanaan Konstruksi Jalan Rel
Lintas kereta api direncanakan untuk melewatkan berbagai jumlah angkutan barang dan/
atau penumpang dalam suatu jangka waktu tertentu.
Perencanaan konstruksi jalan rel harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis dan ekonomis.
Secara teknis diartikan konstruksi jalan rel tersebut harus dapat dilalui oleh kendaraan rel
dengan aman dengan tingkat kenyamanan tertentu selama umur konstruksinya.

Secara eknomis diharapkan agar pembangunan dan pemeliharaan konstruksi tersebut dapat diselenggarakan dengan biaya yang sekecil mungkin dimana masih memungkinkan terjaminnya keamanan dan tingkat kenyamanan.

Perencanaan konstruksi jalan rel diperngaruhi oleh jumlah beban, kecepatan maksimum, beban gandar dan pola operasi. Atas dasar ini diadakan klasifikasi jalan rel, sehingga perencanaan dapat dibuat secara tepat guna.
Pasal 2 Kecepatan dan Beban Gandar
a. Kecepatan.
1) Kecepatan Rencana.
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang digunakan untuk merencanakan
konstruksi jalan rel.
a) Untuk perencanaan struktur jalan rel.
V rencana = 1,25 x V maks.
b) Untuk perencanaan peninggian
Ni
Vi
Ni
x
c
rencana
V
.
c = 1,25
Ni = Jumlah Kereta api yang lewat.
Vi = Kecepatan Operasi
c) Untuk perencanaan jari-jari lengkung lingkaran dan lengkung peralihan
Vrencana = Vmaks
2) Kecepatan Maksimum
Kecepatan maksimum adalah kecepatan tertinggi yang diijinkan untuk operasi
suatu rangkaian kereta pada lintas tertentu.
3) Kecepatan Operasi
2
Kecepatan operasi adalah kecepatan rata-rata kereta api pada petak jalan tertentu.
4) Kecepatan Komersil
Kecepatan komersil kecepatan rata-rata kereta api sebagai hasil pembagian jarak
tempuh dengan waktu tempuh.
b. Beban Gandar.
Beban gandar adalah beban yang diterima oleh jalan rel dari satu gandar. Untuk
semua kelas, beban gandar maksimum adalah 18 ton.
Pasal 3 Peraturan Dinas yang Berhubungan dengan Peraturan Dinas No. 10
a. Peraturan Dinas No. 10 A yaitu Peraturan Perawatan Jalan Rel Indonesia (PPJRI).
b. Peraturan Dinas No.10 B, yaitu Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Rel
Indonesia (PPPJRI).
c. Peraturan Dinas No.10 C, yaitu Peraturan Bahan Jalan Rel Indonesia (PBJRI).
Pasal 4. Standar Jalan Rel.
a. Klasifikasi.
Daya angkut lintas, kecepatan maksimum, beban gandar dan ketentuan-ketentuan lain
untuk setiap kelas jalan, tercantum pada table 1.1.
Tabel 1.1 Kelas Jalan Rel
ET = Elastik Tunggal ; EG = Elastik Ganda

Klasifik
asi Jalan
KA

Pasing
Ton
Tahunan
(Juta Ton)

Perencanaan
Kecepatan KA
Maksimum
Vmax (km/jam)

Tekanan
Gandar
P max
(ton)
Tipe Rel
Tipe dari Bantalan
Jarak Bantalan (mm)
Tipe

Alat
Penam
bat

Tebal balas
dibawah
Bantalan
(cm)
Lebar
Bahu
Balas
(cm)
12344
> 20
10– 20
5– 10
2,5– 5
< 2,5 120 110 100 90 80 18 18 18 18 18 R60 / R54 R54 / R50 R54/ R50/ R42 R54/ R50/ R42 R42 600 Beton 600 Beton/Kayu 600 /Baja Beton/Kayu 600 /Baja Beton/Kayu 600 Kayu/Baja EG EG EG EG/ET ET 30 30 30 25 25 50 50 40 40 35 3 b. Daya Angkut Lintas. Daya angkut lintas adalah jumlah angkutan anggapan yang melewati suatu lintas dalam jangka waktu satu tahun. Daya angkut lintas mencerminkan jenis serta jumlah beban total dan kecepatan kereta api yang lewat di lintas yang bersangkutan. Daya angkut disebut daya angkut T dengan satuan ton/ tahun. Pasal 5 Ruang Bebas dan Ruang Bangun. Ruang bebas adalah ruang diatas sepur yang senantiasa harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang; ruang ini disediakan untuk lalu lintas rangkaian kereta api. Ukuran ruang bebas untuk jalur tunggal dan jalur ganda, baik pada bagian lintas yang lurus maupun yang melengkung, untuk lintas elektrifikasi dan non elektrifikasi, adalah seperti yang tertera pada gambar 1.1, gambar 1.2, gambar 1.3 dan gambar 1.4. Ukuran-ukuran tersebut telah memperhatikan dipergunakannya gerbong kontener/ peti kemas ISO (Iso Container Size) tipe “Standard Height”. Ruang bangun adalah ruang disisi sepur yang senantiasa harus bebas dari segala bangunan tetap seperti antara lain tiang semboyan, tiang listrik dan pagar. Batas ruang bangun diukur dari sumbu sepur pada tinggi 1 meter sampai 3,55 meter. Jarak ruang bangun tersebut ditetapkan sebagai berikut : a. Pada lintas bebas : 2,35 sampai 2,53 m di kiri kanan sumbu sepur. b. Pada emplasemen : 1,95 m sampai 2,35 di kiri kanan sumbu sepur c. Pada jembatan : 2,15 m di kiri kanan sumbu sepur. Pasal 6 Perlintasan Sebidang a. Umum Pada perlintasan sebidang antara jalan rel dan jalan raya harus tersedia jarak pandangan yang memadai bagi kedua belah pihak, terutama bagi pengendara kendaraan. Daerah pandangan pada perlintasan merupakan daerah pandangan segitiga di mana jarak-jaraknya ditentukan berdasarkan pada kecepatan rencana kedua belah pihak. Jarak-jarak minimum untuk berbagai kombinasi kecepatan adalah seperti yang tercantum dalam table 2, dan dijelaskan dalam gambar 1.5. 4 Kecepatan KA (km/jam) Kecepatan kendaraan di jalan raya (km/jam) Mulai bergerak Sedangbergerak 0 20 40 60 80 100 120 Panjang pada pihak jalan rel (meter) (A) 40 60 80 90 100 110 120 185 273 363 409 454 500 545 97 145 193 217 241 266 290 75 112 150 168 187 206 224 78 116 155 174 194 213 233 85 127 170 191 212 233 255 94 141 188 212 235 259 282 105 158 210 237 263 289 316 Panjang pada pihak jalan rel (meter) (B) 28 57 102 162 233 322 Table 2. Panjang minimum jarak pandangan untuk kombinasi kecepatan Gambar 1.5 Perlintasan sebidang jalan rel dan jalan raya Daerah pandangan segitiga harus bebas dari benda-benda penghalang setinggi 1,00 meter ke atas. Sudut perpotongan perlintasan sebidang diusahakan sebesar 90o dan bila tidak memungkinkan sudut perpotongan harus lebih besar dari pada 30o. Kalau akan membuat perlintasan baru, jarak antara perlintasan baru dengan yang sudah ada tidak boleh kurang dari 800 meter. B A 5 b. Konstruksi Perlintasan Sebidang. Lebar perlintasan sebidang bagi jalan raya dalam keadaan pintu terbuka atau tanpa pintu, harus sama dengan lebar perkerasan jalan raya yang bersangkutan. Perlintasan sebidang yang dijaga dilengkapi dengan rel-rel lawan untuk menjamin tetap adanya alur untuk flens roda kecuali untuk konstruksi lain yang tidak memerlukan rel lawan. Lebar alur adalah sebesar 40 mm dan harus selalu bersih benda-benda penghalang. Panjang rel lawan adalah sampai 0,8 meter di luar lebar perlintasan dan dibengkokan ke dalam agar tidak terjadi tumbukan dengan roda dari rangkaian. Sambungan rel di dalam perlintasan harus dihindari. Konstruksi perlintasan sebidang dapat dibuat dari bahan beton semen, aspal dan kayu seperti ditunjukan dalam gambar-gambar 1.6 sampai dengan gambar 1.10. Pasal 7. Lain-lain. a. Peraturan ini disebut Peraturan Konstruksi Jalan Rel di Indonesia, disingkat PKJRI. b. Dalam membuat perencanaan, selain memperhatikan segi-segi teknis, keamanan dan biaya, juga harus mempertimbangkan masalah lingkungan. c. Peraturan ini berlaku untuk perencanaan jalan rel di Indonesia, baik untuk perencanaan jalan baru maupun perencanaan penyesuian jalan rel lama. d. Selain ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan ini, untuk hal-hal khusus, juga harus mengikuti ketentuan-ketentuan lain yang bertalian dengan hal itu. 1) Peraturan Beton Indonesia (PBI) 2) Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI). 3) Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI). 4) Peraturan Umum Bahan Bangunan Indonesia (PUBBI). 5) Peraturan Bangunan Nasional (PBN). 6 Keterangan : Batas I = Untuk jembatan dengan kecepatan sampai 60 km/jam Batas II = Untuk „Viaduk‟ dan terowongan dengan kecepatan sampai 60km/jam dan untuk jembatan tanpa pembatasan kecepatan. Batas III= Untuk „viaduk‟ baru dan bangunan lama kecuali terowongan dan jembatan Batas IV = Untuk lintas kereta listrik Gambar. 1.1 Ruang bebas pada bagian lurus 7 Keterangan : Batas ruang bebas pada lintas lurus dan pada bagian lengkungan dengan jari-jari > 3000 m.
Batas ruang bebas pada lengkungan dengan jari-jari 300 sampai
dengan 3000 m.
Batas ruang bebas pada lengkungan dengan jari-jari < 300 m. Gambar. 1.2 Ruang bebas pada lengkung 8 Gambar. 1.3 Ruang bebas pada jalur lurus untuk jalan ganda 9 Gambar. 1.4 Ruang bebas pada jalur lengkung untuk jalan ganda 10 batu stampling pipa besar 3 0 0 plat beton bertulang plat beton bertulang 300 bantalan kayu bantalan kayu 300 50 50 50 50 pipa drainase pipa drainase Gambar 1.6 Potongan melintang perlintasan sebidang dengan plat beton 1 comp aspal kerikil C 140.60.7 L40.40.4 beton kayu pendrol base plate 750 s/d 300 balas batu pecah balas pasir pipa drain Ø 200 (paralon tebal) 200 papan kayu 30 268 130 68 130 807 130 68 130 268 30 Gambar 1.7 Potongan melintang perlintasan sebidang dengan plat baja (memakai penambat Pandrol) 38 315 835 68 935 880 935 68 835 315 38 L 40.40.4 camp aspal kerikil C 140.60.7 PLAT BAJA SIRIP beton kayu balas batu pecah balas pasir 200 pipa drain Ø 200 (paralon tebal) 750 s/d 300 Rel R.14A Plat landas ok Plat jepit KK Gambar 1.8 Potongan melintang perlintasan sebidang dengan plat baja (memakai penambat Kaku) 2 600 mm 40 mm 40 mm 1067 mm Balok kayu pingisi Balok kayu Bantalan Gambar 1.9 Potongan melintang perlintasan sebidang dengan Balok kayu klos klos Bantalan Bantalan Aspal Bantalan pasir dipadatkan Balas 40 mm 40 mm 1067 mm pipa drainase lapisan kerikil Gambar 1.10 Potongan melintang perlintasan sebidang dengan Perkerasan aspal 3 BAB 2 GEOMETRI JALAN REL Pasal 1 Umum Geomtri jalan rel direncanakan berdasar pada kecepatan rencana serta ukuran-ukuran kereta yang melewatinya dengan memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, ekonomi dan kesertaan dengan lingkungan sekitarnya. Pasal 2 Lebar Sepur Untuk seluruh kelas jalan rel lebar sepur adalah 1067 mm yang merupakan jarak terkecil antara kedua sisi kepala rel, diukur pada daerah 0-14 mm di bawah permukaan teratas kepala rel. Pasal 3 Lengkung Horizontal Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang horizontal, alinemen horizontal terdiri dari garis lurus dan lengkungan. a. Lengkung Lingkaran Dua bagian lurus, yang perpanjangnya saling membentuk sudut harus dihubungkan dengan lengkung yang berbentuk lingkaran, dengan atau tanpa lengkung-lengkung peralihan. Untuk berbagai kecepatan rencana, besar jari-jari minimum yang diijinkan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 2.1. Kecepatan rencana (km/jam). Jari-jari minimum lengkung lingkaran tanpa lengkung peralihan (m). Jari-jari minimum lengkung lingkaran yang diijinkan dengan lengkung peralihan (m). 120 110 100 90 80 70 60 2370 1990 1650 1330 1050 810 600 780 660 550 440 350 270 200 Tabel 2.1. Persyaratan perencanaan lengkungan b. Lengkung Peralihan. 4 Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang berubah beraturan. Lengkung peralihan dipakai sebagai peralihan antara bagian yang lurus dan bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-jari lingkaran yang berbeda. Lengkung peralihan dipergunakan pada jari-jari lengkung yang relative kecil, lihat Tabel 2.1. Panjang minimum dari lengkung peralihan ditetapkan dengan rumus berikut : Lh = 0,01 hv……………(2.1) Dimana Lh = panjang minimal lengkung peralihan. h = pertinggian relative antara dua bagian yang dihubungkan (mm). v = kecepatan rencana untuk lengkungan peralihan (km/jam). c. Lengkung S Lengkung S terjadi bila dua lengkung dari suatu lintas yang berbeda arah lengkungnya terletak bersambungan. Antara kedua lengkung yang berbeda arah ini harus ada bagian lurus sepanjang paling sedikit 20 meter di luar lengkung peralihan. d. Perlebaran Sepur Perlebaran sepur dilakukan agar roda kendaraan rel dapat melewati lengkung tanpa mengalami hambatan. Perlebaran sepur dicapai dengan menggeser rel dalam kearah dalam. Besar perlebaran sepur untuk berbagai jari-jari tikungan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 2.2. Pelebaran sepur ( mm) Jari-jari tikungan (meter) 05 10 15 20 R > 600
550 < R < 600 400 < R < 550 350 < R < 400 100 < R < 350 Tabel 2.2 Pelebaran sepur Perlebaran sepur maksimum yang diijinkan adalah 20 mm. Perlebaran sepur dicapai dan dihilangkan secara berangsur sepanjang lengkung peralihan. e. Peninggian Rel. Pada lengkungan, elevasi rel luar dibuat lebih tinggi dari pada rel dalam untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang dialami oleh rangkaian kereta. Peninggian rel dicapai dengan menepatkan rel dalam pada tinggi semestinya dan rel luar lebih tinggi lihat gambar 2.1 dan 2.2. Besar peninggian untuk berbagai kecepatan rencana tercantum pada table 2.3 berikut. 5 Jari-jari (m) Peninggian (mm) pas (km/hr) 120 110 100 90 80 70 60 100 150 ---- 200 110 250 ---- 90 300 ---- 100 75 350 110 85 65 400 ---- 100 75 55 450 110 85 65 50 500 ---- 100 80 60 45 550 110 90 70 55 40 600 100 85 65 50 40 650 ---- 95 75 60 50 35 700 105 85 70 55 45 35 750 ---- 100 80 65 55 40 30 800 110 90 75 65 50 40 30 850 105 85 70 60 45 35 30 900 100 80 70 55 45 35 25 950 95 80 65 55 45 35 25 1000 90 75 50 50 40 30 25 1100 80 70 55 45 35 30 20 1200 75 60 55 45 35 25 20 1300 70 60 50 40 30 25 20 1400 65 55 45 35 30 25 20 1500 60 50 40 35 30 20 15 1600 55 45 40 35 25 20 15 1700 55 45 35 30 25 20 15 1800 50 40 35 30 25 20 15 1900 50 40 35 30 25 20 15 2000 45 40 30 25 20 15 15 2500 35 30 25 20 20 15 10 3000 30 25 20 20 15 10 10 3500 25 25 20 15 15 10 10 4000 25 20 15 15 10 10 10 Table 2.3 Rail Elevation at Curves with the Formula hnormal = 5.95ra d iu s Vplanned) (2 6 Peninggian rel dicapai dan dihilangkan secara berangsur sepanjang lengkung peralihan. Untuk tikungan tanpa lengkung peralihan peninggian rel dicapai secara berangsur tepat di luar lengkung lingkaran sepanjang suatu panjang peralihan, panjang minimum peralihan ini dihitung dari rumus 2.1. Pasal 4 Landai a. Pengelompokan Lintas Berdasar pada kelandaian dari sumbu jalan rel dapat dibedakan atas 4 (Empat) kelompok seperti yang tercantum dalam Tabel 2.4. Kelompok Kelandaian Emplasemen Lintas datar Lintas pegunungan Lintas dengan rel gigi 0 sampai 1,5 ‰ 0 sampai 10 ‰ 10 ‰ sampai 40 ‰ 40 ‰ sampai 80 ‰ Tabel 2.4 Pengelompokan lintas berdasar pada kelandaian Tabel 2.4 Pengelompokan lintas berdasar pada kelandaian. Untuk emplasemen kelandaiannya adalah 0 sampai 1,5 ‰ b. Landai Penentu Landai penentu adalah suatu kelandaian (Pendakian) yang terbesar yang ada pada suatu lintas lurus. Besar landai penentu terutama berpengaruh pada kombinasi daya tarik lok dan rangkaian yang dioperasikan. Untuk masing-masing kelas jalan rel, besar landai penentu adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 2.5. Kelas jalan rel Landai penentu maksimum 12345 10 ‰ 10 ‰ 20 ‰ 25 ‰ 25 ‰ Tabel 2.5 Landai penentu maksimum c. Landai Curam Dalam keadaan yang memaksa kelandaian (Pendakian) dari lintas lurus dapat melebihi landai penentu. 7 Kelandaian ini disebut landai curam; panjang maksimum landai curam dapat ditentukan melalui rumus pendekatan sebagai berikut : 2 . 2 ........ .......... 2 2 2 m k S S g vb va Dimana: ℓ = Panjang maximum landai curam (m). Va = Kecepatan minimum yang diijinkan dikaki landai curam m/detik. Vb = Kecepatan minimum dipuncak landai curam (m/detik) vb ≥ ½ va. g = Percepatan gravitasi. Sk = Besar landai curam ( ‰ ). Sm = Besar landai penentu ( ‰ ). Pasal 5 Landai Pada Lengkung atau Terowongan Apabila di suatu kelandaian terdapat lengkung atau terowongan, maka kelandaian di lengkung atau terowongan itu harus dikurangi sehingga jumlah tahanannya tetap. Pasal 6 Lengkung Vertikal Alinemen vertikal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan rel tersebut; alinemen vertikal terdiri dari garis lurus, dengan atau tanpa kelandaian, dan lengkung vertikal yang berupa busur lingkaran. Besar jari-jari minimum dari lengkung vertikal bergantung pada besar kecepatan rencana dan adalah seperti yang tercantum dalam Tabel 2.6. Kecepatan Rencana (Km/Jam) Jari-Jari Minimum Lengkung Vertikal (Meter) Lebih besar dari 100 Sampai 100 8000 6000 Tabel 2-6 Jari-jari min. lengkung vertikal. Letak lengkung vertikal diusahakan tidak berimpit atau bertumpangan dengan lengkung horizontal. Pasal 7 Penampang Melintang Penampang melintang jalan rel adalah potongan pada jalan rel, dengan arah tegak lurus sumbu jalan rel, di mana terlihat bagian-bagian dan ukuran-ukuran jalan rel dalam arah melintang. 8 Ukuran-ukuran penampang melintang jalan rel berjalur tunggal dan berjalur ganda tercantum pada table 2.7 untuk lintas lurus maupun di lintas lengkung dan dijelaskan dengan gambar 2.3, gambar 2.4, gambar 2.5 dan gambar 2.6. Pada tempat-tempat khusus, seperti di perlintasan, penampang melintang dapat disesuaikan dengan keadaan setempat. h konstan Gambar 2.1 Peninggian Elevasi Rel (h) pada lengkungan jalur tunggal h h konstan konstan Gambar 2.2 Peninggian Elevasi Rel (h) pada lengkungan Jalur Ganda d1 d2 a b c k1 k2 e a b c k1 k2 max 1 : 2 Ballast Sub-ballast max 1 : 1.5 30 50 30 50 40 CL 1 d 1:1 1/3 Picture 2.3 Cross section of Railroad at Straight Sections 9 constant d1 d2 c k1 k2 e ck1k2 CL b b d1 e1 Picture 2.4 Railroad cross section at curves - Single Track b c k1 4000 20 00 2000 1067 1:2 Picture 2.5 Railroad Cross section at Straight Sections of Double Tracks 2000 b 4000 k1 1 :2 Picture 2.6 Railroad cross section at curves of Double Tracks Gambar 2.3 Penampang Melintang Jalan Rel Pada Bagian Lurus Gambar 2.4 Penampang Melintang Jalan Rel Pada Lengkung– Jalur tunggal Gambar 2.5 Penampang Melintang Jalan Rel Pada Bagian Lurus Jalur Ganda Gambar 2.5 10 Penampang Melintang Jalan Rel Pada Lengkung Jalur Ganda Tabel 2.7 Penampang Melintang Jalan Rel Kelas Jalan Rel Vmax (km/jam) d1 (cm) b (cm) c (cm) k1 (cm) d2 (cm) e (cm) k2 (cm) a (cm) 1st 120 30 150 235 265-315 15-50 25 375 185-237 2nd 110 30 150 254 265-315 15-50 25 375 185-237 3rd 100 30 140 244 240-270 15-50 22 325 170-200 4th 90 25 140 234 240-250 15-35 20 300 170-190 4th s 80 25 135 211 240-250 15-35 20 300 170-190 11 BAB 3 SUSUNAN JALAN REL Pasal 1. Rel a. Umum Rel yang dimaksud dalam peraturan ini adalah rel berat untuk jalan rel. b. Tipe dan Karakteristik Penampang. 1) Tipe rel untuk masing-masing kelas jalan tercantum pada table 3.1. KELAS JALAN TIPE REL I R 60 / R 54 II R 54 / R 50 III R 54 / R 50 / R 42 IV R 54 / R 50 / R 42 V R 42 Tabel 3.1 Kelas jalan dan tipe relnya. 2). Karekteristik penampang rel tercantum pada Tabel 3.2. c. Jenis, Komposisi Kimia, Kekuatan dan Kekerasan. 1) Jenis. Jenis rel yang dipakai adalah rel tahan aus yang sejenis dengan rel UIC-WRA. 2) Komposisi kimia. Komposisi kima rel tercantum pada table 3.3. C Si Ma PS 0,60% - 0,80 % 0,15% - 0,35% 0,90% - 1,10% Max. 0,035% Max. 0,025% Tabel 3.3 Komposisi kimia rel. 12 B R G y y yF R x y x y y b Besaran Geometri Rel Tipe Rel R.42 R.50 R. 54 R.60 H (mm) 138,00 153,00 159,00 172,00 B (mm) 110,00 127,00 140,00 150,00 C (mm) 68,50 65,00 72,20 74,30 D (mm) 13,50 15,00 16,00 16,50 E (mm) 40,50 49,00 49,40 51,00 F (mm) 23,50 30,00 30,20 31,50 G (mm) 72,00 76,00 74,97 80,95 R (mm) 320,00 500,00 508,00 120,00 A (cm2) 54,26 64,20 69,34 76,86 W (kg/m) 42,59 50,40 54,43 60,34 Yb (mm) 68,50 71,60 76,20 80,95 Ix (cm4) 1,263 1,860 2,345 3,066 A : Luas Penampang W : Berat rel per meter Yb : Momen inersia terhadap sumbu X. Ix : Jarak tepi bawah rel ke garis netral Tabel 3.2 Karakteristik Penampang Rel. 3) Kekuatan rel. 13 celah rel 7 16 7 13 13 56 52 30 22 22 (satuan sentimeter) Kuat tarik minimum rel adalah 90 kg/mm2 dengan perpanjangan minimum 10%. 4) Kekerasan rel. Kekerasan kepala rel tidak boleh kurang dari pada 240 Brinell. d. Jenis Rel Menurut Panjangnya. Menurut panjangnya dibedakan tiga jenis rel, yaitu : 1) Rel standar adalah rel yang panjangnya 25 meter. 2) Rel pendek adalah rel yang panjangnya maksimal 100 m. 3) Rel panjang adalah rel yang panjang tercantum minimumnya pada Tabel 3.4. Jenis bantalan Tipe Rel R 42 R. 50 R.54 R. 60 Bantalan kayu Bantalan beton 325 m 200 m 375 m 225 m 400 m 250 m 450 m 275 m Tabel 3.4 Panjang minimum rel panjang. e. Sambungan Rel. 1) Umum. Sambungan rel adalah konstruksi yang mengikat dua ujung rel sedemikian rupa sehingga operasi kereta api tetap aman dan nyaman. Yang dimaksud dengan sambungan rel dalam pasal, ini adalah sambungan yang menggunakan pelat penyambung dan baut-mur. 2) Macam sambungan. Dari kedudukkan terhadap bantalan dibedakan dua macam sambungan rel, yaitu : a) Sambungan melayang (Gambar 3.1) b) Sambungan menumpu (Gambar 3.2) 14 35 15 (satuan sentimeter) sambungan sambungan sambungan sambungan sambungan sambungan sambungan Gambar 3.1 Sambungan melayang Antara kedua bantalan ujung berjarak 30 cm Jarak sumbu ke sumbu bantalan ujung 52 cm Gambar 3.2 Sambungan menumpu 3) Penempatan sambungan di sepur. Penempatan sambungan di sepur ada dua macam yaitu : a) Penempatan secara siku (gambar 3.3), dimana kedua sambungan berada pada satu garis yang tegak lurus terhadap sumbu sepur. b) Penempatan secara berselang-seling (Gambar 3.4), dimana kedua sambungan rel tidak berada pada satu garis yang tegak lurus terhadap sumbu sepur. Gambar 3.3 Sambungan Siku Gambar 3.4 Sambungan berselang-seling. 4) Sambungan rel di jembatan. a) Didalam daerah bentang jembatan harus diusahakan agar tidak ada sambungan rel. 15 b) Rel dengan bantalan sebagai suatu kesatuan harus dapat bergeser terhadap gelegar pemikulnya. Yang dimaksud dengan gelegar pemikul adalah bagian dari konstruksi jembatan dimana bantalan menumpu secara langsung. c) Jika digunakan rel standar atau rel pendek, letak sambungan rel harus berada di luar pangkal jembatan. d) Jika digunakan rel panjang, jarak antara ujung jembatan daerah muai rel itu (Gambar 3.5). Panjang daerah muai untuk bermacam-macam rel tercantum pada table 3.5. Jenis bantalan Tipe Rel R 42 R. 50 R.54 R. 60 Bantalan kayu Bantalan beton 165 m 100 m 190 m 115 m 200 m 125 m 225 m 140 m Tabel 3.5 Panjang daerah muai. sambungan sambungan > Ldm
> Ldm
Gambar 3.5 Penempatan sambungan rel panjang yang melintasi jembatan.
Ld m = Panjang daerah muai rel
f. Celah.
Di sambungan rel harus ada celah untuk menampung timbulnya perubahan
panjang rel akibat perubahan suhu.
Besar celah ditentukan sebagai berikut :
1) Untuk semua tipe rel, besar celah pada sambungan rel standard dan rel pendek
tercantum pada table 3.6.
2) Pada sambungan rel panjang, besar celah dipengaruhi juga oleh tipe rel dan
jenis bantalan.
a) Untuk sambungan rel panjang pada bantalan kayu, besar celah tercantum
pada Tabel 3.7.
b) Untuk sambungan rel panjang pada bantalan beton, besar celah tercantum
pada Tabel 3.8.
16

Suhu
Pemasangan
(oC)
Panjang Rel (m)
25
50
75
100
≤20
22
24

26 28 30

32 34 36
38
40
42
44
≥46
87665443322
100
14
13
12
10
9876432100
16
16
16

15 13 11
97642000
16
16
16

16 16 14
12
9742000
Tabel 3.6 Besar celah untuk semua tipe rel pada sambungan rel standard dan
rel pendek.
g. Suhu pemasangan.

1) Yang dimaksud dengan suhu pemasangan adalah suhu rel waktu pemasangan. 2) Batas suhu pemasangan rel standard dan rel pendek tercantum pada Tabel 3.9. 3) Batas suhu pemasangan rel panjang pada bantalan kayu tercantum dalam table
3.10.
4) Batas suhu pemasangan rel panjang pada bantalan beton tercantum pada table
3.11.

Suhu
Pemasangan
(OC)
Panjang Rel (m)
R.42
R.50
R.54
R.60
≤28

30 32 34 36 38 40 42

16
14
12
10
8654

16
16
14
11
9643

16
16
15
12
10
865

16
16
16
13
10
865
17
44
46
≥48
322
332
332
432
Tabel 3.7 Besar celah untuk sambungan rel panjang pada bantalan kayu.

Suhu
Pemasangan
(OC)
Panjang Rel (m)
R.42
R.50
R.54
R.60
≤22

24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44
≥46

16
14
13
13
10
87654332

16
16
14
12
11
98654332

16
16
15
13
11
10
8754332

16
16
16
14
12
10
9765432
Tabel 3.8 Besar celah untuk sambungan rel panjang pada bantalan beton.
Panjang Rel (m)
Suhu (oC)
Min.
Max.

25
50
75
100

20 20 26 30

44 42 40 40
Tabel 3.9 Batas suhu pemasangan rel standard dan rel pendek.
Rel
Suhu (oC)
Min.
Max.

R.42 R.50 R.54 R.60

28 30 30 32

46 48 48 48
Tabel 3.11 Batas suhu pemasangan rel panjang pada bantalan beton.
h. Kedudukan Rel.
18
X
X
Y
garisnetral
Y
Kecuali pada wesel dan di emplasemen dengan kecepatan kereta lambat, rel
dipasang miring ke dalam dengan kemiringan 1:40 (Gambar 3.6).
Gambar 3.6 Rel dipasang miring ke dalam kemiringan (tg ) 1 : 40
i. Pelat penyambung.
1) Sepasang pelat penyambung harus sama panjang dan mempunyai ukuran yang
sama.

2) Bidang singgung antara pelat penyambung dengan sisi bawah kepala rel dan sisi atas kaki rel harus sesuai kemiringannya, agar didapat bidang geser yang cukup.
Kemiringan tepi bawah kepala rel dan tepi atas rel tercantum pada table 3.12.
Tepi bawah kepala rel
Tepi atas kaki rel

R.42 R.50 R.54 R.60
1 : 4

1 : 2,75 1 : 2,75 1 : 2,93
1 :4

1 : 2,75 1 : 2,75 1 : 2,75
Tabel 3.12 Kemiringan tepi bawah kepala rel dan tepi atas kaki rel.
3) Ukuran-ukuran standar pelat penyambung untuk rel R.42, R.50, dan R.54
tercantum pada Gambar 3.7.
4) Ukuran-ukuran standar pelat penyambung ukuran rel R. 60 tercantum pada
gambar 3.8.
19
70
160
70
130
130
560
( satuan milimeter)
( satuan milimeter)
70
130
130
160
820
130
130
70
Gambar 3.7 Pelat penyambung untuk rel R.42, R.50 dan R.54. Ø lubang 24
mm Tebal pelat 20 mm.
Tinggi disesuaikan dengan masing-masing rel.
Gambar 3.8 Pelat penyambung untuk rel R.60. Ø lubang 25 mm.
Tebal pelat 20 mm.
5) Kuat tarik bahan penyambung tidak boleh kurang dari pada 58 kg/mm2 dengan
perpanjangan minimum 15%.
6) Komposisi kimia bahan pelat penyambung tercantum pada table 3.13
C
Si
Mn
P
S
0,40-0,55 Max. 0,40
0,55-1,00
Max. 0,40 Max. 0,40
Table 3.13 Komposisi kimia bahan pelat penyambung (%).
7) Sebuah pelat penyambung harus kuat menahan momen sebesar :
M = M1 +M2 = Q x a + m x Q x h…………………………………..(3.1)

Dimana :
Q = tekanan rel pada pelat penyambung
a = jarak dari tengah-tengah gaya reaksi R.
20
Rel
P
T"
T"
P
Rel
b
c
d
a
T
T"
CL
Roda
Q Q
R
a
R
Q Q
Roda
R1
R2
R1
R2
b
a
h
m = koefisien geser maks = 0,03
h = jarak vertikal garis gaya geser.
Gambar 3.9 Gaya-gaya pada pelat penyambung
8) Baut pelat penyambung harus kuat menahan gaya sebagai berikut:
H =T+T‟‟
M =H(a+b+c)=M‟ +M‟‟
M‟ = H ( a + b) = T‟ x b…………………….......………...……..(3.2)
M‟‟= T” (a + b) + T” x c
Dimana : H
= gaya lateral yang bekerja di tengah-tengah pelat
penyambung
T‟ T‟‟= gaya tarik baut sebelah luar dan dalam.
M‟ M‟‟ = momen peralihan sebelah dalam dan luar pelat sambung
antara pusat tekanan rel yang akan disambung.
M
= momen total arah lateral.
21
Gambar 3.10 Gaya-gaya pada baut pelat penyambung
Pasal 2. Wesel
a. Fungsi Wesel .
Fungsi wesel adalah untuk mengalihkan kereta dari satu sepur ke sepur yang lain.
b. Jenis Wesel.
1) Wesel biasa.
(a). Wesel Biasa.
(1) Wesel biasa kiri (gambar 3.11)
(2) Wesel biasa kanan (gambar 3.12)
(b). Wesel dalam lengkung.
(1) Wesel serah lengkung (gambar 3.13)
(2) Wesel berlawanan arah lengkung (gambar 3.14)
(3) Wesel simetris (gambar 3.15)
2) Wesel tiga jalan
(a). Wesel Biasa.
(1) Wesel biasa searah (gambar 3.16)
(2) Wesel biasa berlawanan arah (gambar 3.17)
(b). Wesel dalam lengkung.
(1) Wesel serah tergeser (gambar 3.16)
(2) Wesel berlawanan arah tergeser (gambar 3.19)
3) Wesel Inggris.
Wesel Inggris adalah wesel yang dilengkapi dengan gerakan-gerakan lidah
serta sepur-sepur bengkok.
gambar 3.12
gambar 3.11
wesel biasa
wesel kanan
wesel biasa
wesel kiri
berlawanan arah
lengkung
simetris
searah lengkung
22
rel jentak
rel lidah
rel paksa
rel sayap
sepur lurus
sepurbengko
k
a
b
c
re
llidah
reljantak
jarum
Gambar 3.22 wesel dan bagannya
gambar 3.13
gambar 3.14
gambar 3.15
Gambar 3.16
Gambar 3.17
Gambar 3.18
Gambar 3.19
Gambar 3.20
Gambar 3.12
(a). Wesel Inggris lengkap (gambar 3.20)
(b). Wesel Inggris tak lengkap (gambar 3.21).
c. Komponen Wesel.
Wesel terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut:
1) Lidah
2) Jarum beserta sayap-sayapnya

3) Rel lantak
4) Rel paksa
5) Sistem penggerak
Gambar 3.22 Wesel dan bagannya
searah
berlawanan
arah
searah
tergeser
berlawanan
arah tergeser
wesel Inggris
tak lengkap
wesel Inggris lengkap
23
1) Lidah
a) Lidah adalah bagian dari wesel yang dapat bergerak pangkal lidah disebut
akar.
b) Jenis Lidah
(1) Lidah berputar adalah lidah yang mempunyai engsel diakarnya.
(2) Lidah berpegas adalah lidah yang akarnya dijepit sehingga melentur
c) Sudut Tumpu ( )
Sudut tumpu adalah sudut antara lidah dengan rel lantak, sudut tumpu
dinyatakan dengan tangennya, yakni tg
= 1 : m, dimana harga m
berkisar antara 25 sampai 100.
2) Jarum dan sayap-sayapnya
a) Jarum adalah bagian wesel yang memberi kemungkinan kepada flens
roda melalui perpotongan bidang-bidang jalan yang terputus antara dua rel.
b) Sudut kelancipan jarum ( ) disebut sudut samping arah.
c) Jenis jarum.
(1) Jarum-kaku dibaut (bolted rigid frogs) terbuat dari potongan-potongan

rel standar yang dibuat (gambar 3.23).
(2) Jarum–rel–pegas (spring rail frogs)
(3) Jarum-baja–mangan–cor (cast manganese steel frogs). Dipakai untuk
lintas dengan tonase beban yang berat atau lintas yang frekuensi
keretanya tinggi.
(4) Jarum– keras– terpusat (hard centered frogs).
3) Rel lantak
Suatu rel yang diperkuat badannya yang berguna untuk bersandarnya lidah-
lidah wesel.
4) Rel paksa

Dibuat dari rel biasa yang kedua ujungnya dibengok ke dalam. Rel paksa luar biasanya dibuat pada rel lantak dengan menempatkan blok pemisah diantaranya.
5) Sistem penggerak atau pembalik wesel
Pembalik wesel adalah mekanisme untuk menggerakkan ujung lidah.
d. Nomor dan kecepatan ijin pada wesel
1) Nomor wesel, n, menyatakan tangent sudut simpang yakni : tg = 1: n.
2) Kecepatan ijin pada wesel tercantum pada tabel 3.14.
tg
1: 8
1: 10
1: 12
1: 14
1: 16
1: 20
No. wesel
W8
W 10
W 12
W 14
W 16
W2
Kecepatan
ijin (km/j)
25
35
45
50
60
70
Tabel 3.14 Nomor wesel dan kecepatan ijinnya.
24
a
L
A
b
M
1: n
Gambar 3. 23 (a) Jarum–kaku–dibaut (bolted rigid frog)
(b) Jarum–rel–pegas (spring rail frog).
(c) Jarum–baja–mangan dengan rel (Rail bound
manganese steel frog)
e. Bagan wesel
Dalam gambar-gambar rencana untuk pelaksanaan pembangunan, wesel-wesel
biasanya digambar hanya menurut bagannya.
1) Bagan ukuran (gambar 3.24)
Bagan ukuran menjelaskan ukuran-ukuran wesel dan dapat digunakan
untuk menggambar bagan emplasemen secara berskala.
Gambar 3.24 Bagan ukuran wesel.
M = Titik tengah wesel = titik potong antara sumbu sepur lurus dengan
sumbu sepur belok.
A = Permulaan wesel = tempat sambungan rel lantak dengan rel biasa.
Jarak dari A ke ujung lidah biasanya kira-kira 1000 mm.
B = Akhir wesel = sisi belakang jarum.
n = Nomor wesel.
Gambar 3.25 memperlihatkan bagan ukuran wesel Biasa.
Gambar 3.26 memperlihatkan bagan ukuran wesel Tergeser
25
l'
a'
b'
d'
a
b
l
d
Gambar 3.27 memperlihatkan bagan ukuran wesel Inggris
Gambar 3.25 Bagan ukuran wesel Biasa.
Gambar 3.26 Bagan ukuran wesel Tergeser
26
Gambar 3.27 Bagan ukuran wesel Inggris
2) Bagan pelayanan
Dalam gambar emplasemen, bagan pelayanan menjelaskan kedudukan luar
biasa lidah-lidah wesel dan cara pelayanannya.
f. Pemilihan wesel
Pemilihan wesel didasarkan pada kebutuhan pelayanan dengan memperlihatkan
ketidaksediaan lahan, kecepatan, biaya pembangunan serta pemeliharaan.
g. Syarat-syarat Bahan
Syarat-syarat bahan untuk wesel ditentukan dalam peraturan Bahan jalan Rel
Indonesia (PBJRI) atau Peraturan Dinas No. 10 C
h. Bantalan wesel

Wesel dipasang pada bantalan kayu. Ukuran penampang sama dengan batalan biasa. Ukuran panjang bantalan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Kekuatan bantalan harus diperiksa
i. Perhitungan wesel
1) Perhitungan wesel harus didasarkan pada keadaan lapangan, kecepatan,
nomor wesel dan jenis lidah.
2) Besar sudut tumpu ( ) dan sudut simpang arah ( ) dihitung/ ditentukan
dari nomor wesel dan jenis lidah yang dipilih.
3) Panjang jarum (gambar 3.28).
Panjang jarum ditentukan oleh sudut simpang arah ( ), lebar kepala rel
(B), lebar kaki rel (C) dan jarak siar (d) berdasarkan hubungan :
P=
)
3
.
3
(
..........
..........
)
2
/
(
2
)
(
d
tg
C
B
Gambar 3.28
P
E
F
d
B
C
f
1/2
27
4) Panjang lidah (gambar 3.29)
Pada lidah berputar, panjang lidah ditentukan oleh besar sudut tumpu ( ) ,
labar kepala rel (B) dan jarak dari akar lidah ke rel lantak (Y).
Panjang lidah (t) ditentukan oelh persamaan (3.4)
)
4
.
3
(
..........
..........
..........
sin
Y
B
t
Untuk lidah berpegas (gambar 3.30) panjang lidah ditentukan oleh persamaan
(3.5).
T > B cotg........................ (3.5)
5) Jari-jari lengkung luar (gambar 3.31)

Jari– jari lengkung luar (Ru) dihitung dengan persamaan (3.6)
Dimana :
Ru
= Panjang jari-jari lengkung luar.
W
= Lebar sepur
t
= Panjang lidah
p
= Panjang jarum
t
B
Gambar 3.29
Gambar 3.30
RU
t
28
Panjang jari-jari lengkung luar yang dihitung dengan persamaan (3.6) tidak
boleh lebih kecil dari pada:
)
7
.
3
(
......
..........
..........
8
,
7
2
V
R
6) Jari-jari lengkung dalam (R) dihitung dari jari-jari lengkung luar dengan
memperhatikan masalah pelebaran sepur.
Pasal 3 Penambat Rel
a. Umum
Penambat rel adalah suatu komponen yang menambatkan rel pada bantalan
sedemikian rupa sehingga kedudukan rel adalah tetap, kokoh dan tidak bergeser.
b. Jenis Penambat
L
A
W
CD'
C'
C
t
A
D
D'
E
G
G'
E'
R
R
Gambar 3.31
U
U
29

Jenis penambat yang dipergunakan adalah penambat elastic dan penambat kaku. Penambat kaku terdiri atas tirpon , mur dan baut. Penambat elastik tunggal dan penambat elastik ganda.
Penambat elastik ganda terdiri dari pelat andas, pelat atau batang jepit elastik,
alas rel, tarpon, mur dan baut.
Pada bantalan beton, tidak diperlukan pelat andas, tetapi dalam hal ini tebal
karet las (rubber pad) rel harus disesuaikan dengan kecepatan maksimum.
c. Penggunaan penambat
Penambat kaku tidak boleh dipakai untuk semua kalas jalan rel. Penambat
elastic tunggal hanya boleh dipergunakan pada jalan kelas 4 dan kelas 5.
Penambat elastik ganda dapat dipergunakan pada semua kelas jalan rel, tetapi
tidak dianjurkan untuk jalan rel kelas 5.
d. Model penambat

Jenis penambat yang tergolong dalam jenis penambat elastic ganda mempunyai berbagai bentuk dengan hak paten tersendiri. Pemilihan model penambat harus disetujui oleh pemberi tugas.
e. Persyaratan Bahan
Persyaratan bahan untuk penambat harus memenuhi persyaratan bahan pada
Peraturan Bahan Jalan Rel Indonesia atau peraturan Dinas No. 10 C.
Pasal 4 Bantalan
a Umum
1) Bantalan berfungsi meneruskan bahan dari rel ke balas, menahan lebar
sepur dan stabilitas kearah luar jalan rel.
2) Bantalan dapat terbuat dari kayu, baja ataupun beton. Pemilihan didasarkan
pada kelas yang sesuai dengan klasifikasi jalan rel Indonesia.
b Bantalan kayu
1) Pada jalan yang lurus bantalan kayu mempunyai ukuran:
Panjang
= L = 2.000 mm
Tinggi
= t = 130 mm
Lebar
= b = 220 mm
2) Mutu kayu yang dipergunakan untuk bantalan kayu, harus memenuhi
ketentuan Peraturan Bahan Jalan Rel Indonesia (PBJRI)
3) Bantalan kayu pada bagian tengah maupun bagian bawah rel, harus
mampu menahan momen maksimum sebesar:
Kelas kayu
Momen maksimum (Kg–m)
I
800
30
II
530
Tabel 3.15
4) Bentuk penampang melintang bantalan kayu harus berupa empat
persegi panjang pada seluruh tubuh bantalan.
c Bantalan Baja
1) Pada jalur lurus bantalan baja mempunyai ukuran:
Panjang
: 2.000 mm
Lebar atas

: 144 mm Lebar bawah : 232 mm Tebal baja
: minimal 7 mm
2) Mutu baja yang dipakai untuk bantalan baja, harus memenuhi ketentuan
Peraturan Bahan Jalan Rel Indonesia (PBJRI).
3) Bantalan baja pada bagian tengah bantalan maupun pada bagian bawah rel,
harus mampu menahan momen sebesar = 650 kg-m.
4) Bentuk penampang melintang bantalan baja, harus mempunyai bentukan kait
keluar pada ujung bawahnya.
Gambar 3.32
5) Bentuk penamapang memanjang bantalan baja, harus mempunyai bentukan
kait ke dalam pada ujung-ujung bawah.
Gambar 3.33
d BantalanBeton Tunggal Depan proses ” Pretension”.
31
1) Pada jalur lurus, bantalan beton pratekan dengan proses‟pret ension‟
mempunyai ukuran panjang:
L= l +2
)
.
3
........(
..........
..........
B
Dimana : l = jarak antara kedua sumbu vertikal rel (mm)
= 80 sampai 160
= diameter kabel baja prategang (mm)

2) Mutu campuran beton harus mempunyai kuat tekan karakteristik tidak kurang dari 500 kg/cm2, mutu baja untuk tulangan geser tidak kurang dari U-21 dan mutu baja prategang ditetapkan dengan tegangan putus minimum sebesar 17.000 kg/cm2.
3) Bantalan beton pratekan dengan proses‟p reten sion ‟ harus mampu memikul
momen minimum sebesar:
Bagian
Momen (kg–m)
Bawah rel
Tengah Bantalan
+ 1.500
- 765

4) Bentuk penampang bantalan beton harus menyerupai trapesium, dengan luas penampang bagian tengah bantalan, tidak kurang dari 85% dan luas penampang bagian bawah rel.
5) Pusat Berat Baja Prategang diusahakan sedekat mungkin dengan Pusat
Berat Beton .
6) Perhitungan kehilangan tegangan pada gaya prategang cukup diambil
sebesar 25 % gaya prategang awal.
Kecuali jika diadakan hitungan teoritis, maka dapat diambil lain dari 25%
e Bantalan beton Pratekan Blok Tunggal dengan Proses ’Posttension’.
1) Pada jalur lurus, bantalan beton pratekan dengan proses ‟Posttension„
mempunyai ukuran panjang:
L= l + 2
...
..........
..........
..........
(3.9)
Di mana : l = jarak antara kedua sumbu vertikal rel (mm)
= panjang daerah regularisasi tegangan, yang tergantung jenis
angker yang dipakai.

2) Mutu campuran beton harus mempunyai kuat tekan karakteristik tidak kurang dari 500 kg/cm2, mutu baja untuk tulangan geser tidak kurang dari mutu U-24 dan mutu baja parategang ditetapkan dengan tegangan putus minimum sebesar 17.000 kg/cm2.
3) Bantalan beton paratekan dengan proses „posttension„ harus mampu
memikul momen minimum sebesar :
Bagian
Momen (kg–m)
32
Bawah rel
Tengah Bantalan
+ 1.500
- 765

4) Bentuk penampang melintang bantalan beton harus trapezium, dengan luas penampang bagian tengah bantalan, tidak kurang dari 85 % luas penampang bagian bawah rel.
5) Pusat Berat Baja Prategang harus selalu terletak pada daerah galih sepanjang
bantalan.

6) Perhitungan kehilangan tegangan pada gaya prategang cukup diambil sebesar 20 % gaya prategang awal. Kecuali jika diadakan hitungan teoritis, maka diambil lain dari 20 %.
f Bantalan Beton Blok Ganda
1) Pada jalur lurus, satu buah bantalan beton blok ganda mempunyai ukuran ,
sebagai berikut:
- Panjang
= 700 mm
- Lebar
= 300 mm
- Tinggi rata-rata = 200 mm
2) Pada bagian jalur yang lain, hanya panjang batang penghubungnya yang
disesuaikan.

3) Mutu campuran beton harus mempunyai kuat tekan karakteristik tidak kurang dari 385 kg/cm2, mutu baja untuk tulang lentur tidak kurang dari U- 32 dan mutu baja untuk batangpenghubung, tidak kurang dari U-32.
4) Panjang batang penghubung, harus dibuat sedemikian rupa
5) Pusat Berat Baja Prategang harus selalu terletak pada daerah galih sepanjang
bantalan.

6) Perhitungan kehilangan tegangan pada gaya prategang cukup diambil sebesar 20 % gaya prategang awal. Kecuali jika diadakan hitungan teoritis, maka diambil lain dari 20 %.
g Jarak bantalan
1) Baik bantalan beton, baja maupun kayu, pada jalan lurus jumlah bantalan yang
dipergunakan adalah 1.667 buah tiap kilometer panjang.
2) Pada lengkungan, jarak bantalan diambil sebesar 60 cm diukur pada rel luar.
h Pengujian
Setelah perenncanaan selesai, baik bantalan beton serta bantalan baja maupun
bantalan kayu harus diuji kekuatannya dengan pengujian sebagai berikut:
* Uji beban statis
* Uji beban dinamis
* Uji cabut
Pengelasan hasil uji dilakukan oleh pihak yang berwenang menguji.
Untuk bantalan beton, harus dilakukan pengujian tekan sebelum diadakan
pengecoran.
33
Pasal 5 Balas
a Umum

Lapisan balas pada dasarnya adalah terusan dari lapisan tanah dasar, dan terletak di daerah yang mengalami konsentrasi tegangan yang terbesar akibat lalu lintas kereta pada jalan rel, oleh karena itu material pembentukanya harus sangat terpilih.
Fungsi Utama balas adalah untuk:
1) Meneruskan dan menyebarkan beban bantalan ke tanah dasar
2) Mengokohkan kedudukan bantalan
3) Meluruskan air sehingga tidak terjadi penggenangan air di sekitar
bantalan rel.

Untuk menghemat biaya pembuatan jalan rel maka lapisan balas dibagi menjadi dua, yaitu lapisan balas atas dengan material pembentuk yang sangat baik dan lapisan alas bawah dengan material pembentuk yang tidak sebaik material pembentuk lapisan balas atas.
b Lapisan Balas Atas
Lapisan balas atas terdiri dari batu pecah yang keras, dengan bersudut tajam
(”angular”) dengan salah satu ukurannya antara 2-6 cm serta memenuhi syarat-
syarat lain yang tercantum dalam peraturan bahan Jalan Rel Indonesia (PBJRI).
Lapisan ini harus dapat meneruskan air dengan baik.
c Lapisan Balas Bawah

Lapisan balas bawah terdiri dari kerikil halus, kerikil sedang atau pasir kasar yang memenuhi syarat–syarat yang tercantum dalam Peraturan Bahan Jalan rel Indonesia (PBJRI) lapisan ini berfungsi sebagai lapisan penyaring (filter) antara tanah dasar dan lapisan balas atas dan harus dapat mengalirkan air dengan baik. Tebal minimum lapisan balas bawah adalah 15 cm.
d Bentuk dan Ukuran lapisan Balas Atas
1) Tebal lapisan balas atas adalah seperti yang tercantum pada klasifikasi
jalan rel Indonesia.
2) Jarak dari sumbu jalan rel ke tepi atas lapisan balas atas adalah:
b> ½ L+x......................................... (3.10)
Dimana : L = panjang bantalan (cm)
X = 50 cm untuk kelas I dan II
= 40 cm untuk kelas III dan IV
= 35 untuk kelas V
3) Kemiringan lereng lapisan balas atas tidak boleh lebih curam dari 1:2.
4) Bahan balas atas dihampar hingga mencapai elevasi yang sama dengan
elevasi bantalan.
34
e Bentuk dan Ukuran Lapisan Balas Bawah
1) Ukuran terkecil dari tebal lapisan balas bawah adalah d2 (Lihat gambar 2.4).

Yang dihitung dengan persamaan :
D2 = d - d1 > 15............ ......... (3.11)
Dimana di hitung dengan persamaan :
35
,
1
1
10
.
58
d
t
..........................(3.12)
1 =dihitung dengan menggunakan rumus “ beam on elastic foundation”
yaitu:
a
l
b
Pd
2
1
cosh
2
)
1
sin
(sin
1
2
(cos 2
c + cosh l) + 2 cos2
a ( cosh 2 c + cos l ) + sinh 2
a ( sin 2 c- sinh l )- sin 2 a (sinh 2 c– sin l)]
Pd = [ P + 0,01 P ((6
,
1V)– 5)]
Dimana :
Pd
= Beban roda akibat beban dinamis
P
= Beban roda akibat beban statis
V
= Kecepatan kereta api (km/ jam)
% beban = Prosentase beban yang mauk kedalam bantalan.
4
)
4
/(EI
k
............................(3.14)
k = b x ke....................... ............ (3.15)
Dimana : b = Lebar bawah bantalan (cm)

ke = Modulus reaksi balas (kg / cm3) . EI = Kekakuan lentur banalan (kg/ cm2) l = Panjang bantalan (cm)
a = Jarak dari sumbu vertikal rel ke ujung bantalan (cm).
c = Setengah jarak antara sumbu vertikal rel (cm)
2) Jarak dari sumbu jalan rel ke tepi atas lapisan balas bawah dihitung
dengan persamaan-persamaan:
a) Pada sepur lurus : ( lihat gambar 2.3)
k1 > b+ 2d1+ m............................ (3.16)
b) Pada tikungan : (lihat gambar 2.4)
k1 d =k1
k1 l = b+ 2 d 1+ m+2 e......... .............. (3.17)
E
= (b+ 1/2) x h/l + t
3) Pada tebing lapisan balas bawah dipasang konstruksi penahan yang dapat
menajmin kemantapan lapisan itu.
35
Pemilihan konstruksi penahan harus mendapat persetujuan dari pemberi
tugas.
f Kepadatan.
Lapisan balas dibawah bantalan, terutama dibawah dudukan rel harus
dipadatkan dengan baik.
Lapisan balas bawah harus dipadatkan sampai mencapai 100 %
dmenurut
percobaan ASTM D 698.
Pasal 6 Perencanaan Tubuh Jalan Rel
a Umum

Tubuh jalan merupakan lapisan tanah, baik dalam keadaan asli maupun dalam bentuk diperbaiki ataupun dalam bentuk buatan yang memikul beban yang dikerjakan oleh lapisan balas atas dan balas bawah.

Secara umum jalan rel bisa berada di pedataran, perbukitan atau pegunungan. Tubuh jalan biasa berada di daerah galian atau timbunan : ia bisa menumpu pada endapan tanah atau endapan batuan (rock). Tubuh jalan pada timbunan terdiri dari tanah dasar (subgrade). Tanah timbunan asli, sedangkan badan jalan pada galian terdiri dari tanah dasar (subgrade) dari tanah asli. Pada umumnya jalan rel akan melintasi suatu daerah yang sangat panjang dimana keadaan tanah dan formasi geologisnya bisa sangat bervariasi. Kerena itu penelaahan geologi pada penyelidikan tanah yang terperinci sangat diperlukan untuk perencanaan geometric dan tubuh jalan.

Selain faktor geoteknik, harus juga ditelaah faktor hidrologinya. Hal ini penting, tidak hanya untuk kebaikan tubuh jalan itu sendiri, melainkan juga bagi daerah-daerah di kedua sisi tubuh jalan, terutama bertalian dengan kemungkinan terjadinya penggenangan akibat dibangunnya jalan kereta api.
Perencanaan Tanah dasar dan tubuh jalan selalu dikaitkan dengan perencanaan
balas.
b Data–data yang diperlukan
Data yang diperlukan untuk perencanaan tubuh jalan rel dapat digolongkan sbb:

1) Data geologi
2) Data hidrologi
3) Data tanah
1) Data geologi
Data geologi digunakan untuk mengetahui kondisi lokasi secara umum yang
ditinjau dari disiplin ilmu geologi.
Hal-hal yang perlu diketahui dari data-data geologi adalah :

a) Jenis bentuk geologi dan sejarahnya
b) Deskripsi permukaan tanah dan batuan
c) Deskripsi masa tanah terutama mengenai sesar atau lipatan-lipatan.
d) Bentuk lereng dan evaluasinya serta kemungkinan adanya proses-
proses yang masih berjalan seperti gerakan tanah dan pelapukan
bantuan serta pengikisan permukaan
36
e) Kemiringan dan panjang rel, baik di tempat-tempat yang sudah stabil
maupun yang memperlihatkan tanda-tanda kelongsoran.
f) Keadaan- keadaan khusus dari permukaan, seperti lembah, jurang,
sungai, danau dan hal-hal khusus lainnya.
Data geologi umumnya dapat diperoleh dari jawatan geologi.
2) Data hidrologi

Data hidrologi digunakan untuk merencanakan pematusan dari badan jalan, dengan tujuan untuk mencegah kerusakan badan jalan tersebut akibat pengaruh air.
Kerusakan ini umumnya berupa timbulnya kelongsoran dari badan jalan
tersebut akibat berkurangnya kekuatan tanah akibat pengaruh air.
a) Cata curah hujan harian maupun tahunan
b) Keadaan vegetasi
c) Parit-parit dan sungai-sungai.
Data hidrologi dapat diperoleh dari Jawatan Mateorologi dan Geofisika.
3) Data tanah
Data-data tanah diperlukan untuk perencanaan terperinci dari duatu badan
jalan kereta api.
Data-data tanah dapat diperoleh dengan melakukan penyelidikan tanah
dilapangan dan di laboratorium.
a) Penyelidikan tanah dilapangan
Penyelidikan tanah dilapangan berupa:
(1) Bor tanah
Interval jarak dapat diambil + 200 meter bila tanah diperkirakan
sejenis, dan lebih pendek lagi jika tanah bervariasi secara datar.

Kedalaman pemboran yang perlu diketahui diperkirakan + 10 meter atau minimum sedalam tinggi timbunan, diukur dari elevasi permukaan tanah asli.
(2) CBR (California Bearing Ratio) atau Plate Bearing Test.

Pengeboran tanah dilakuan pada beberapa titik, agar dapat diperoleh hubungan data antara semua lintas sehingga untuk perencanaan kelak akan lebih ringan dan sedikit penyelidikan diperlukan. Bersamaan dengan uji coba ini juga dilakukan pengambilan contoh tanah terganggu untuk test klasifikasi sehingga kejelasan sifat tanah makin diketahui dan dengan demikian usaha perbaikan tanah bila diperlukan dengan metoda ASTM D. 1883.
(3)”Portable Cone Penetrometer”

Di beberapa tempat dilakukan test CBR/ plate Bearing Test, untuk menganalisis data antara semuanya sehingga untuk perencanaan atupun perbaikan dikemudian hari akan makin mudah dan cepat.
b) Penyelidikan Tanah di Laboratorium
Penyelidikan Tanah di laboratorium berupa :
(1) Sifat-sifat indeks
Termasuk dalam sifat-sifat ini adalah:
(a). Kadar air (Wn, dilakukan berdasarkan metoda ASTM D. 2216
37
(b). Berat isi tanah (
m), dilakukan berdasarkan metoda ASTM
D. 2937
(c). Berat jenis tanah (Gs), dilakukan berdasarkan metoda ASTM

D. 854
(d). Angka pori tanah (=e), dapat dihitung dari data a,b,c
(e). Derajat kejenuhan tanah (=Sr), dapat dihitung dari data a,b,c.
(2) Sifat-sifat karakteristik
Termasuk dalam sifat-sifat ini adalah:

(a). Gradasi, pemeriksaan dengan analisis saringan, dan bila perlu diikuti dengan analisis hydrometer, yang dilakukan berdasar- kan metoda ASTM D. 422

(b). Batas-batas Atterberg, yang meliputi batas cair, batas plastis dan susut, yang dilakukan berdasarkan metoda ASTM D.423 dan D.424.

(3) Sifat sifat fisik
Termasuk dalam sifat-sifat ini adalah:
(a). Kohesi (C) dan sudut geser (
)
Penyelidikan dengan alat Triaxial dan/atau Direct Shear
berdasarkan metoda ASTM D.2580 dan D. 3080
(b). Qu dan sensitivitas (St)
Penyelidikan dengan alat ”Unconfined compression test”
berdasarkan metoda ASTM D. 2166
(c). Modulus Elastisitas (E)
Penyelidikan dengan alat uji modulus elastisitas berdasarkan
metoda ASTM D. 2435.
(4) Sifat-sifat lain
Selain sifat-sifat diatas, juga perlu diketahui:
(a). Koefisien kompresi (Cc) dan kefisien konsolidasi (Cv), yang
diperoleh dari test berdasarkan metoda ASTM D 2435.
(b). Koefisiensi permeabilitas (k), yang diperoleh dari test
permeabilitas berdasarkan metoda ASTM D. 2434.
(5) Tanah timbunan
Khusus untuk tanah timbunan, pada contoh tanah terganggu perlu
diperiksa di laboratorium hal-hal berikut:

(a). Berat jenis
(b). Gradasi
(c). Batas-batas Atterberg
(d). Pemadatan untuk mengetahui gambar lengkung berdasarkan
metoda ASTM D.698
(e). CBR terendam dan / atu tidak terendam.
c) Daya dukung Tanah Dasar

1) Tanah dasar harus mempunyai daya dukung yang cukup. Menurut percobaan CBR (ASTM D. 1883) kekuatan minimum adalah 8 % untuk tanah dasar.
2) Tebal tanah dasar yang harus memnuhi harga CBR tersebut
minimum 30 cm.
38
0.5
1.0
1.5
2.0
20
40
60
80
100
Batas Cair (%)
T
e
k
a
n
a
n
p
a
d
a
b
a
g
i
a
n
a
t
a
s
t
a
n
a
h
d
a
s
a
r
(
k
g
/
c
m
2
)
t
i
d
a
k
t
e
r
j
a
d
i
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
j
i
k
a
p
e
m
a
t
u
s
a
n
j
e
l
e
k
t
i
d
a
k
t
e
r
j
a
d
i
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
u
n
t
u
k
p
e
m
a
t
u
s
a
n
b
a
i
k
b
a
t
a
s
t
e
r
j
a
d
i
n
y
a
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
p
e
m
o
m
p
a
a
n
b
a
t
a
s
t
e
r
j
a
d
i
n
y
a
l
u
m
p
u
r
p
e
m
a
t
u
s
a
n
j
e
l
e
k
0.5
1.0
1.5
2.03
5
7
10
20
30
50
70
CBR (%)
t
e
r
j
a
d
i
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
t
e
r
j
a
d
i
j
i
k
a
p
e
m
a
t
u
s
a
n
j
e
l
e
k
p
e
m
o
m
p
a
a
n
l
u
m
p
u
r
t
i
d
a
k
t
e
r
j
a
d
i
pem
om
paanlumpur
batasterjad
inya
untukpem
atusan
baik
batasterjad
inya
pemompaanlu
mpur
untukpematu
sanjelek
batasterjad
inya
untukpematu
sanjelek
T
e
k
a
n
a
n
p
a
d
a
b
a
g
i
a
n
a
t
a
s
t
a
n
a
h
d
a
s
a
r
(
k
g
/
c
m
2
)
3) Untuk menghindari pengkotoran balas akibat terisapnya Lumpur
kedalam balas, maka tanah dasar memenuhi persyaratan tertentu.
Sebagai kriteria perencanaan dapat dipakai gambar 3.34 dan
gambar 3.35.
Gambar 3.34 Hubungan antara tekanan pada tanah dasar
dengan batas cair, dan pemompaan lumpur.
Gambar 3.35 Hubungan antara tegangan pada tanah dasar
dengan CBR tanah dasar dan penghisapan lumpur.
39
tanah dasar
drainase
minimum 1.30
d) Tubuh Jalan pada Timbunan

1) Bila tubuh jalan ditempatkan di atas timbunan, maka jenis tanah untuk timbunan tidak boleh termasuk klasifikasi tanah tidak stabil/ kestabilan rendah seperti yang disebutkan pada lampiran III Tabel 3-2 pada Peraturan Bahan Jalan rel Indonesia (PBJRI). Tanah dasar ini tidak boleh mengembang dan menyusut akibat pengaruh air dan lereng-lereng timbunan
tidak boleh lebih curam dari pada 1: 1
2
1dan harus stabil

terhadap pengaruh dalam maupun luar. Bagian atas timbunan setebal minimum 1 m harus merupakan material yang lebih baik dari bagian bawah timbunan. Pada kaki lereng tubuh jalan harus ada berm lebar paling sedikit 1,5 m.
2) Tanah dasar harus miring ke arah luar sebesar 5 %.

3) Jika penurunan tanah dasar akibat pembebanan timbunan dan beban diatas timbunan lebih besar dari 50 cm, maka tanah dasar tersebut harus diperbaiki. Faktor keamanan lereng terhadap bahaya longsor minimum 1,50.
4) Pelaksanaan pemadatan timbunan harus dilakukan lapis demi
lapis dengan syarat:
- Lapisan teratas setebal 30 cm harus mencapai 100 %
dmaks.
- Lapisan lainnya harus mempunyai minimum 95 % d maks.
5) Permukaan atas timbunan harus terletak minimum 0,75 m
diatas elevasi muka air tanah tertinggi.
6) Bila tinggi timbunan lebih besar dari 6.00 m, maka untuk
setiap ketinggian 6.00 m harus dibuat “berm” selebar 1,50m.
7) Lebar tanah dasar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gambar 3.36
e) Tubuh Jalan pada Galian atau Tanah Asli.

1) Bila tubuh jalan pada galian atau tanah asli, maka jenis tanah tidak stabil/ kestabilan rendah seperti yang disebutkan pada lampiran III, Tabel 3.2 pada peraturan Dinas NO. 10 C.

2) Kemiringan tanah dasar harus miring kearah luar sebesar 5 %. Tanah dasar harus terletak minimum 0,75 m di atas elevasi muka air tanah tertinggi.
3) Bila kedalaman galian lebih besar dari 10 m, maka pada setiap
kedalaman 7 m harus dibuat ” berm” selebar 1,5 m.
4) Lebar dari tanah dasar harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
40Gambar 3.37
f) Perbaikan Tanah

1) Apabila tanah tidak cukup kuat, atau penurunan yang diperkirakan akan terjadi melebihi persyaratan, atau lereng timbunan tidak cukup stabil, maka perlu diadakan perbaikan tanah.
2) Metoda perbaikan tanah yang akan diterapkan harus mendapat
persetujuan dulu dari pemberi tugas.
tanah dasar
b
a
b = 1.00 m
a =0.7 m
41
BAB 4 PEMATUSAN
Pasal 1 Umum
Sistem pematusan, yaitu sistem pengaliran pembuangan air disuatu daerah jalan rel
agar tidak sampai terjadi penggenangan.
Sistem pematusan berfungsi :

a. Mengurangi pengaruh air yang dapat merubah konsistensi tanah sehingga tubuh jalan selelu dalam kondisi firm (mantap, keras dan padat). Akibatnya pembentukan kantong-kantong balas tidak terjadi.

b. Tidak ada genangan air pada jalan rel (baik mengenai daerah balas maupun tubuh jalan), di mana ini akan menyebabkan terjadinya pembuangan lempung dan gaya (efek) pompa disaat kereta api lewat yang bisa maikin memperlemah kestabilan dan kekuatan jalan rel.

c. Perjalanan kereta ap tidak terganggu.
Perencanaan pematusan harus dikonsultasikan secara seksama kestaf perencanaan
jalan K.A.
Macam-macam Pematusan
Ada 3 (tiga) macam pematusan, yaitu:

a. Pematusan permukaan (Surface Drainage) b. Pematusan bawah tanah (Sub- Drainage) c. Pematusan lereng (Drainage of Slope)
Diperlukan tidaknya salah satu atau semua dari ketiga macam pematusan
tersebut harus dianalisa dengan seksama.
Pasal 2 Pematusan Permukaan
a. Macam
1) Pematusan memanjang (side-ditch)
2) Pematusan melintang (Cross drainage)
b. Perlu atau tidaknya pematusan permukaan bergantung pada topografi dari daerah
yang diperhatikan.
c. Pembuangan air ditentukan sedemikian rupa sehingga tidak menggangu pihak luar
PJKA.
d. Data yang diperlukan untuk perencanaan pematusan permukaan adalah:

1) Data curah hujan dalam jam, harian maupun tahunan
2) Keadaan permukaan tanah (topografi) dan tata guna (landuse) setempat.
3) Jenis tanah setempat
e. Bentuk saluran pematus
42
1) Pematusan memanjang bisa berupa saluran terbuka atau saluran tertutup,
dengan bentuk penampang trapezium, lingkaran atau segitiga terbalik.
2) Pematusan melintang berupa gorong-gorong (culvert) tunggal atau banyak.
Aliran airnya bisa berupa aliran terbuka atau aliran tertutup / penuh.
Pemilihan bergantung kepada kemudahan pelaksanaan di lapangan namun harus
memenuhi persayaratan hidrolik.
f. Bahan saluran pematus

1) Pemilihan bahan untuk saluran memanjang bergantung pada kemiringan topografi dan jenis tanah setempat. Bila diperlukan penguat saluran, dapat menggunakan kayu/ susunan batu kosong/ susunan batu bata diplester/ acuan beton, yang disesuaikan dengan keadaan.
2) Saluran melintang dibuat dengan pasangan batu diplester bertutupkan
pelat beton bertulang, pipa beton bertulang atau pipa baja gelombang.
3) Kekuatan saluran harus dijamin tahan terhadap pengaruh setempat yang
dapat merusak, maupun terhadap semua gaya yang akan bekerja padanya.
g. Kemiringan saluran tanah harus direncanakan berdasarkan keadaan lapangan dan
kecepatan aliran sehingga saluran tetap stabil.

h. Kecepatan aliran pembuangan air (V) tidak boleh terlalu besar untuk mencegah erosi, dan juga tidak boleh terlalu lambat untuk mencegah terjadinya pengendapan secera cepat.
Kecepatan aliran juga bergantung pada bahan pembentuk saluran, tabel 4.1
dibawah dapat digunakan sebagai pedoman analisis.
Bahan
Kecepatan Aliran V (m/ detik)

Beton
Aspal
Pasangan batu/ bata
Kerakal, atau lempung yang sangat kompak
Pasir kasar, atau tanah berkerakal atau berpasir
Lempung dan sedikit pasir.
Tanah berpasir halus, atau berlanau

0,6- 3,0
0,6-1,5
0,6- 1,8
0,6-1,0
0,3- 0,6
0,2-0,3
0,1- 0,2
i. Ukuran Penampang saluran terbuka:
1) . a) Ukuran penampang saluran harus cukup besar sehingga mampu membuang
debit air hujan yang menuju padanya (strom water runoff).
Bila dinyatakan dengan rumus, maka:
Q2 > 1,20 Q1
kemudian :
Q2=V2. A2................................ ....................................................(4.1)
43
V2 =
2
/
1
2
3
/
2
2
.
.
1
i
R
n

.........................................................................(4.2) R2 = P22......................................................................................... (4.3) Dimana : Q1 = Debit air yang dibuang (m3/ det)
Q2 = Debit air rencana saluran
V2 = Kecepatan aliran rencana dalam saluran (m/ det),
besarnya harus masuk dalam herga batasnya.
R2 = Jari-jari hidrolik saluran rencana (m)
A2 = Luas penampang basah saluran rencana (m)
P2 = Keliling basah saluran rencana (m)
i2 = Kemiringan muka aliran air dalam saluran rencana
n = Koefisien kekasaran saluran rencana.
H = Tinggi air, bervariasi
W = Ambang bebas (waking,
free board)
Gambar 4.1
Ukuran saluran (A, P dan H) dperoleh secara coba-coba.
b) Setelah tinggi H didapat, maka tinggi saluran masih harus ditambah
dengan W (waking: free board).
Besarnya W diambil berdasarkan perhitungan loncatan air secara
hidrolik, ditambah 15 cm.
2) Besaran koefiensi kekasaran saluran (n) dalam rumus 4.3 harus ditentukan
berdasarkan pada kondisi permukaan saluran.
Tabel 4.2 dibawah dapat digunakan sebagai pedoman analisis.
Tipe pematusan
Permukaan saluran
Koefisiensi Kekasaran
Tidak diperkuat
Tanah
0,02
0,025
Pasir dan kerikil
0,25
0,04
Cadas
0,025
0,035
Dibuat ditempat
Plesteran semen
0,01
0,013
Beton
0,013
0,018
“ Rubble Wet mortarmasonry”
0,015
0,03

Rubble Dry mortarmasonry”
0,025
0,035
Pracetak
Pipa beton bertulang sentrifugal
0,01
0,014
Pipa beton
0,012
0,016
WH
P
A
44
Pipa baja gelombang
0,016
0,025

3) Besarnya debit air yang harus dibuang, Q1 (m3/ det) tergantung pada
- Luas daerah pengaliran air yang akan menyerang jalan rel, A (km2)
- Inetensitas hujan rata-rata maksimum di daerah termaksud I (mm/ jam)
- Koefisinsi pengaliran dari daerah termaksud (C)
Bila dinyatakan dengan rumus maka:
Q1 =6
,
31. C.I.A1................................ ................................................... (4.5)
Di mana :
- C, koefisiensi aliran bergantung pada kondisi permukaan tanah (terrain)
setempat dan tata gunanya.
Kondisi Permukaan Tanah
C
* Lereng - tanah berbutir halus
- tanah berbutir kasar
- tanah batuan keras (hardrock )
- tanah batuan lunak (softrock )
* „Turf‟ Diselimuti tanah berpasir
- Kemiringan 0-2 %,
- Kemiringan 2-7 %,
- Kemiringan >7 %,

Diselimuti tanah„cohesi ve‟
- Kemiringan 0-2 %,
- Kemiringan 2-7 %,
- Kemiringan >7 %,
* Daerah perbukitan
* Daerah pegunungan
* Sawah dan genangan air
* Padang olahan

0,40-0,65 0,10-0,30 0,70-0,85 0,50-0,75

0,05-0,10 0,10-0,15 0,15-0,20

0,13-0,17 0,18-0,22 0,25-0,35 0,30-0,50 0,50-0,70 0,70-0,80 0,10-0,30
Tabel 4.3 Harga C untuk kondisi permukaan tanah.
Tata Guna tanah
C
45
* Daerah komersial - Kota
- Sebelah kota
* Daerah industri
- Padat
- Kurang padat
* Daerah pemukiman - Penuh rumah
- Ada yang kosong
* Daerah hijau/ tanah olahan dan hutan
0,70

0,50 0,60 0,50

0,50 0,30 0,10
0,95

0,70 0,90 0,80

0,80 0,50 0,30
Tabel 4.4 Harga C tergantung tata guna tanah
Tabel 4.3 dan 4.4 diatas dapat diambil sebagai pedoman analisis.
-

A1 , luas daerah pengaliran air yang akan menyerang jalan rel, atau air yang harus dibuang, besarnya ditentukan berdasarkan peta topografinya yang terbaru pengukuran luas bisa dengan alat planimeter.
-

I, intensitas hujan rata-rata maksimum yang lamanya sama dengan lama waktu konsentrasi dengan masa ulang tertentu dinyatakan dalam satuan mm/jam, bisa dihitung dengan :
(1) Cara gumbel, atau
(2) Rumus Talbot yaitu : I =
b
t
amm/ jam (4,6)
Dimana : I
= Intensitas masa ulang hujan
a, b = konstanta, tergantung daerah setempat
t
= waktu konsentrasi (menit) minimal 10 menit dan maksimal
120 menit.
(3) Cara lain yang dijamin kebenarannya.

Waktu konsentrasi adalah waktu/menit, yang dibutuhkan oleh titik air hujan untuk mengalir dari tempat terjauh ke pintu ke luar/penampang kritis yang diperhatikan dalam perencanaan.
Penentuan masa ulang hujan, besarnya bergantung pada kelas jalan rel
sebagai berikut:
Kelas jalan rel
Masa Ulang Hujan

Fasilitas
Pematusan
wajar (*) (tahun)
Fasilitas pematusan
lebih penting *
(tahun)
12345

15
10
733

25
15
10
55
46
Tabel 4.5
(*) Seperti saluran pendek, dan atau saluran dari suatu lereng yang landai.
* Seperti saluran panjang, dan atau lereng curam.
j. Khusus untuk pematusan melintang atau gorong-gorong, maka:
- Pada pertemuan antara pematusan memanjang dengan pematusan melintang
harus dipasang bak penampung tanah (sand trap).
- Tanah di sekeliling bidang pematusan melintang harus dipadatkan dengan baik
dan benar, disesuaikan dengan usulan perencanaan tubuh jalan.

- Aliran air didalam gorong-gorong sebaiknya berupa aliran terbuka, sehingga masalah hidrolika yang merugikan (seperti aliran jadi terhambat, atau timbul kavitasi) tidak terjadi.
- Ukuran penampang minimal berdiameter atau beralas 60 cm, agar memudahkan
pemeliharaan/pembersihan endapan.

- Tidak boleh ada kebocoran air yang merembes melalui sambungan, karena air bocoran dapat melemahkan tubuh jalan (subgrade) dibawah saluran yang dapat membahayakan jalan rel.
Pasal 3 Pematusan Bawah Tanah (Sub-Drainage)

a. Pematusan bawah tanah lebih dimaksudkan untuk menjaga agar elevasi muka air tanah tidak akan mendekati permukaan tanah tubuh jalan yang harus dilindungi, sehingga konsistensi dan kepadatan tubuh jalan dibawah balas kondisinya tetap baik.
b. Elevasi muka air tanah dapat naik ke permukaan tanah tubuh jalan (yang
bisa melemahkan kestabilan dan kemantapan tubuh jalan) secara:
1) Kapilaritas
2) Rembesan (seepage) dari aliran air yang datang dari samping tubuh jalan
(seperti daerah tebing yang ada disebelah tubuh jalan).

c. Tubuh jalan yang dilindungi khususnya yang ada pada kondisi permukaan asli, atau daerah galian; dimana tebal tanah tubuh jalan yang harus tetap kering adalah lebih besar atau sama dengan 75 cm dibawah dasar balas.
Bagi tubuh jalan yang merupakan tanah timbunan , maka konstruksi pematus
bawah tanah tidak diperlukan, karena sudah ada lapisan filter.

Bila pembuatan pematusan semacam itu tidak dapat dilakukan, seperti dipinggir pantai, maka perlu dicarikan jalan keluar yang investasinya paling rendah.

d. Konstruksi pematusan bawah tanah terdiri atas pipa berlubang (Perforated pipe) yang dipasang dibawah tanah di pinggir kiri dan atau kanan tubuh jalan. Pipa berlubang ini menumpu pada lapisan pasir setebal + 10 cm, dan diatas pipa berlubang dihampar dan dipadatkan kerakal kasar dengan tebal lebih dari 15 cm; serta diatas kerakal ini dihamparkan material yang kedap air agar permukaan tidak masuk ke dalam pematusan dibawah tanah.
Saluran pipa yang berlubang harus dilindungi oleh bahan penyaring butir halus
tanah.
47
>75 c
m
Bahan penyaring yang dipilih disesuaikan dengan keadaan setempat.
Gambar 4.2
Air dalam pipa berlubang ditampung dan dibuang ketempat yang lebih rendah.
Pembuangan, bila perlu, dilakukan dengan pompa.
e. Data yang diperlukan untuk perencanaan pematusan bawah tanah adalah :
1) Letak elevasi muka air tanah saat musim basah.
2) Angka koefisiensi permeabilitas jenis tanah yang mengandung air tanah,
(cm/ det).
3) Elevasi dan kemiringan lapisan kedap.

Data-data tersebut bisa diperoleh bersama dengan data penyelidikan bawah tanah (alternative) ukuran pematusan bawah tanah perlu analisa perhitungan secara seksama (memadai).
f. Perhitungan ukuran pipa berlubang adalah :
1) Bila lapisan kedap yang berada dalam massa tanah kedudukanya miring.
Gambar 4.3
lapisan kedap airr
48
1
q
= k.i.H0................................ ....................................................... (4.7)
Dimana : q = debit air per meter panjang (cm3/ det);
1
qdebit air yang harus dibuang, dan
2
qdebit air rencana saluran.

k = koefisien permeabilitas (cm/ det)
i = kemiringan lapisan kedap
H = turunnya elevasi air tanah yang diharapkan (cm) dan
q2 > 1,20 .q1.
2) Bila lapisan kedapnya datar dan dekat:
Gambar 4.4
R
H
H
K
q
o
2
)
(
2
2
1
....................................................................................(4.8)
Di mana : H = elevasi muka air tanah asli (cm)
Ho = elevasi muka air tanah dalam pipa (cm)
R = muka air tanah mulai belok untuk masuk ke dalam pipa (cm),
dimana besarnya bervariasi yang secara perkiraan adalah tabel 4.6
Jenis tanah bawah
R (m)*
Pasir halus
Pasir sedang
Pasir kasar

25
100
500

100
500
1000
* Angka ini berlaku bila muka air tanahnya turun (2-3) m dan q2 >
1,20 q1
3) Bila lapisan kedapnya jauh dibawah, maka:
rR
H
k
rR
H
k
q
o
o
2
log
6
,
4
.
.
2
ln
2
.
.
1
.....................................................................(4.9)
Dimana : r = ½ dari diameter pipa, dan symbol lain seperti sebelumnya.
lapisan kedap air
H
Ho
R
49
0
10
15
40
60
85
90
100
besar
(diameter butir)
gradasitubu
hjalan
gradasisari
ngan
l
o
l
o
s%
q2 > 1,20 q1
g. Hubungan ukuran butir material saringan (filter) dengan butir material tubuh
jalan

dan lubang-lubang pipa harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu sedemikian sehingga aliran air lancar, namun butir-butir material yang halus tidak ikut terbawa aliran.
Bila dinyatakan dengan rumus 4.9 maka:
dan
,
5
jalan
tubuh
,
D
saringan
,
D8515
dan
,
5
jalan
tubuh
,
D
saringan
,
D1515
dan
,
2
jalan
tubuh
,
D
saringan
,
D85
25
jalan
tubuh
,
D
saringan
,
D5050
Dimana :
D = Diameter (mm)
Gambar 4.5
D = Diameter
h. Pasir, pipa berlubang dan kerakal, semuanya harus diselimuti bahan penahan
butiran halus.
Pasal 4 Pematusan Lereng
a. Pematusan lereng lebih dimaksudkan untuk:
1) Mencegah agar air permukaan yang berasal dari punggung lereng tidak
mengalir secara deras sehingga menggerus permukaan dan kaki lereng.

2) Mencegah terjadinya aliran rembesan (seepage) didalam tubuh lereng tanah, dimana ini dapat menyebabkan lereng bisa longsor secara mendadak dan atau memperlemah tubuh jalan kereta api.
b. Macam-macam pematusan lereng adalah:

1) Selokan mahkota, berupa saluran terbuka yang memanjang di punggung lereng tidak mengalir secara deras sehingga menggerus permukaan dan kaki lereng.
2) Selokan bangket, berupa saluran terbuka yang memanjang ditengah lereng.
3) Lubang susu (weep–hole), berupa lubang pemboran ke tubuh lereng secra

selang-seling dan diisi pasir dan kerakal.
4)Selokan ‟intercapting‟, berupa saluran di kaki lereng yang memanjang.
5) Pematusan mulut ikan.
50
1.a
2
3
4
1.b
1.a
2
3
2
1.b
2
1
4
3
4
6
5
5m
aliran rembesan air
(*) a.1 : pematusan mulut ikan
1. selokan mahkota
2. selokan bangket
3. lubang susu
4. selokan 'intercepting
5. selokan bawah tanah
6. selokan bawah tanah
bisa selang-seling
atau hamparan (*)

c. Pada suatu lereng, baik galian maupun timbunan, tidak harus semua macam pematusan lereng ada padanya; kebutuhan itu tergantung pada kondisi lereng setempat.
d. Analisis ukuran pematusan lereng serupa seperti untuk pematusan permukaan.
e. Kemiringan saluran tergantung bahan yang dipergunakan dengan memperhatikan
kecepatan yang diperbolehkan.
1. Saluran memanjang, ukuran 1.a bisa berbeda dengan 1.b
2. Bak Pertemuan sand trap, berfungsi juga sebagai perangkap kotoran (tanah
atau sampah)
3. Saluran melintang
4. Saluran pembuang ke saluran alam.
Gambar 4.6 Contoh pematusan permukaan
51
1
2
4
6
4
1
Gambar 4.7 Contoh macam– macam pematusan lereng (potongan melintang)
Gambar 4.8 Contoh macam– macam pematusan (tampak atas gambar 4.7)
52
BAB 5. PENUTUP
Pasal 1. Hal-hal yang belum diatur.
Untuk hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini, ketentuan– ketentuan pada
peraturan terdahulu tetap berlaku.
Pasal 2. jalan rel yang sudah ada sebelum peraturan ini dikeluarkan.
Untuk jalan rel yang sudah ada sebelum peraturan ini dikeluarkan, Selama belum
dilakukan penyesuaian ke peraturan ini, tetap berlaku peraturan yang terdahulu.
Pasal 3. Penambahan dan Perubahan

Tambahan atau perubahan yang diperlukan dikemudian hari, baik karena perkembangan teknologi ataupun karena adanya tuntutan setelah dilaksanakan pengkajian dan penelaahan yang memadai, dan setelah hasil pengkajian dan penelaahan itu disetujui oleh Pimpinan PJKA.