Powered By Blogger

Laman

Minggu, 14 Maret 2010

Perencanaan Kota

Puslata | UT
Home > FISIP > ADPU4433 Perencanaan Kota
ADPU4433 Perencanaan Kota




TINJAUAN MATA KULIAH

Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kualitas masyarakat. Perkembangan kota perlu dikelola secara baik agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat. Sebagaimana diketahui fenomena yang terjadi akibat perkembangan kota yang tidak dikelola secara baik contohnya adalah banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai, perubahan lahan hijau menjadi lahan komersial, dan lainnya, yang semua itu diakibatkan pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping, izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan.
Keadaan sebagai tergambar di atas merupakan keadaan yang umum terjadi di negara-negara berkembang, sebagai akibat dari pembangunan yang lebih berorientasi pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian, menjadikan laju urbanisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari pedesaan menjadi pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.
Mata kuliah Perencanaan Kota mencoba menjelaskan Perencanaan Kota sebagai disiplin ilmu. Pembahasan Perencanaan Kota pada mata kuliah ini lebih menekankan pada perencanaan dalam sektor publik, yang secara spesifik difokuskan pada salah satu jenis perencanaan yang berdasarkan skala spasial, yakni Perencanaan Kota atau Perencanaan Wilayah Perkotaan. Mata kuliah ini berisi 9 modul. Di mana dari tiap-tiap modulnya selain terdapat pembahasan berupa konsep dan teori, juga disajikan rangkuman, latihan dan tes formatif. Sehingga dengan kelengkapan yang ada pada tiap-tiap modul dapat mempermudah Anda dalam memahami mata kuliah Perencanaan Kota.
Dalam Modul 1, Anda diajak memahami beberapa pengertian dasar, konsep atau terminonologi yang berkaitan dengan wilayah, kota, perkotaan, perencanaan, serta perencanaan kota. Kemudian dalam Modul 2, akan diuraikan tinjauan historis terhadap perkembangan kota dan perencanaan kota. Dengan tinjauan historis terhadap perkembangan kota diharapkan Anda mendapat wawasan tentang asal mula kota, perkembangan dan praktek perencanaan kota yang sesungguhnya yang mencerminkan proses evolusi dalam peradaban manusia melalui pola pemukiman yang kemudian disebut sebagai kota atau perkotaan. Pada Modul 3, terkait dengan pertumbuhan perkotaan yang sangat pesat, yang menjadi tantangan untuk dipelajari adalah implikasi pertumbuhan perkotaan tersebut. Apakah pertumbuhan kota-kota sesuatu yang baik atau buruk? Dapatkah pertumbuhan perkotaan dikendalikan? Apa dan bagaimana pemerintah melakukan intervensi dalam pembangunan perkotaan? Dalam Modul 4, akan dibahas kota dalam konstelasi regional, dengan memandang kota sebagai nodal (kota dan sistem kota-kota). Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi menunjukkan bahwa urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penting yang menciptakan perkembangan kota-kota secara umum. Kemudian pada Modul 5, akan dibahas tentang Perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan, yang akan menjadi pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia; sedangkan pembangunan adalah proses untuk melakukan perubahan atau suatu proses perubahan yang disengaja untuk mencapai perbaikan kehidupan dan penghidupan yang berkesinambungan. Dengan mengkaitkan kedua pengertian ini diharapkan Anda dapat mengerti makna dari perencanaan pembangunan secara lebih komprehensif. Di dalam Modul 6 akan dibahas struktur internal kota sebagai landasan pemahaman terhadap kota sebagai suatu sistem spasial. Di dalamnya akan dibahas unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota baik berdasarkan tinjauan konsepsional para ahli maupun prakteknya di Indonesia, serta pendekatan-pendekatan yang selama ini dipergunakan untuk menjelaskan bentuk dan struktur tata ruang. Pemahaman terhadap bentuk dan struktur tata ruang kota menjadi sangat penting karena terkait dengan implikasinya dalam perencanaan tata ruang kota.
Perencanaan kota merupakan intervensi terhadap perkembangan kota/kawasan perkotaan yang berlangsung pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial-ekonomi yang menyertainya. Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan yang menuntut pemenuhan kebutuhan dasarnya, sementara di sisi lain semakin terbatasnya lahan perkotaan serta masih belum terpenuhinya secara memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan, menjadi tantangan dalam perencanaan kota, terutama di negara berkembang. Untuk itu dalam Modul 7 akan disajikan pada Anda tentang Hakikat Perencanaan, yaitu intervensi. Selain itu melalui Modul 8 pada mata kuliah ini akan dibahas proses Perencanaan Kota, yang akan didahului dengan tinjauan terhadap proses perencanaan secara umum, karakteristik serta tahapan atau langkah-langkah kegiatannya secara rinci. Dengan dasar pemahaman terhadap proses perencanaan secara umum tersebut selanjutnya dibahas proses perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara spesifik sesuai dengan ketentuan prosedur perencanaan yang berlaku. Dan terakhir, melalui Modul 9, berkaitan dengan pertumbuhan perkotaan yang pesat, beberapa isu atau tantangan yang dihadapi pemerintah daerah/kota seperti globalisasi, urbanisasi, kemiskinan dan lingkungan kota dibahas tentang kebijakan pembangunan perkotaan yang tanggap terhadap berbagai isu dan tantangan tersebut, baik secara eksternal maupun internal.
Setelah mempelajari mata kuliah Perencanaan Kota, secara umum Anda diharapkan dapat memahami kerangka konseptual mengenai kota, perkembangan kota, proses dan produk perencanaan kota, permasalahan kota, kebijaksanaan pembangunan kota, dan praktek perencanaan kota di Indonesia.

Selamat belajar!


MODUL 1: PENGERTIAN DASAR DAN KARAKTERISTIK KOTA, PERKOTAAN, DAN PERENCANAAN KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Pengertian Wilayah, Daerah, Kota, Perkotaan, Perencanaan
Pembahasan tentang Perencanaan Wilayah Perkotaan perlu terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan terhadap pengertian-pengertian dasar, konsep atau terminologi yang menjadi unsur-unsur yang membentuknya. Pengertian-pengertian dasar tersebut mencakup wilayah, kota dan perkotaan, serta perencanaan. Selain itu, perlu dibahas pula pengertian yang berkaitan seperti daerah dan kawasan. Pemahaman terhadap pengertian-pengertian dasar tersebut diperlukan sebagai pengantar kepada Perencanaan Wilayah dan Kota, baik sebagai disiplin ilmu maupun sebagai salah praktek dalam perencanaan pembangunan di Indonesia.
Keterkaitan antara wilayah, daerah, kawasan sebagai ruang atau kesatuan geografis, dapat dilihat dari hubungannya berdasarkan aspek geografis, administrasi, dan perwatakan fungsional. Wilayah dipergunakan dalam konteks pengertian umum meskipun lebih umum (Wilayah Nasional, Wilayah Provinsi, Wilayah Kabupaten/Kota, atau Wilayah Indonesia Timur, Wilayah Kalimantan, Wilayah Pantai Utara Pulau Jawa). Daerah dipergunakan mengacu pada pengertian administrasi daerah otonom, yang di Indonesia adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Sementara itu kawasan dipergunakan dalam pengertian fungsional. Dalam hal ini. misalnya suatu wilayah provinsi, berdasarkan fungsinya dalam terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Contoh yang lain wilayah kabupaten (yang berdasarkan pengertian administrasi merupakan Daerah Otonom) mencakup baik kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dalam skala wilayah yang lebih kecil lagi, wilayah Kota berdasarkan fungsinya terdiri dari kawasan perumahan, kawasan perdagangan dan jasa, kawasan pemerintahan, kawasan industri, dan sebagainya.
Perencanaan kota (atau wilayah/kawasan perkotaan) mengacu pada pengertian perencanaan secara umum sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini yang menjadi domainnya adalah sektor publik, yang dalam skala spasial objeknya adalah kota atau kawasan perkotaan.

Kegiatan Belajar 2:
Karakteristik Kota dan Kawasan Perkotaan: Tinjauan dari Berbagai
Aspek
Apa yang dimaksud kota atau kapan sebuah permukiman dapat disebut sebagai kota, merupakan pertanyaan yang mendasar pada saat kita membahas kota atau perkotaan beserta karakteristik. Jawaban terhadap pertanyaan ini tergantung dari sudut pandang mana atau bidang/disiplin apa meninjaunya. Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi, dan lain-lain. Sebagai suatu konsep atau pengertian yang berkaitan dengan ruang sebagai tempat manusia beraktivitas, pengertian kota secara fungsional sangat beragam, sebanyak pakar mendefinisikannya berdasarkan sudut pandang atau tinjauan yang berbeda-beda.
Dalam konteks ruang, kota merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.
Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status administrasinya, yakni: (1) Kawasan perkotaan berstatus administratif Daerah Kota; (2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten; (3) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan (4) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan.

Kegiatan Belajar 3:
Karakteristik dan Ruang Lingkup Perencanaan Kota
Pengertian perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Unsur-unsur dasar dalam perencanaan adalah: (1) merencana berarti memilih; (2) perencanaan sebagai alat untuk mengalokasikan sumber daya; (3) perencanaan sebagai alat untuk mencapai tujuan; (4) perencanaan adalah untuk masa datang. Sebagai aktivitas perencanaan yang mempunyai domain publik, karakteristik perencanaan : (1) mengarah ke pencapaian tujuan; (2) mengarah ke perubahan; (3) pernyataan Pilihan; (4) rasionalitas; dan (5) tindakan kolektif sebagai dasar.
Jenis aktivitas perencanaan pada dasarnya dapat dibedakan berdasarkan kriteria: sifat tujuan perencanaan, lingkup aktivitas perencanaan yang tercakup; hierarki/tingkat spasial, dan hierarki operasional. Dalam konteks ini perencanaan kota/perkotaan merupakan salah jenis perencanaan berdasarkan hierarki spasial, yakni pada tingkat/skala kota atau kawasan perkotaan.
Perencanaan kota/perkotaan berorientasi pada aspek fisik dan spasial. Dalam hal ini perencanaan kota/perkotaan penyiapan dan antisipasi kondisi kota pada masa yang akan datang, dengan titik berat pada aspek spasial dan tata guna lahan, yang dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan.


DAFTAR PUSTAKA
Alexander, Ernest R., (1988). Approach to Planning : Introducting Current Planning Theories, Concepts, and Issues, Gordon and Breach Science Publishers.

Branch, Melville C., (1995). Perencanaan Kota Komprensif, Pengantar dan Penjelasan. Terjemahan Wibisana. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Conyer, Diana and Hills, Peter, (1984). An Introduction to Development Planning in Third World, John Wiley.

Devas, Nick and Rakodi, Carole (ed.), (1993). Managing Fast Growing Cities : New Approach to Urban Planning and Management in Developing World. New York: Longman Scientific & Technical.

Daldjoeni, (1987). Geografi Kota dan Desa. Bandung: Penerbit Alumni.

Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Cipta Karya. (1997). Kamus Tata Ruang.

Hartshorn, Truman A., (1992). Interpreting the City : An Urban Geography. New York: John Wiley & Sons.

Nas, PJM, (1977). Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bhratara.

Zahnd, Markus, (1999). Perancangan Kota secara Terpadu: Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Soegijapranata Press.


MODUL 2: SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA DAN PERENCANAAN KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Sejarah Perkembangan Kota dan Perencanaan Kota
Pemahaman terhadap perkembangan kota dapat dilakukan dengan menggunakan perspektif sejarah karena sejak ribuan tahun fenomena kota sudah dikenal walaupun di berbagai bangsa kehidupan perkotaan mempunyai arti yang berbeda-beda. Berdasarkan tinjauan historis ini dapat diamati bagaimana dinamika perkembangan kota dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya dan sebaliknya perkembangan masyarakat dipengaruhi pula oleh perkembangan kotanya.
Permukiman yang menjadi cikal-bakal kota sejak ribuan tahun yang lalu bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada sejumlah besar penduduk dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam konteks dinamika perkembangan permukiman yang menjadi cikal-bakal itu pula perencanaan kota berkembang. Karenanya, sesungguhnya perencanaan kota telah berkembang sebagai suatu seni di ilmu selama hampir 6.000 tahun. Dari kota-negara Asiria hingga pembangunan kembali kota-kota sentral masa kini, terdapat evolusi dalam pemikiran dan praktek perencanaan kota.
Penelusuran terhadap sejarah perkembangan kota dan perencanaan kota telah dilakukan dengan melakukan periodisasi dari yang paling sederhana dengan membuat dikotomi kota tradisional – kota modern, sampai dengan periodisasi yang rinci sesuai dengan perkembangan peradaban yang melatarbelakanginya. Perkembangan kota dan perencanaan kota dapat diamati seiring dengan evolusi peradaban Mesir Kuno (Kota Babilonia); peradaban Yunani (Kota Athena); peradaban Romawi (Kota Militer); Abad Pertengahan (Renaisance); Revolusi Industri; dan Gerakan Reformasi (Abad 20). Dalam persepektif lain, upaya untuk memahami pola perkotaan (urban pattern) dan tahapan perkembangan kota di masa lalu, menunjukkan perkembangan kota-kota : Kota Zaman Kuno : Mesir, kota-kota di Aegea, Beijing dan Lukang; Kota Klasik; Kota Neo-Klasik; dan Kota Modern/pasca Revolusi Industri.
Apabila ditinjau dikotomis, perkembangan kota berdasarkan perspektif historis dapat dibedakan antara kota tradisional dan kota modern. Pembedaan ini mengacu pada aspek kompleksitas kota-kota tersebut dalam tatanan fisik-spasialnya dengan parameter ruang/morfologi, ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kota tradisional mempunyai pola-pola demografis dan ekologis yang dilintasi budaya tradisional setempatnya sehingga susunan kota-kota tradisional dipengaruhi oleh faktor-faktor yang membatasi pola susunannya, yaitu keamanan dan persatuan, keterbatasan bahan dan teknologi, keterbatasan mobilitas, struktur sosial yang kaku, serta perkembangan yang agak lambat. Kota modern susunan kotanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak lagi dipengaruhi oleh batasan tertentu seperti pada kota tradisional karena kota modern mempunyai ciri ketidakterbatasan, baik dalam komunikasi dan pengaruh pada masyarakat secara individual; ketidakterbatasan teknologi yang menyebabkan perbedaan bentuk kota dan citranya; maupun ketidakterbatasan mobilitas yang mengarah pada perluasan dan kepadatan kawasan kota, yang berkembang begitu cepatnya.

Kegiatan Belajar 2:
Sejarah Perkembangan Kota dan Perencanaan Kota di Indonesia
Sejarah perkembangan kota di Indonesia dari masa tradisional sampai dengan masa kolonial, secara umum dapat dibagi ke dalam empat periode, yakni : periode I (abad ke-III-IX); periode II (abad IX-XV); periode III (abad XV-XVIII); dan periode IV (abad ke-XIX-XX). Pada periode III, setelah kerajaan Majapahit mulai runtuh dan di Jawa mulai tumbuh kota-kota Gresik, Tuban, Banten, Batavia, Aceh di Sumatra, Makasar di Sulawesi, sejalan dengan masuknya Islam. Pada periode IV (abad XIX-XX), kota-kota di Asia Tenggara makin tumbuh dan berkembang terutama sesudah adanya perjanjian Wina dan dibukanya terusan Suez. Pada masa ini banyak pengaruh Eropa dan terjadi percampuran bentuk Barat dan Timur atau tradisional. Berdasarkan periodisasi tersebut, perkembangan kota-kota tradisional di Indonesia menunjukkan evolusi dari kota tradisional menjadi kota kolonial sehingga pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Barat dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan tata bangunannya.
Dalam perspektif lain, periodisasi perkembangan kota di Indonesia dapat dibagi: kota masa pra-kolonial dan masa kolonial; kota masa kolonial abad 20; kota dekade 1950-an; dan kota masa Repelita.
Perkembangan kota-kota di Indonesia di masa lalu tak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Dalam hal ini ada keterkaitan antara kedatangan Islam dan pertumbuhan kota-kota pesisir, karena kedatangan orang-orang muslim mengikuti jalan pelayaran dan perdagangan maka tempat-tempat yang dituju kebanyakan terletak di pesisir-pesisir. Tempat-tempat itu ada yang sudah tumbuh sebagai kota-kota pelayaran sebelum Islam, dan ada pula tempat-tempat yang belum berfungsi sebagai kota-kota. Melalui proses Islamisasi terbentuklah kota-kota bercorak Islam di Sumatra, Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi. Dari perkembangan berbagai kota-kota pesisir tersebut, dapat disimpulkan bahwa tempat-tempat yang didatangi orang-orang Muslim dan tempat terjadinya proses Islamisasi tumbuh menjadi kota-kota Muslim, di antaranya ada yang berfungsi sebagai kota-kota pelabuhan dan kota perdagangan dan ada pula sebagai kota-kota pusat kerajaan yang berarti pusat-pusat kekuasaan politik.
Selain dari periodisasi sejarah perkembangan kota, perkembangan perencanaan kota di Indonesia dapat ditinjau dari perspektif hukum pranata perencanaan. Dalam hal ini perkembangan kota di Indonesia dapat dibagi dalam 5 (lima) periode, yakni : Masa Kota-kota VOC; Masa Awal Urbanisasi; Masa Perbaikan Lingkungan; Masa Revolusi; dan Masa Pembangunan Berencana (1960–1970; 1970–1985; 1985-sekarang).

DAFTAR PUSTAKA
Branch,Melville C., (1985). Comprehensive City Planning: Introduction and Explanation. APA Planners Press, Indianapolis,

Budihardjo, Eko & Sujarto, Djoko, (1999). Kota Berkelanjutan. Bandung: Penerbit Alumni.

Catanese, A.J., and Snyder, J.C., (1988). Urban Planning. New York: McGraw Hilal.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang. (2003). Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000.

Gallion, A.B. dan Eisner, Simon, (1992). Pengantar Perancangan Kota: Desain dan Perencanaan Kota. Terjemahan Sussongko. Jakarta: Erlangga.

Khairuddin, (1992). Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Penerbit Liberty.

Menno, S dan Alwi, Mustamin, (1992). Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali

Nas, PJM, (1977). Kota di Dunia Ketiga. Jakarta: Bhratara.

Sujarto, Djoko, (2003). Perencanaan Kota Baru. Catatan Kuliah PL 458, Departemen Teknik Planologi ITB.

Sumalyo, Yulianto, (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tjandrasasmita, (2000). Kota-kota Muslim di Indonesia.

Yoesron, Alie Syahbana, (1990). Sejarah Perkembangan Hukum Pranata Perencanaan Kota. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Zahnd, Markus, (1999). Perancangan Kota secara Terpadu: Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.


MODUL 3: URBANISASI DAN PERTUMBUHAN KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Urbanisasi: Konsep, Proses dan Dampaknya
Pada bagian ini telah dibahas tentang urbanisasi dan pertumbuhan kota. Urbanisasi dapat didefinisikan sebagai proses pengkotaan, proses menjadi kota; peningkatan persentase penduduk perkotaan; kota tumbuh meluas, pinggiran yang semula perdesaan menjadi kota; dalam bahasa sehari-hari urbanisasi diasosiasikan dengan migrasi desa-kota. Secara konseptual urbanisasi tidak selalu sama dengan pertumbuhan perkotaan, karena urbanisasi lebih menunjukkan perubahan proporsi penduduk yang berdiam di kawasan perkotaan Dengan pengertian tersebut maka urbanisasi baru dapat terjadi apabila laju pertumbuhan penduduk perkotaan lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk perdesaan.
Di negara maju, urbanisasi pada dasarnya merupakan fungsi dari pertumbuhan ekonomi. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah, maka makin tinggi derajat urbanisasinya (level of urbanization). Urbanisasi di negara-negara maju juga berkorelasi dengan industrialisasi, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika ditelusuri secara sektoral sesungguhnya bersumber dari pertumbuhan industri yang pesat dan dominan. Berbeda dengan di negara maju, di negara berkembang urbanisasi tidak selalu berbarengan dengan industrialisasi karena hanya urbanisasi demografis. Ditinjau dari lajunya, kecepatan urbanisasi di negara berkembang jauh lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara maju, yang disebut sebagai oveurbanization atau psedo-urbanization.
Proses urbanisasi secara konseptual dapat ditinjau berdasarkan aspek demografik, aspek ekonomi, dan aspek fisik. Ditinjau dari aspek demografik, proses urbanisasi terkait dengan proses-proses : pertumbuhan penduduk perkotaan, baik karena pertumbuhan alami maupun migrasi desa-kota, migrasi internasional dan perluasan batas administrasi; pergeseran dalam hierarki kota-kota; komposisi umur dan gender penduduk perkotaan; perubahan Angkatan kerja; serta keterkaitan desa-kota: penduduk, komoditas, kapital, informasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju urbanisasi antara lain: (1) Perubahan teknologi yang lebih cepat di bidang pertanian daripada di bidang bukan-pertanian, yang mempercepat arus penduduk dari pedesaan; (2) Kegiatan produksi untuk ekspor terpusat di kawasan kota; (3) Pertambahan alami yang tinggi di pedesaan; (4) Susunan kelembagaan yang membatasi daya serap pedesaan, seperti: sistem pemilikan tanah; kebijaksanaan harga dan pajak yang bersifat menganakemaskan penduduk perkotaan; (5) Layanan pemerintah yang lebih berat pada perkotaan; (6) Kelembaman (intertia) faktor negatif yang menahan penduduk tetap tinggal di pedesaan; dan (7) Kebijaksanaan perpindahan penduduk oleh Pemerintah dengan tujuan mengurangi arus penduduk dari pedesaan ke perkotaan.

Kegiatan Belajar 2:
Pertumbuhan Perkotaan: Tantangan dan Masalah
Tantangan besar yang terkait dengan pertumbuhan perkotaan, terutama di negara-negara berkembang adalah karena perkembangan kota yang sangat pesat menimbulkan implikasi langsung terhadap kebutuhan sarana dan prasarana perkotaan. Sering kali pertanyakan mengapa pertumbuhan kota-kota terus berlanjut dan Apakah pertumbuhan kota tersebut merupakan sesuatu yang baik atau buruk? Jika pertumbuhan kota menjadi suatu keniscayaan, dapatkah pertumbuhan perkotaan dikendalikan? Haruskah pemerintah melakukan intervensi dalam pembangunan perkotaan?
Pertumbuhan perkotaan dan proses urbanisasi menjadi masalah di negara-negara sedang berkembang karena gagalnya menanggulangi dampaknya. Jadi, bukan pertumbuhan perkotaan itu sendiri yang menjadi masalah, tetapi laju pertumbuhan yang pesat di luar kapasitas institusional, administratif dan finansial untuk menanggulanginya.
Masalah perkotaan secara umum meliputi : kota raksasa (excesive size); kepadatan berlebih; Kekurangan sarana prasarana; Permukiman kumuh dan liar; kemacetan lalu-lintas; berkurangnya tanggung jawab; pengangguran dan setengah pengangguran ; masalah rasial dan sosial; westernisasi dan modernisasi; kerusakan lingkungan; perluasan perkotaan dan berkurangnya lahan pertanian; serta organisasi administrasi.
Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Ditinjau dari laju pertumbuhannya, laju pertumbuhan penduduk perkotaan menunjukkan angka yang sangat pesat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk total 5,38% per tahun pada 1980–1990, dan 4,40% per tahun pada 1990-2000. Ditinjau secara spasial, sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia, urbanisasi yang berlangsung pada waktu lalu diperkirakan cenderung memusat, ditandai dengan tarikan metropolitan dan kota-kota besar terhadap migran jauh lebih besar daripada kota-kota menengah maupun kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Bintarto. (1983). Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Catanese, A.J., and Snyder, J.C., (1988). Urban Planning. New York: McGraw Hill.

Hartshorn, Truman A., (1992). Interpreting the City : An Urban Geography. New York: John Wiley & Sons.

Gallion, A.B. dan Eisner, Simon, (1992). Pengantar Perancangan Kota : Desain dan Perencanaan Kota. Terjemahan Sussongko. Jakarta: Erlangga.

Nas, PJM, (1977). Kota di Dunia Ketiga, Jakarta: Bhratara.

Branch, Melville C., (1995). Perencanaan Kota Komprensif, Pengantar dan Penjelasan. Terjemahan Wibisana. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang. (2003). Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000.

Alisyahbana, Joesron. (1990). Sejarah Perkembangan Hukum Pranata Perencanaan Kota. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro

Levy, John M., (2003). Contemporary Urban Planning. New Jersey: Prentice Hall.

Brunn, Stanley and William, Jack F., (1983). Cities of the World : World Regional Urban Development. Harper & Row, N
Devas, Nick and Rakodi, Carole (ed.), (1993). Managing Fast Growing Cities : New Approach to Urban Planning and Management in Developing World. New York: Longman Scientific & Technical.

Knox, Paul L., (1994). Urbanization : An Introduction to Urban Geography. New Jersey: Prentice Hall.

Hauser, Philip, et. Al (ed), (1985). Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Evers, Hans-Dieter & Korff, Rudiger, (2002). Urbanisme di Asia Tenggara. Terjemahan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Short, John R., (1984). Introduction to Urban Geography. London: Routledge & Kegan Paul.

Bourne, L.S., (1978). System of Cities : Reading on Structure, Growth and Policy. New York: Oxford University Press.

Potter, Robert B. & Lloyd-Evans, Sally, (1998). The City in the Developing World. Essex: Addison Wesley Longman Ltd.

Clark, David, (1996). Urban World/Global City. London: Routledge.

Reksomarnoto, Moerdiman. (2006). Megapolitan Jabodetabekjur. Jakarta: Pustaka Cerdasindo.


MODUL 4: PERKEMBANGAN KOTA DALAM KONSTELASI REGIONAL
Kegiatan Belajar 1:
Faktor Perkembangan Kota dalam Lingkup Wilayah
Tiap kota mempunyai kinerja perkembangan yang berbeda-beda yang disebabkan oleh faktor-faktor perkembangannya. Beberapa teori telah dikemukakan untuk menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perkembangan atau pertumbuhan kota-kota dalam wilayah yang lebih luas. Secara garis besar ada dua teori yang dapat menjelaskan perkembangan (ekonomi) kota dalam konteks wilayah yang lebih luas yaitu Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) dan Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory).
Menurut teori basis ekonomi dasar pendukung utama suatu kota berasal dari penjualan barang/jasa yang berada di luar komunitas, yang disebut ekspor. Penerimaan dari penjualan ini menurut skenario yang ada adalah membantu perluasan ekonomi lokal dengan menyediakan uang yang mendukung aktivitas pelayanan. Barang/jasa yang diproduksi untuk ekspor ke luar wilayah disebut basis dan pekerja yang berhubungan dengan penjualan lokal di dalam komunitas tersebut di sebut nonbasis. Perkembangan kota terkait dengan kontribusi sektor basis dari total pekerja basis, memisahkan pelayanan menjadi peran pendukung dan berdebat bahwa sektor ini berkembang setelah perluasan aktivitas sektor basis. Dalam teori basis ekonomi ada dua konsep yang penting yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kota, yakni economic of scale dan urbanization economies. Kedua konsep ini pada dasarnya berkaitan dengan prinsip keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya aglomerasi, seperti halnya di kawasan perkotaan.
Teori kutub pertumbuhan menjelaskan perkembangan ekonomi kota dalam suatu wilayah yang luas, di mana terjadi sumber daya yang menyebar dan penyerapan sumber daya yang timpang. Berbeda dengan teori Economic base, dalam teori ini pemisahan sektor ditinggalkan. Teori ini juga ditopang oleh alat-alat ukur ekonomi sehingga dapat menjelaskan implikasinya pada perencanaan dan bersifat dinamis. Teori ini berkembang sejak tahun 1950-an dan cukup mampu menjelaskan perkembangan di negara maju maupun berkembang. Konsep-konsepnya: prospulsive Industry, industri sebagai pemicu perkembangan; circular and Cumulative Causation, proses yang memungkinkan akumulasi perkembangan; dan Multiplier effect, menurut teori ini ketimpangan dapat diatasi oleh tricling down process dan spread effect. Berdasarkan teori ini, tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (dampak pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan wilayah belakangnya.

Kegiatan Belajar 2:
Peranan dan Fungsi Kota dalam Lingkup Wilayah
Sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2) memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam Sistem perkotaan; (3) sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem.
Ditinjau dari lingkup wilayahnya, sistem kota-kota dapat mempunyai cakupan nasional atau subnasional, membentuk sistem kota-kota/perkotaan nasional atau subnasional. Secara ideal, dalam suatu sistem kota terdapat keteraturan antara peringkat dan ukuran kota, yang dikenal sebagai rank size rule. Fenomena yang berbeda dengan rank size rule, antara lain adalah fenomena primate city yang terjadi terutama di negara-negara berkembang. Dalam hal ini primacy ratio menunjukkan rasio antara kota pertama dengan kota kedua di suatu negara yang merefleksikan derajat dominasi populasi dari kota/pusat perkotaan terbesar. Primacy ratios yang meningkat menunjukkan bahwa kota unggul/kota utama menjadi paling penting baik dalam populasi, sosial, ekonomi, maupun politik dalam negara tersebut.
Kota pada dasarnya merupakan pusat kegiatan dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Peranan kota sebagai pusat kegiatan dalam suatu wilayah – nasional maupun lokal telah banyak ditunjukkan dalam berbagai literatur Barat yang pada intinya menyimpulkan bahwa kota berperan sebagai pusat industri manufaktur, atau sebagai pusat kegiatan pelayanan. Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National Urban Development Strategy (NUDS,1985) telah mengidentifikasi empat fungsi dasar kota/perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam sistem kota-kota/sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1997), kota-kota di Indonesia terdiri dari: Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan Lokal (PKL).
Globalisasi yang ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya sistem sosio-ekonomi dan politik secara global. Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia, di mana kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun kota yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota mempunyai kesempatan sama dapat masuk ke dalam jejaring tersebut. Hanya kota yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu, persaingan antarkota untuk menarik investasi, terjadi dalam jejaring tersebut. Fenomena perkembangan kota-kota global pada dasarnya merupakan perluasan konsep kota-kota dalam konstelasi wilayah yang lebih luas yang semula terbatas dalam lingkup wilayah negara menjadi dalam lingkup dunia. Dalam sistem kota-kota global terdapat hierarki kota-kota yang terkait dengan pembagian negara pusat dan negara semi-periphery. Secara ekonomi, perkembangan sistem kota-kota global dipengaruhi oleh kapitalisme global, yang mempunyai ciri dalam komoditas, aktivitas, struktur pasar dan organisasinya.
Pertumbuhan kota yang semakin besar memunculkan desa-kota yang akhirnya terwujud wilayah kota mega (mega cities), yang mempunyai struktur kota mega terdiri atas kota besar, wilayah pinggiran, desa-kota, desa berkepadatan penduduk tinggi, desa berkepadatan penduduk rendah, dan kota kecil. Munculnya Mega-Urban Regions (MUR) di Asia/ASEAN merupakan salah satu produk dari proses urbanisasi global melalui keterkaitan (ketergantungan) ekonomi antara negara di Asia dan negara industri maju. Keterkaitan antara negara-negara Asia yang berorientasi ekonomi pasar dan ekonomi global (terjadi melalui proses industrialisasi yang dipacu arus investasi asing/korporasi transnasional) tidak saja mengakibatkan perubahan pada pola pembangunan daerah secara spasial, tetapi juga mengakibatkan restrukturisasi politik, sosial, dan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA
Bourne, L.S., (1978). System of Cities : Reading on Structure, growth and Policy. New York: Oxford University Press.

Clark, David, (1996). Urban World/Global City. London: Routledge.

Evers, Hans-Dieter & Korff, Rudiger, (2002). Urbanisme di Asia Tenggara. Terjemahan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hartshorn, Truman A., (1992). Interpreting the City : An Urban Geography. New York: John Wiley & Sons.

Knox, Paul L, (1994). Urbanization: An Introduction to Urban Geography. New Jersey: Prentice Hall.

Nugroho, Iwan dan Dahuri Rochmin, (2004). Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

Potter, Robert B. & Lloyd-Evans, Sally, (1998). The City in the Developing World. Essex: Addison Wesley Longman Ltd.

Short, John R., (1984). Introduction to Urban Geography. London: Routledge & Kegan paul.

Soegijoko, Budhy Tjahjati S., Kusbiantoro, B.S. (ed), (1997). Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Yeates, Maurice, (1980). The North American City. Third Edition. San Francisco: Harper & Row.

Tarigan, Robinson. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Bumi Akasara.



Firman, Tommy. Urbanisasi, Persebaran Penduduk dan Tata Ruang di Indonesia.

Dharmapatni, Ida Ayu Indira. Fenomena Mega-Urban dan Tantangan Pengelolaannya.



MODUL 5: PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Kegiatan Belajar 1:
Perencanaan Pembangunan Nasional
Pengertian perencanaan pembangunan dapat didefinisikan berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yakni perencanaan dan pembangunan. Perencanaan secara umum adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia; sedangkan pembangunan adalah proses untuk melakukan perubahan atau suatu proses perubahan yang disengaja untuk mencapai perbaikan kehidupan dan penghidupan yang berkesinambungan. Dengan mengaitkan kedua pengertian ini maka perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih baik. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan, yang akan menjadi pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Dalam konteks manajemen pembangunan, perencanaan merupakan tugas pokok yang harus diemban, yang diperlukan karena kebutuhan pembangunan lebih besar daripada sumber daya yang tersedia.
Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam konteks ini maka perencanaan pembangunan nasional adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia, yang mengarah pada perubahan ke kondisi yang lebih baik, yang dilakukan dalam skala makro atau menyeluruh. Dalam hal ini perencanaan pembangunan nasional dilakukan dalam satu sistem, yang berarti satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Dalam sistem perencanaan pembangunan, dikembangkan berbagai jenis perencanaan pembangunan yang dapat dibedakan: (1) menurut jangkauan jangka waktu; (2) menurut dimensi pendekatan dan koordinasi; (3) menurut proses/hierarki penyusunan. Pengelompokan lain perencanaan pembangunan berdasarkan dimensi pendekatan dan koordinasi meliputi: perencanaan makro, perencanaan sektoral, perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Di antara keempat jenis perencanaan tersebut, perencanaan sektoral dan perencanaan regional adalah yang paling dikenal. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada sektor atau kelompok program yang merupakan wadah dari kegiatan-kegiatan yang menunjang pencapaian suatu kelompok tujuan atau sasaran sektor tertentu; sedangkan perencanaan regional perencanaan dengan dimensi pendekatan regional yang menitikberatkan pada aspek di mana kegiatan dilakukan.
Dalam praktik perencanaan pembangunan di Indonesia, dikembangkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang (RPJP, 20 tahun) jangka menengah (RPJM, 5 tahun), dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Hal ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan nasional, tahapan yang dilakukan adalah penyusunan rencana; penetapan rencana; pengendalian pelaksanaan rencana; dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Kegiatan Belajar 2:
Perencanaan Pembangunan Daerah
Pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat dan pemerintah menurut prakarsa daerah. Dalam konteks ini maka perencanaan pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Kebutuhan perencanaan pembangunan daerah terkait dengan paradigma otonomi daerah yang memberi hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada asas prioritas. Aspek perencanaan pembangunan daerah: aspek lingkungan, aspek potensi dan masalah, aspek institusi perencana, dan aspek ruang dan waktu
Ditinjau berdasarkan dimensi waktunya, perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka, meliputi: (1) Rencana Pembangunan Jangka panjang (RPJP) daerah, dengan jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah yang mengacu pada RPJP Nasional; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun, yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJP Nasional; dan (3) Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu pada rencana kerja pemerintah;
Ditinjau berdasarkan prosesnya, penyusunan Rencana Pembangunan Daerah (RPJM dan RPJM) dilakukan melalui empat pendekatan mendasar dalam suatu rangkaian perencanaan, yaitu: (1) Pendekatan Politik, yaitu memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Kepala Daerah; (3) Pendekatan Teknokratik, yaitu dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu; (3) Pendekatan Partisipatif, yaitu dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki; dan (4) Pendekatan Atas-Bawah (Top-Down) dan Bawah Atas (Bottom Up), yaitu dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.

Kegiatan Belajar 3:
Kaitan antara Perencanaan Pembangunan Nasional, Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Perencanaan Wilayah Perkotaan
Pada dasarnya perencanaan pembangunan yang dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni perencanaan makro, sektoral dan regional yang mempunyai implikasi administratif yang berbeda, sesuai lingkup dan kewenangan masing-masing dalam rangka penyelenggaraan pembangunan nasional. Ditinjau dari sisi inilah dimensi ruang dan daerah menjadi penting artinya dalam perencanaan pembangunan, dan sebaliknya perencanaan pembangunan daerah menjadi penting dalam rangka pembangunan nasional. Oleh sebab itulah kemudian sering disebutkan bahwa pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Apabila perencanaan pembangunan dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dalam administrasi pembangunan, ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah, yaitu: (1) Aspek regionalisasi atau pewilayahan; (2) Aspek ruang yang akan tercermin dalam penataan ruang; (3) Aspek otonomi daerah; (4) Aspek partisipasi masyarakat dalam pembangunan; dan (5) Aspek keragaman dalam kebijaksanaan.
Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dengan perencanaan pembangunan daerah (PPD) atau perencanaan pengembangan wilayah (PPW), tercermin dari esensi dan kebutuhan PPD/PPW dalam konteks perencanaan pembangunan nasional. Mengapa diperlukan perencanaan wilayah atau kebijakan pengembangan wilayah, pada dasarnya terkait dengan aspek lokasi. Dalam hal ini, perencanaan wilayah bukan hanya menentukan kebijaksanaan pengembangan ekonomi dan sosial serta penentuan sektor-sektor yang harus dikembangkan, akan tetapi berkaitan dengan lokasi atau berkaitan dengan pertanyaan ”di mana” suatu aktivitas akan diletakkan. Mengapa persoalan ”di mana” ini penting? Karena suatu negara bukanlah suatu wilayah tidak homogen. Tujuan perencanaan wilayah adalah: (1) mengurangi kesenjangan; (2) pengintegrasian ekonomi wilayah ke dalam sistem ekonomi nasional; (3) efisiensi dalam penentuan lokasi aktivitas; (4) alokasi investasi di wilayah yang diarahkan agar didapat kesempatan untuk perkembangan ekonomi nasional lebih lanjut; dan (5) keseimbangan antar wilayah. pertumbuhan nasional.
Selain dari esensi dan kebutuhannya, keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional yang bersifat makro dengan perencanaan pembangunan daerah yang bersifat regional, dapat dilihat dari perbedaan utama dalam hal wilayah perencanaannya. Perbedaan utama antara daerah atau wilayah dalam suatu negara dengan negara atau wilayah nasional adalah dalam keterbukaannya. Perbedaan yang lain antara negara dan wilayah terletak pada tujuannya. Tujuan perencanaan ekonomi nasional adalah mengendalikan inflasi serta juga kebijaksanaan stabilisasi ekonomi, sedangkan perencanaan wilayah bertujuan untuk perkembangan ekonomi wilayah jangka panjang, distribusi penduduk dan kegiatan ekonomi yang efisien, dan kualitas lingkungan yang baik dan berkesinambungan. Dengan perbedaan dalam tujuan seperti di atas maka isi dari perencanaan pembangunan nasional perencanaan pembangunan daerah/wilayah pun menjadi berbeda. Perbedaan yang terpenting adalah dalam perencanaan wilayah, dimensi ruang (spatial dimension), menjadi sangat penting.
Dalam kaitannya dengan kepentingan dan kewenangan, ada perencanaan perbedaan kepentingan dan kewenangan dalam penataan ruang antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 22/1999 (yang telah di amandemen menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada dasarnya hampir seluruh kewenangan urusan pemerintahan, termasuk penataan ruang, diserahkan kepada daerah (kabupaten dan kota), kecuali urusan yang ditetapkan menjadi kewenangan pusat dan provinsi. Persoalan dalam penataan ruang umumnya muncul karena adanya ketidaksesuaian antara kepentingan dan kewenangan. Ada potensi persoalan bila kepentingan suatu pihak (jenjang pemerintah) ternyata berada di bawah kewenangan pihak (jenjang pemerintah) lain. Kewenangan utama penataan ruang berbanding terbalik dengan jenjang pemerintahan, karena makin tinggi jenjang pemerintahan, makin terbatas kewenangan utamanya. Dasar pertimbangan dan kriteria yang secara umum dapat menjadi dasar perumusan kepentingan Pusat dan Provinsi antara lain: pertumbuhan ekonomi, pemerataan pelayanan, efisiensi investasi publik, swasembada, keberlanjutan, keadilan, dan kesesuaian fungsi.
Dalam konteks wilayah, perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah atau perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten), dan perencanaan wilayah perkotaan (perencanaan kota), ketiganya saling berkaitan. Perencanaan wilayah mempengaruhi perencanaan kota, perencanaan kota pun tidak dapat mengabaikan perkembangan wilayah di mana kota tersebut berada. Di dalam perencanaan kota, perencanaan wilayah (provinsi, kabupaten) berperan dalam menentukan fungsi kota tersebut dalam struktur tata ruang wilayah yang melingkupinya. Fungsi serta kedudukan kota tersebut di dalam wilayah menentukan seberapa besar perkembangan kota akan terjadi, serta fasilitas-fasilitas apa yang harus disediakan oleh kota yang sifatnya melayani wilayah yang melingkupinya.

DAFTAR PUSTAKA
Bratakusuma, Deddy S. (2003). Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bryant, Coralie & White Louise G. (1987). Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. Jakarta: LP3ES.

Conyer, Diana and Hills, Peter, (1984). An Introduction to Development Planning in Third World, John Wiley.

Conyer, Diana. (1991). Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Iwan Nugroho & Rochmin Dahuri. (2004). Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES

Kartasasmita, Ginanjar. (1997). Administrasi Pembangunan : Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Khairuddin, (1992). Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Kuncoro, Mudrajad. (2004). Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga

Mustopadidjaja AR, (1997). Beberapa Dimensi paradigma dan Model Pembangunan Abad 21 : Relevansi dan Implikasi terhadap Sistem dan Strategi Pembangunan Jangka Panjang II, Perencanaan Pembangunan Nasional No. 07 1997.

Nurzaman, Siti Sutriah, (2005). Perencanaan Wilayah. Diktat Mata kuliah Perencanaan Wilayah, Departemen Teknik Planologi FTSP-ITB.

Sukirno, Sadono. (1985). Beberapa Aspek dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Jakarta: LPFE-Universitas Indonesia.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1994. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: CV Haji Mas Agung.

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Zulkaidi, Denny, (2002). Kepentingan Nasional dan Kepentingan Provimsi dalam Penataan Ruang, dalam Winarso, et.al. (ed), Pemikiran dan Praktik Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia. Bandung : Departemen Teknik Planologi ITB



MODUL 6 : BENTUK DAN STRUKTUR INTERNAL KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Unsur Pembentuk Struktur Tata Ruang Kota: Pusat Kegiatan, Kawasan Fungsional, dan Jaringan Jalan
Tinjauan terhadap kota sebagai area menempatkan kota dalam wujud struktural dan pola pemanfaatan ruangnya secara internal. Dalam hal ini yang menjadi fokus adalah unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota atau kawasan perkotaan, yang terdiri dari pusat kegiatan/pelayanan, kawasan fungsional perkotaan, dan jaringan jalan. Sebagai suatu area, kota dengan berbagai unsur dan keterkaitannya merupakan sistem yang kompleks. Hal ini karena struktur dan pola pemanfaatan ruang kota merupakan suatu produk sekaligus proses dari perkembangan kota yang berlangsung lama, baik direncanakan maupun tidak.
Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tara ruang kota telah dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni Alam (Nature), Individu manusia (Antropos), Masyarakat (Society), Ruang kehidupan (Shells), dan Jaringan (Network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur: Place (tempat tinggal); Work (tempat kerja); Folk (tempat bermasyarakat). Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu : Wisma, tempat tinggal (perumahan); Karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); Marga, jaringan pergerakan, jalan; Suka, tempat rekreasi/hiburan; dan Penyempurna, prasarana – sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti yang dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik yang menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya, ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota: Path, Edge, District, Node, dan Landmark.
Kota sebagai suatu sistem spasial dapat dipandang sebagai wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak, yang mencirikan kawasan dengan kegiatan utama bukan-pertanian. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan; yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal.
Pola pemanfaatan ruang kota adalah bentuk yang menggambarkan ukuran, fungsi, dan karakteristik kegiatan perkotaan. Ditinjau dari pola pemanfaatan ruangnya, kota atau kawasan perkotaan secara garis besar terdiri dari kawasan terbangun – kawasan tidak terbangun (RTH). Dalam hal ini kawasan terbangun adalah ruang dalam kawasan perkotaan yang mempunyai ciri dominasi penggunaan lahan secara terbangun atau lingkungan binaan untuk mewadahi kegiatan perkotaan. Jenis-jenis pemanfaatan ruang kawasan terbangun kota antara lain adalah kawasan perumahan, kawasan pemerintahan, kawasan perdagangan dan jasa, serta kawasan industri. Keragaman jenis pemanfaatan ruang kota bergantung pada fungsi kota tersebut dalam lingkup wilayah yang lebih luas.
Selain pusat-pusat pelayanan kegiatan perkotaan dan kawasan fungsional perkotaan, unsur pembentuk struktur tata ruang kota adalah sistem prasarana dan sarana sebagai kelengkapan dasar fisik yang memungkinkan kawasan permukiman perkotaan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Secara spesifik prasarana perkotaan yang paling berpengaruh terhadap struktur tata ruang kota adalah prasarana transportasi, yakni jaringan jalan. Jaringan jalan merupakan indikator utama morfologi kota sehingga dalam perencanaan tata ruang kota, pengembangan jaringan jalan tidak dapat dilepaskan dari pola pemanfaatan ruang yang ada atau ingin diwujudkan. Jaringan jalan dapat menjadi faktor yang mendorong perkembangan kegiatan, dan sebaliknya pengembangan suatu kegiatan memerlukan dukungan pengembangan jaringan jalan.

Kegiatan Belajar 2:
Pendekatan dalam Memahami Struktur Internal Kota: Ekologikal, Ekonomi, Morfologi Kota, dan Sistem Kegiatan
Sebagai suatu area, kota dengan berbagai unsur dan keterkaitannya merupakan sistem yang kompleks. Struktur dan pola pemanfaatan ruang kota merupakan suatu produk sekaligus proses. Untuk memahaminya perlu pendekatan secara spasial, dengan didasarkan pada hasil kajian dalam bidang geografi perkotaan (urban geogrpahy). Tinjauan terhadap struktur tata ruang internal kota dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain pendekatan ekologikal, pendekatan ekonomi, pendekatan morfologi kota, dan pendekatan sistem kegiatan.
Pendekatan ekologikal meninjau kota sebagai suatu objek studi di mana di dalamnya terdapat masyarakat yang kompleks, telah mengalami proses interrelasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Produknya adalah pola keteraturan penggunaan lahan kota. Dalam pendekatan ini terdapat tiga teori utama, yaitu: Teori Konsentrik, Teori Sektoral, dan Teori Pusat Jamak.
Pendekatan ekonomi terhadap struktur tata ruang kota didasarkan pada pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan. Jalur dan simpul transportasi mempunyai peranan besar terhadap perkembangan kota. Dalam pendekatan ini, teori yang dapat menjelaskan perbedaan dalam pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan dan Teori Nilai Lahan. Meskipun pola pemanfaatan ruang di perkotaan itu merupakan hasil dari aneka faktor alami dan manusiawi dapatlah dikatakan bahwa pada dasarnya semua itu merupakan produk belaka dari motivasi ekonomi.
Pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi kota. Berdasarkan pendekatan ini, secara garis besar ekspresi keruangan kota dapat dilihat dari pola fisik atau susunan elemen fisik kota seperti bangunan dan lingkungan, sehingga bentuk kota dapat dibedakan antara bentuk kota yang kompak dan bentuk kota yang tidak kompak.
Pendekatan sistem kegiatan secara komprehensif dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan maupun lembaga yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Dalam hal ini yang menjadi penekanan analisis adalah unsur-unsur utama perilaku manusia serta dinamika perilaku manusia yang kemudian di dalam proses interaksinya telah mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan tertentu di dalam suatu kota. Dalam pendekatan ini berusaha dipahami kota sebagai suatu sistem dan kekuatan-kekuatan dinamis apa saja yang mempengaruhi struktur tata ruang kota.
Pemahaman terhadap berbagai pendekatan terhadap struktur tata ruang kota menjadi sangat penting karena terkait dengan implikasinya dalam perencanaan tata ruang kota. Perencanaan tata ruang kota dalam hal ini dapat dipandang sebagai intervensi terhadap wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang berkembang secara alamiah berdasarkan kecenderungan. Dengan landasan pemahaman terhadap bentuk dan struktur tata kota inilah produk perencanaan tata ruang kota, dalam hal ini struktur dan pola pemanfaatan ruang kota sesuai yang dinginkan, dapat dirumuskan.

DAFTAR PUSTAKA
Bourne, L.S., (1982). Internal structure of the City : Reading on Urban Form, Growth and Policy. Second Edition. New York: Oxford University Press.

Daldjoeni, (1992). Geografi Baru: Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Alumni.

Hartshorn, Truman A., (1992). Interpreting the City : An Urban Geography. New York: John Wiley & Sons.

Jenks, Mike & Burges, Rod (ed), (2000). Compact Cities, Sustainable Urban Forms for Developing Countries. London: Spon Press.

Kivell, Philip, (1993). Land and The City : Pattern and Processes of Urban Change

Knox, Paul L, (1994). Urbanization : An Introduction to Urban Geography. New Jersey: Prentice Hall.

Potter, Robert B. & Lloyd-Evans, Sally, (1998). The City in the Developing World. Essex: Addison Wesley Longman Ltd.

Yunus, Hadi Sabari, (2000). Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zahnd, Markus, (1999). Perancangan Kota secara Terpadu, : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Soegijapranata Press.



MODUL 7: PERKEMBANGAN PENDEKATAN DAN PARADIGMA BARU DALAM PERENCANAAN KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Perkembangan Pendekatan Perencanaan Kota
Perencanaan kota pada dasarnya merupakan intervensi (campur tangan) terhadap perkembangan kota/kawasan perkotaan yang berlangsung pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial-ekonomi yang menyertainya. Semakin pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan sebagai implikasi pembangunan dan industrialisasi, sementara di sisi lain semakin terbatasnya lahan perkotaan serta masih belum terpenuhinya secara memadai pelayanan prasarana dan sarana perkotaan, menjadi tantangan dalam perencanaan kota.
Perencanaan kota dapat digambarkan sebagai suatu aktivitas atau proses yang mengatur segala sesuatu sebelumnya serta memberi arahan pengendalian terhadap konsekuensi-konsekuensi dari semua tindakan yang diambil. Sebagai suatu disiplin, perencanaan kota merupakan aktivitas merencanakan suatu ruang tertentu, dalam hal ini kawasan perkotaan, dengan mempertimbangkan semua faktor fisik-tata ruang, ekonomi, sosial-kependudukan, sosial-budaya, yang mempengaruhi kota/kawasan perkotaan. Berbeda dengan manajemen perkotaan, perencanaan kota lebih menyangkut antisipasi dan penyiapan ke masa depan, terutama dimensi spasial dan penggunaan lahan dari pembangunan perkotaan; sementara manajemen perkotaan lebih menyangkut aspek operasi pelayanan publik dengan berbagai jenis intervensi pemerintah yang akan mempengaruhi kondisi perkotaan secara luas.
Sebagai suatu disiplin ilmu sekaligus profesi, perencanaan kota telah berkembang dan pada dasarnya merupakan campuran antara teori dan praktek. Dalam konteks ini telah berkembang berbagai pendekatan yang selama ini diterapkan dalam praktek perencanaan kota, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Beberapa pendekatan dominan dalam praktek perencanaan kota, antara lain rational comprehensive planning, disjointed incremental approach, dan mixscanning aproach; advocacy planning; dan strategic planning.
Rational comprehensive aproach dasar dalam pertimbangan-pertimbangan analisisinya mencakup unsur/sub-sistem; dan masalah dilihat secara komprehensif, tidak terpilah. Disjointed incremental approach lebih mengutamakan pada unsur/subsistem tertentu yang perlu di prioritaskan tanpa memperhatikan wawasan yang lebih luas dan tidak perlu penelaahan dan evaluasi alternatif rencana secara menyeluruh. Mixscanning approach merupakan pendekatan perencanaan terpilah berdasarkan pertimbangan menyeluruh, yang tetap mengacu garis kebijakan umum pada tingkat yang lebih tinggi. Advocacy planning berpandangan bahwa satu badan perencanaan tidak mungkin untuk mewakili kebutuhan masyarakat yang beragam, sehingga perencanaan harus memperjuangkan kepentingan-kepentingan berbagai kelompok masyarakat. Strategic planning memfokuskan pada tugas-tugas strategis yang jelas dan spesifik, berbeda dengan tujuan-tujuan yang luas dan tidak terfokus dari comprehensive planning; dengan karakteristik berorientasi tindakan, partisipatif, serta analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal.

Kegiatan Belajar 2:
Paradigma Baru dalam Perencanaan Kota
Paradigma perencanaan ‘tradisional’ yang mempunyai karakteristik: penekanan pada rencana jangka panjang, di mana rencana lebih merupakan produk daripada proses; penekanan pada rencana fisik, kualitas strategis yang rendah dan tidak adanya keterkaitan dengan pengguna; ternyata tidak dapat memecahkan masalah perkotaan secara mendasar. Padahal realitas perkotaan memasuki abad 21 ini ditandai dengan berbagai hal antara lain: ledakan pertumbuhan perkotaan terutama di negara berkembang; kemiskinan di perkotaan; penurunan derajat kesehatan dan kesejahteraan; dan tidak ada kota pada bagian dunia manapun yang bebas dari persoalan.
Realitas lain yang terkait dengan perkembangan kota adalah, pertama pengambilan keputusan dalam pembangunan kota lebih banyak dilakukan oleh perorangan atau organisasi, bukan semata-mata oleh pemerintah. Kedua, keterbatasan pemerintah dalam mempengaruhi sistem kota secara efektif sehingga aspek tersebut diserahkan kepada mekanisme pasar; Ketiga, adanya kendala keterbatasan sumber daya yang dihadapi pemerintah, baik secara nasional maupun lokal (terutama keterbatasan finansial). Keempat, proses perencanaan bukan merupakan proses linier yang terdiri atas tahapan Survey – Plan – Action; melainkan suatu proses yang menerus dan iteratif. Kelima, adanya keterbatasan kapasitas institusi dalam perencanaan dan pelaksanaan rencana, terutama dalam hal kemampuan teknis tenaga ahli dan manajemen. Keenam, adanya keterbatasan kemampuan institusi dalam perencanaan untuk menerapkan law enforcement dalam pengawasan pembangunan karena adanya keterbatasan kapasitas administrasi, kemauan politik, dan kelemahan dalam sistem perundang-undangan.
Dengan didasarkan pada: (1) kritik terhadap perencanaan- perencanaan kota ‘tradisional’; (2) pentingnya perencanaan kota dalam pembangunan berkelanjutan; (3) perlunya peningkatan penyusunan rencana secara ‘tradisional’ dan implementasinya; dan perlunya membuat perencanaan kota lebih efektif, maka direkomendasikan perlunya paradigma baru dalam Perencanaan Kota yang mencakup beberapa unsur agar perencanaan kota lebih efektif, yakni (UNCHS, 1994): Partisipasi masyarakat; Keterlibatan seluruh kelompok yang berkepentingan; Koordinasi horizontal dan vertikal; Keberlanjutan; Kelayakan finansial; Subsidiaritas; dan Interaksi perencanaan fisik dan perencanaan ekonomi.
Dalam kaitannya dengan penerapan paradigma baru dalam perencanaan kota, prinsip-prinsip good governance, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan, secara efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat, menjadi sangat penting untuk diterapkan. Aspek utama good governance secara umum meliputi manajemen sektor publik, akuntabilitas, kerangka hukum dalam pembangunan, dan informasi publik dan transparansi. Karakteristik good governance meliputi: partisipasi, kerangka hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap), wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efektif dan efisien, profesionalisme; serta berorientasi pada konsensus.

DAFTAR PUSTAKA
Devas, Nick and Rakodi, Carole (eds.), (1993). Managing Fast Growing Cities: New Approach to Urban Planning and Management in Developing World. New York: Longman Scientific & Technical.

Hamdi, Nabeel & Goethert, Reinhard, (1997). Action Planning for Cities : A Guide to Community Practice. New York: John Wiley & sons.

Levy, John M., (2003). Contemporary Urban Planning. New Jersey: Prentice Hall.

UNCHS (Habitat), (1994). Report of the International Conference on Re-Aprrraising the Urban Planning Process as an Instrument of Sustainable Urban Development and Management.



MODUL 8: PROSES DAN PRODUK PERENCANAAN KOTA
Kegiatan Belajar 1:
Tinjauan Umum Terhadap Proses Perencanaan
Perencanaan sebagai kegiatan untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia, dalam konteks kota/kawasan perkotaan dilakukan melalui serangkaian kegiatan atau langkah yang berurutan dan berkaitan satu sama lain dalam suatu proses perencanaan. Meskipun banyak model proses perencanaan yang dikemukakan berbagai ahli selama ini, secara generik proses perencanaan ini terdiri dari tahapan: (1) Pendefinisian persoalan; (2) Perumusan tujuan dan sasaran; (3) Pengumpulan data dan informasi; (4) Analisis; (5) Identifikasi dan evaluasi alternatif; (6) Implementasi; (7) Pemantauan; dan (8) Evaluasi. Dalam hal ini rencana merupakan rumusan kegiatan yang akan dilaksanakan secara spesifik di masa yang akan datang; produk dari suatu proses perencanaan dalam bentuk blueprint yang merepresentasikan tujuan atau apa yang ingin dicapai serta regulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Karakteristik utama dari proses perencanaan yang perlu diperhatikan, adalah: bersifat siklis; kesatuan dalam ragam kegiatan/ tahapannya; serta tiap tahapan tidak selalu dilakukan secara sekuensial. Pemahaman terhadap konsep perencanaan sebagai suatu proses mempunyai beberapa implikasi penting yang berkaitan dengan rencana sebagai produknya, sifat kontinuitasnya, serta peranan perencana yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini implikasi pertama adalah perencanaan lebih melibatkan banyak hal daripada sekedar membuat suatu dokumen rencana, karena rencana bukanlah tujuan akhir perencanaan, tetapi perangkat sebagai perwujudan cara untuk mencapai tujuan. Implikasi yang kedua, perencanaan dianggap sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus, bukan suatu proses yang dikerjakan sekali saja. Implikasi yang ketiga berkaitan dengan peran perencana yang sesungguhnya menyangkut pengertian yang luas bagi siapa saja yang terlibat dalam suatu jenis kegiatan perencanaan sehingga setiap orang yang terlibat sebagai seorang perencana haruslah bekerja erat dengan orang-orang lain yang terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan, termasuk di dalamnya para politisi, administrator/birokrasi, dan masyarakat secara umum.
Pendefinisian persoalan titik mula dari siklus dalam proses perencanaan secara keseluruhan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan persoalan adalah kesenjangan (gap) antara apa yang ada dengan apa yang diinginkan. Berdasarkan pendefinisian persoalan secara benarlah kemudian tujuan (goals) dan sasaran (objectives) dapat dirumuskan. Tujuan dan sasaran dalam pengertian umum merupakan ekspresi prioritas apa yang ingin dicapai dari kegiatan perencanaan yang dilakukan, yang formulasinya dilakukan pada tahap awal dari siklus perencanaan. Kegiatan perumusan tujuan dalam perencanaan kota diarahkan untuk menghasilkan suatu pernyataan yang bersifat kualitatif berkenaan dengan pencapaian yang diinginkan dari hasil perencanaan/ kebijaksanaan dan/atau keputusan, yang dapat menjadi pedoman nyata dalam menentukan tindakan yang sesuai untuk mencapainya.
Tahap pengumpulan data dan informasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam perencanaan, karena perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang tidak dapat dilakukan tanpa didukung oleh informasi yang memadai. Dalam perencanaan, data atau informasi diperlukan untuk tiga tujuan utama, yaitu: (1) Identifikasi permasalahan dan perkembangan eksisting, sebagai dasar bagi perumusan kebijaksanaan/rencana; (2) Identifikasi dan evaluasi alternatif kebijaksanaan/rencana; (3) Sebagai umpan balik, untuk siklus proses perencanaan berikutnya. Didasarkan pada hasil pengumpulan data dan informasi, dilakukan analisis yang pada dasarnya merupakan pendekatan, metode, prosedur, atau teknik yang dilakukan untuk menelusuri kondisi historis dan kondisi sekarang dari wilayah perencanaan, untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dan kebijaksanaan, rencana atau program apa yang akan dirumuskan pada masa yang akan datang. Tahapan analisis mencakup analisis data dasar, analisis prakiraan, dan analisis untuk penyusunan skenario di masa datang. Dengan melakukan analisis, diharapkan diperoleh alternatif atau pilihan tindakan yang mungkin untuk memecahkan persoalan. Manakala terdapat serangkaian tindakan yang mungkin dapat diidentifikasi, tahap selanjutnya dalam proses perencanaan adalah membandingkan secara rinci terhadap kelebihan dan kekurangan antar alternatif sehingga dapat memberikan informasi kepada pengambil keputusan untuk memilih alternatif yang terbaik, yang lazim disebut sebagai evaluasi alternatif. Alternatif terpilihlah yang kemudian diimplementasikan.
Implementasi atau pelaksanaan merupakan suatu proses penerjemahan atau perwujudan tujuan dan sasaran kebijaksanaan ke dalam bentuk program, atau proyek spesifik. Dalam proses perencanaan, pelaksanaan adalah interaksi antara tujuan yang telah dirumuskan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan rencana, antara lain adalah : sifat dari proses perencanaan, organisasi perencanaan dan pelaksanaannya, isi atau contens rencana, dan manajemen proses pelaksanaan.
Pemantauan dan evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses perencanaan sebelum memulai siklus proses perencanaan baru. Pemantauan merupakan aktivitas untuk mengukur pencapaian (progress) dalam pelaksanaan suatu rencana, yang mempertautkan penyiapan rencana dengan pelaksanaannya. Pemantauan merupakan satu-satunya cara guna memperoleh informasi sampai sejauh mana rencana benar-benar dilaksanakan. Berdasarkan hasil pemantauan itu kemudian dilakukan evaluasi sebagai penilaian terhadap kinerja pelaksanaan rencana yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu (pada akhir phase atau tahap tertentu dari pelaksanaan rencana), yang dapat berupa on-going evaluation dan evaluasi pasca pelaksanaan (ex-post evaluation). Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh sasaran apa yang sudah dicapai, dampak apa yang timbul, atau konsekuensi lainnya dari pelaksanaan rencana. Dengan evaluasi ini juga dapat diidentifikasi persoalan baru yang dapat menjadi fokus bagi siklus proses perencanaan selanjutnya.

Kegiatan Belajar 2:
Proses Perencanaan Tata Ruang Kota/Kawasan Perkotaan di Indonesia
Aktivitas perencanaan kota, atau lebih spesifik perencanaan tata ruang kota, di Indonesia secara prosedural mengacu pada Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Khusus untuk kota/kawasan perkotaan, sebenarnya jauh sebelum undang-undang tersebut ditetapkan sudah ada prosedur baku, yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. Dalam kedua ketentuan tersebut diatur berbagai jenis rencana tata ruang kota serta tata cara penyusunannya, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat kota dalam mencapai kesejahteraan sesuai dengan aspirasi warga kota.
Lingkup pengertian kota tidak hanya kota dalam pengertian Kota Otonom, namun juga mencakup kota fungsional. Oleh sebab itu dalam konteks kebutuhan suatu prosedur penyusunan rencana tata ruang, yang diatur kemudian adalah kawasan perkotaan. Dalam hal ini pada tahun 2002 telah ditetapkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yang dimaksudkan untuk menyempurnakan dan melengkapi standar-standar dan acuan/pedoman penataan ruang yang telah ada maupun literatur/studi yang telah ada, sebagai bahan rujukan kegiatan perencanaan penataan ruang.

Secara prosedural, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dibedakan dalam 4 jenis rencana dengan tingkat kedalaman yang berbeda, yakni: (1) Rencana Struktur, sebagai kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk Kawasan Perkotaan Metropolitan dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang; (2) Rencana Umum, sebagai kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan; (3) Rencana Rinci, yang terdiri dari Rencana Detail dan Rencana Teknik.
Ketentuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan berbeda untuk tiap jenis rencana sesuai dengan hierarkinya, yang secara umum menyangkut dimensi waktu, skala/ketelitian peta, fungsi dan manfaat rencana, muatan/materi rencana, serta proses penyusunannya. Ditinjau dari prosesnya, penyusunan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan, mencakup langkah-langkah: (1) penentuan arah pengembangan; (2) identifikasi potensi dan masalah pembangunan; (3) perumusan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan; dan (4) penetapan Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Dalam proses penyusunan RTRW Kota/RUTR Kawasan Perkotaan dan RDTR Kawasan Perkotaan, ditempuh langkah-langkah: (1) Penentuan arah pengembangan; (2) Identifikasi potensi dan masalah pembangunan; (3) Perumusan rencana tata ruang; dan Penetapan rencana tata ruang.

Kegiatan Belajar 3:
Produk Perencanaan Tata Ruang Kota/Kawasan perkota
Produk dari proses perencanaan adalah rencana sehingga output-nya dapat dipandang sebagai kumpulan substansi/materi/isi rencana tersebut. Dalam konteks Perencanaan tata ruang di Indonesia, berbagai jenis/macam rencana ini pada dasarnya mengacu pada prosedur yang berlaku yaitu UU 24/1992 tentang Penataan Ruang. Rencana tata ruang merupakan produk dari proses perencanaan tata ruang sesuai dengan batasan wilayah administrasi, sehingga dikenal RTRW Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Untuk lingkup kota/kawasan perkotaan, prosedur yang berlaku, adalah : (1) Permendari No. 2/1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota; dan (2) KepMen Kimpraswil No.327/ KPTS/ M/2002 (antara lain tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan).
Rencana tata ruang kota/kawasan perkotaan sebagai produk perencanaan tata ruang kota yang berlaku di Indonesia, sekurang-kurangnya terdiri 4 (empat) materi/substansi : (1) Rencana Pemanfaatan Ruang, yang menunjukkan alokasi ruang untuk mewadahi aktivitas yang akan dikembangkan; (2) Rencana Pengembangan Sarana, untuk mendukung setiap aktivitas yang memanfaatkan ruang; (3) Rencana Pengembangan Prasarana, untuk mendukung setiap aktivitas dan sarana; dan (4) Aspek Pelaksanaan dan Pengendalian, untuk mendukung dapat dilaksanakannya ketiga produk rencana. Meskipun ada kesamaan materi/substansi rencana, tiap jenis/hierarki rencana tata ruang kawasan perkotaan berbeda dalam hal: (1) rincian substansi; (2) skala ketelitian peta; dan (3) periode atau jangka waktu rencana, legalisasi atau penetapannya, serta fungsi/manfaatnya.
Sesuai dengan hierarkinya, rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagaimana diatur dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, meliputi: (1) Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan, yang berisi kebijakan yang menggambarkan arahan tata ruang untuk kawasan perkotaan metropolitan; (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RTRW Kota/RUTR kawasan Perkotaan), yang berisi kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang dilindungi dan dibudidayakan serta diprioritaskan pengembangan-nya; (3) Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTR Kawasan Perkotaan), yang berisi pengaturan yang memperlihatkan keterkaitan antara blok-blok penggunaan kawasan untuk menjaga keserasian pemanfaatan ruang dengan manajemen transportasi kota dan pelayanan utilitas kota; dan (4) Rencana Teknik Ruang Kawasan Perkotaan (RTR Kawasan Perkotaan), yang berisi pengaturan geometris pemanfaatan ruang yang menggambarkan keterkaitan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya, serta keterkaitannya dengan utilitas bangunan dan utilitas kawasan/kota.

DAFTAR PUSTAKA
Hall, Peter. (1992). Urban and Regional Planning. Third Edition. London: Routlegde.

Kaiser, Edward, et.al. (eds). (1995). Urban Land Use Planning. Fouth Edition. Urbana and Chicago: University of Illinois Press.

Keeble, Lewis. (1983). Town Planning Made Plain. London: Construction Press.

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Permendagri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.

KepMen Kimpraswil No.327/ KPTS/ M/ 2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan.


MODUL 9: TANTANGAN, KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DAN PERMASALAHAN DALAM PRAKTIK PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA
Kegiatan Belajar 1:
Tantangan dan Kebijakan Pembangunan Perkotaan di Indonesia
Indonesia seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, sedang mengalami pertumbuhan perkotaan yang pesat. Berkaitan dengan pertumbuhan perkotaan yang pesat, beberapa isu atau tantangan yang dihadapi pemerintah daerah/kota antara lain adalah isu globalisasi, urbanisasi, kemiskinan dan lingkungan kota.
Ditinjau dari lingkupnya, isu atau permasalahan pembangunan perkotaan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan dalam lingkup eksternal kota dan permasalahan internal kota. Isu eksternal antara lain adalah ketidakseimbangan pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan kecil; kesenjangan pembangunan antara desa dan kota; belum berkembangnya wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh; dan banyaknya wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. Isu internal kota adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kota yang harus dihadapi oleh kota itu, antara lain: kemiskinan, kualitas lingkungan hidup, dan kapasitas daerah dalam pengembangan dan pengelolaan perkotaan.
Ditinjau dari sifatnya dalam mempengaruhi perkembangan perkotaan, kebijakan perkotaan dapat dibagi dua, yakni kebijakan implisit dan kebijakan eksplisit. Kebijakan perkotaan secara implisit adalah kebijakan pembangunan yang tidak ditujukan untuk mengintervensi perkembangan perkotaan, namun dampaknya terhadap perkembangan perkotaan sangat besar. Sementara itu, kebijakan perkotaan eksplisit adalah kebijakan pembangunan yang secara spesifik ditujukan untuk melakukan intervensi pada perkembangan kota. Sifat kebijakan perkotaan harus berdasar pada kecenderungan perkembangan perkotaan, bukan tujuan akhir, melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas yaitu melayani tujuan pembangunan sosial-ekonomi. Dalam hal ini, aspek kebijakan yang perlu diperhatikan: (1) Kebijakan pembangunan yang mampu mempengaruhi penyebaran penduduk; (2) Pengembangan sistem perkotaan yang mampu meningkat mobilitas penduduk; (3) Pengembangan hierarki perkotaan di mana besar dan kemampuan kota perlu diperhitungkan; (4) Pengembangan efisiensi kota dengan ukuran minimum penduduk kota merupakan tolok ukur pusat pertumbuhan wilayah; (5) Pengembangan sistem perencanaan yang memperhatikan segi koordinasi kegiatan; (6) Pengembangan konsep metropolitanisasi di mana pengaruh kota sudah menjangkau di luar batas wilayah administrasi kota.
Dalam jangka panjang, sasaran pembangunan perkotaan di Indonesia dalam PJP II adalah: (1) terwujudnya keserasian dan keseimbangan pembangunan antara desa-kota, antar desa dan antar kota.; (2) terwujudnya masyarakat kota yang sejahtera secara merata; (3) teratasinya masalah kemiskinan di perkotaan; dan (4) terwujudnya lingkungan perkotaan yang sehat serta lestari.
Dalam konteks kebijakan pembangunan perkotaan di Indonesia, perlu adanya suatu Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan yang memiliki suatu kerangka strategi : (1) Di tingkat lokal perlu strategi yang mengakomodir kondisi lokal dan variasi-variasi yang diperlukan; (2) Di tingkat nasional, perlu ada keserasian dan sinergitas; (3) Dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah maka strategi pembangunan perkotaan pun perlu dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi untuk mengakomodir kondisi dan aspirasi daerah sehingga dapat menjadi landasan program-program pembangunan daerah. Skenario dalam strategi nasional pembangunan perkotaan di Indonesia adalah mendorong perkembangan kota dengan memperhatikan besaran, potensi dan keterkaitan yang saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya secara selektif, yaitu: mendorong kota-kota di luar Jawa untuk pengembangan industri pengolahan dan agrobisnis, dan kota-kota di Jawa untuk industri dan bisnis yang bersih, dan hemat ruang, air, serta sumber daya alam lainnya. Berkaitan dengan strategi pembangunan perkotaan, maka strategi spasial pengembangan perkotaan nasional berdasarkan tiga komponen, yaitu: tipologi dan fungsi kota-kota, pola keterkaitan dan aglomerasi kota-kota, dan prinsip umum pengelolaan kota sesuai dengan tipologi, fungsi dan keterkaitan kota-kotanya.

Kegiatan Belajar 2:
Permasalahan dalam Praktik Perencanaan/ Pembangunan Perkotaan di Indonesia
Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang. Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; (2) ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi tentang rencana tata ruang.
Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Dampak perkembangan perkotaan dalam kaitannya dengan keterbatasan ruang perkotaan antara lain adalah konflik ruang, kebutuhan vs tidak efektifnya rencana tata ruang. Dalam konteks ini, maka isu strategis yang menyangkut manajemen lahan adalah bagaimana mengefektifkan manajemen lahan untuk dapat menunjang implementasi rencana tata ruang kota, melalui instrumen: peraturan pemanfaatan lahan, kebijaksanaan perpajakan, keterlibatan langsung masyarakat.
Berdasarkan kondisi saat ini dan kecenderungan di masa mendatang dapat diidentifikasikan permasalahan strategis lingkungan hidup di perkotaan, yang meliputi: limbah rumah tangga, sampah, emisi kendaraan, dan polusi industri. Keempat permasalahan ini dianggap strategis karena dapat menurunkan terjadinya masalah-masalah ikutan. Pengelolaan lingkungan perkotaan tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif, tetapi harus dilihat dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang lebih luas. Selain itu, pengelolaan lingkungan perkotaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan aspek-aspek pembangunan kota lainnya.
Rencana kota sering kali tidak efektif untuk mengarahkan pengembangan prasarana perkotaan, karena jaringan prasarana yang ada tidak memadai untuk mendukung pertumbuhan kota, dan pengembangan prasarana yang terpaksa mengikuti perkembangan yang sudah terjadi. Keterkaitan antara prasarana perkotaan dengan tata ruang kota dapat dilihat dari kenyataan bahwa : (1) jaringan prasarana membutuhkan lahan, sehingga harus efisien; (2) sistem jaringan ini menjadi kerangka bagi struktur dan pola pemanfaatan ruang kota; (3) sistem jaringan tidak terikat pada batas administrasi kota. Dalam kaitan ini, masalah yang terkait dengan prasarana perkotaan mencakup: (1) masalah teknis, kesulitan dalam praktik dan prosedur perencanaan untuk mengkaitkan rencana tata ruang kota dengan pembangunan sistem prasarana; (2) masalah kewenangan, Daerah kurang memahami dan berperan dalam koordinasi dan pemberlakuan Rencana Tata Ruang Kota; (3) masalah pendanaan oleh lembaga sektoral prasarana masing-masing; dan (4) masalah teritorial, tiap jenis prasarana dengan sistem teritori yang berbeda-beda.

Permasalahan dalam aspek pembiayaan yang terkait dengan perencanaan kota adalah: (1) Kapasitas rencana belum mampu untuk mengakomodasi sistem ekonomi kota, memberikan indikasi nilai ekonomi lahan, memberi arah pembangunan jangka pendek/menengah, mendorong pengelola untuk mengeluarkan kebijakan pendukung; (2) Pola pikir lahan terbatas dan kurang; padahal permintaan dinamis dan meningkat; masih terpaku kepada ‘standar’ padahal kebutuhan dinamis, mengacu kepada kebutuhan pemerintah; (3) Sistem pendanaan belum mengait kepada rencana kota; (4) Intervensi pusat, ketergantungan daerah; dan (5) Alokasi pemanfaatan yang sering kali tidak didasarkan kepada kebutuhan pembangunan tetapi kepada kebutuhan dinas/sektor.
Permasalahan yang menjadi alasan perlunya kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat adalah keterbatasan pemerintah sementara pihak swasta dan masyarakat lebih berpotensi. Rencana yang melibatkan pihak swasta dan masyarakat akan lebih efektif untuk menjadi dasar kerja sama. Dalam pengembangan konsep kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat, perlu dipahami adanya kepentingan yang berbeda antara pemerintah, swasta, masyarakat. Ditinjau dari bidangnya kerja sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat, potensial dilakukan untuk kegiatan pengembangan lahan skala besar serta pembangunan prasarana dan pelayanan jasa lain. Pembangunan prasarana dan pelayanan kota yang dapat dikerjasamakan antara lain adalah pembangkit listrik, jalan tol, pelabuhan laut, pelabuhan udara, sistem transportasi, air minum, persampahan, pariwisata, industri, dan pasar/pusat perbelanjaan.

DAFTAR PUSTAKA
Black, Tim, (1995). Urban Policy in Practice. London: Routledge.

Cheema, G. Shabbir (ed.), (1993). Urban Mangement and Innovation in Developing Countries. London: Preager Publishers

Devas, Nick and Rakodi, Carole (eds.), (1993). Managing Fast Growing Cities: New Approach to Urban Planning and Management in Developing World. New York: Longman Scientific & Technical.

Hall, P and Pfeiffer, U., (2000). Urban Future 21 : Global Agenda for Twenty First Century Cities. London: E and FN Spon.

Hauser, Philip, et. Al (ed), (1985). Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nugroho, Iwan dan dahuri Rochmin, (2004). Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

Nurmandi, Achmad, (2006). Manajemen Perkotaan, Aktor : Organisasi, Pengelolaan Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing.

Potter, Robert B. & Lloyd-Evans, Sally, (1998). The City in the Developing World. Essex: Addison Wesley Longman Ltd.

Sugandhy, Aca. (1999). Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soegijoko, Budhy Tjahjati S. (ed), (2005). Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: YSS-URDI.

Soegijoko, Budhy Tjahjati S. (ed), (2005). Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 : Pengalaman Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: YSS-URDI.

Soegijoko, Budhy Tjahjati S., Kusbiantoro, B.S. (ed), (1997). Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

DTKTD Departemen Pekerjaan Umum, (1990). Konsep Penataan Ruang yang Tanggap terhadap Dinamika Pembangunan Kota.

Haughton, Graham & Colin Hunter. Regional Policy and Development Series 7 : Sustainable Cities. Jessica Kingsley Publishers. London and Bristol, Pennsylvania.

Yunus, Hadi Sabar, (2005). Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.




• Menu Utama
• FEKON
• FISIP
• FKIP
• FMIPA
• MKDU
• BMP Rangkuman Lama
• Web Suplemen
• UT Online Learning
• Jadwal Siaran
• Belajar Mandiri
• Toko Buku Online
• Learning Object
• Guru Pintar Online
• e-Humaniora
• BIPA - UT


Copyright © 2010 Pusat Layanan Pustaka Universitas Terbuka

STRATEGI PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR DENGAN ELEMEN KABEL PRATEGANG EKSTERNAL MENGGUNAKAN PROGRAM BANTU SAP2000

STRATEGI PEMODELAN DAN ANALISIS
STRUKTUR DENGAN ELEMEN KABEL PRATEGANG EKSTERNAL
MENGGUNAKAN PROGRAM BANTU SAP2000
Modelling and Analyzing Strategy for Structures With External Pre-Stressed Cables Using SAP2000
Ranny ANITA1, Wiryanto DEWOBROTO2
ABSTRAK : Kabel sangat efisien sebagai elemen tarik, terlebih lagi bila diberi efek prategang.
Aplikasinya akan menjadi luas bila penggunaan elemen kabel digabung dengan elemen tekan untuk
membentuk struktur utama. Kabel dapat diletakkan di bagian dalam (balok beton prategang) atau di
bagian luar (sistem cable-stayed). Struktur kabel prategang sederhana dapat dianalisis seperti struktur
rangka batang, tetapi bila strukturnya semakin kompleks, analisis dapat menjadi tidak akurat apabila
timbul gaya tekan pada elemen kabel. Elemen kabel hanya dapat menahan gaya tarik. Selain itu, pada
konfigurasi struktur tertentu, elemen kabel mengalami deformasi yang lebih besar dibandingkan
elemen rangka batang. Oleh karenanya, analisis terhadap struktur kabel dengan menggunakan program
komputer yang tidak menyediakan option khusus untuk elemen kabel harus dilakukan dengan cermat.
Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan strategi pemodelan dan analisis struktur berkabel prategang
eksternal dengan menggunakan program SAP2000 (student version) yang tidak memiliki option
khusus untuk analisis kabel. Fitur prategang dan pembebanan temperatur negatif pada SAP2000 dapat
digunakan untuk memodelkan efek prategang pada elemen kabel. Namun analisis dengan program ini
terbatas pada struktur dengan kabel prategang eksternal yang dapat diasumsikan berperilaku linier.
KATA KUNCI : pemodelan struktur, prategang eksternal, elemen kabel, SAP2000
ABSTRACT: Cable is efficient to be used as a tension element, especially when pre-stressed force is
given on it. The application will be wide, if the use of cable element is combined with compression
element to provide the main structures. Cable can be attached internally (e.g. in pre-stressed concrete
beam), or externally (e.g. cable-stayed system). The simple cable structure can be analyzed by
considering it as a truss, but when the structure becomes more complex, the analysis will not be
accurate if the compression forces occur in the cable elements. Cable elements can only resist tension
forces. Beside that in some particular structural configurations, cable element deforms larger than the
truss element. Hence, to analyze a cable structure with a computer program which does not provide
an option for cable analysis, the modelling of cable element should be carried out carefully. The aim
of this research is to provide modelling and analyzing strategy for structures with external prestressed
cables using SAP2000 (student version), computer program which does not have cable
analysis option. The pre-stressed feature and negative temperature difference loading of SAP2000 can
be used for modelling pre-stressed effect at cable elements. But the analysis with this program is
limited on structures with external pre-stressed cables which can be assumed as linear structure.
KEYWORDS : structural modelling, external pre-stressed, cable element, SAP2000
1 Mahasiswa S1, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Lippo-Karawaci
2 Lektor, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Lippo-Karawaci
International Civil Engineering Conference "Towards Sustainable Civil Engineering Practice"
Surabaya, August 25-26, 2006
99
1. PENDAHULUAN
Secara umum, penggunaan kabel prategang eksternal pada struktur menurut fungsinya dapat dibagi
dua. Pertama adalah kabel prategang ekternal yang digunakan sebagai elemen utama pemikul beban
struktur. Kabel prategang eksternal seperti ini misalnya digunakan pada jembatan cable-stayed dan
struktur atap dengan sistem cable stayed (Gambar 1). Fungsi kabel prategang eksternal yang kedua
adalah sebagai elemen sekunder untuk memperkuat struktur utama. Contoh aplikasinya adalah kabel
prategang yang digunakan pada struktur jembatan rangka batang. Fungsi kabel prategang pada
jembatan rangka batang ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rangka batang dalam menerima
beban dan memperkecil lendutan yang terjadi.
Gambar 1. Sistem cable stayed pada struktur atap
Analisis terhadap struktur dengan kabel prategang eksternal tidaklah sederhana. Sifat material kabel
yang hanya dapat memikul tegangan tarik dan fleksibilitasnya yang tinggi menyebabkan perilaku
struktur kabel dalam memikul beban menjadi berbeda dari struktur lainnya.
Struktur kabel dengan konfigurasi yang sederhana dapat dianalisis secara langsung dengan
mengasumsikan struktur tersebut sebagai rangka batang. Hasil analisisnya akan tepat apabila gaya
yang bekerja pada elemen kabel tersebut adalah tarik (Gambar 2a). Namun tidak semua konfigurasi
struktur kabel menghasilkan gaya tarik pada kabel. Ada pula konfigurasi yang menimbulkan gaya
tekan pada elemen kabel (Gambar 2b). Konfigurasi yang dapat menimbulkan gaya tekan pada elemen
kabelnya tidak dapat langsung dianalisis sebagai rangka batang biasa, karena hasilnya akan tidak
akurat. Gaya prategang harus diberikan pada elemen kabel tersebut agar dapat memikul tekan.
(a) (b)
(+) (+)
(-)
Gambar 2 Konfigurasi struktur kabel tarik dan tekan.
Sifat khusus elemen kabel lainnya seperti yang telah disebutkan di atas adalah fleksibel. Elemen kabel
dapat mengalami perubahan bentuk sesuai dengan gaya yang diberikan padanya. Perubahan bentuk
tersebut ada yang kecil sehingga dapat diabaikan. Namun pada konfigurasi tertentu, perubahan bentuk
yang terjadi besar, sehingga bentuk struktur sebelum dan setelah dibebani berbeda. Pada konfigurasi
struktur yang perubahan bentuknya kecil, analisis dengan mengasumsikan elemen kabel sebagai
rangka batang dapat digunakan. Sedangkan pada konfigurasi struktur yang mengalami perubahan
bentuk besar, analisis akan menjadi tidak akurat jika mengasumsikan kabel sebagai rangka batang.
Oleh karena sifat khusus dari elemen kabel tersebut, analisis terhadap kabel dengan program komputer
struktur yang tidak secara khusus.menyediakan fitur untuk analisis kabel harus dilakukan dengan
strategi tertentu. Strategi yang dimaksud mencakup strategi penggunaan fitur-fitur untuk memodelkan
kabel dan asumsi yang harus digunakan agar diperoleh hasil analisis kabel yang benar.
ANITA and DEWOBROTO
100
Program SAP2000 student version yang digunakan dalam penelitian ini merupakan program analisis
struktur yang tidak memiliki fitur khusus untuk menganalisis struktur kabel. Oleh karenanya,
penelitian harus dilakukan terhadap program ini untuk mengetahui fitur apa sajakah yang dapat
digunakan untuk memodelkan kabel prategang eksternal dengan benar. Pemodelan ini harus sesuai
dengan sifat dari struktur kabel itu sendiri. Tanpa menggunakan fitur dan strategi yang tepat dalam
pemodelan, kesalahan analisis dapat terjadi.
Selain strategi pemodelan yang tepat, penelitian juga harus dilakukan terhadap keterbatasan yang
dimiliki program dalam menganalisis struktur kabel prategang. Struktur kabel yang mengalami
perubahan bentuk besar ketika dibebani harus dianalisis secara non-linier untuk memperoleh hasil
yang akurat. Tidak semua program memiliki fitur untuk melakukan analisis terhadap struktur yang
mengalami deformasi besar.
Oleh karena itu, penelitian yang menyangkut kemampuan program untuk analisis terhadap struktur
yang berdeformasi besar harus dilakukan terhadap SAP2000 student version. Bertolak dari penelitian
tersebut, akan dibuat suatu batasan mengenai jenis struktur kabel prategang eksternal yang dapat dan
tidak dapat dianalisis dengan SAP2000 student version.
2. PROGRAM SAP2000
SAP2000 adalah program komputer struktur yang banyak dikenal dan digunakan oleh kalangan teknik
sipil di Indonesia [1]. Program ini dilengkapi dengan fitur-fitur untuk memodelkan dan menganalisis
berbagai tipe struktur baik secara statik maupun dinamik [2]. Versi program SAP2000 yang digunakan
pada tulisan penelitian ini adalah SAP2000 student version. SAP2000 student version merupakan versi
program yang penggunaannya dikhususkan untuk kalangan pendidikan. Versi resmi SAP2000 ini
dapat di-download secara bebas di beberapa home page, antara lain di beberapa situs internet [3-4].
3. FITUR PRATEGANG
SAP2000 memiliki fitur untuk memodelkan efek prategang untuk elemen frame. Fitur ini
dimaksudkan untuk memberikan efek prategang pada struktur prategang dengan kabel internal. Oleh
karenanya, fitur ini tepat digunakan untuk memodelkan struktur seperti beton prategang maupun baja
prategang. Dengan memberikan efek prategang, maka elemen tersebut akan menjadi tekan (sesuai
dengan konsep pada beton prategang).
Fitur prategang pada SAP2000 tidak dapat langsung digunakan untuk memodelkan efek prategang
pada kabel prategang eksternal. Penggunaan fitur prategang tersebut membutuhkan suatu strategi
khusus. Hal ini karena asumsi fitur prategang pada SAP2000 adalah untuk memberikan efek prategang
pada struktur dengan kabel prategang internal. Dengan asumsi prategang yang demikian, maka
pemberian gaya prategang pada kabel prategang eksternal secara langsung melalui fitur tersebut akan
menyebabkan kabel memiliki tegangan awal tekan. Hal ini tentu saja tidak benar. Kabel tidak
memiliki kekakuan terhadap tekan, sehingga tidak dapat memiliki tegangan tekan di dalamnya.
Kesalahan pemodelan ini akan kurang disadari oleh perencana apabila beban-beban hidup dan mati
telah ikut dimasukkan pada analisis strukturnya. Dengan kombinasi beban yang cukup besar, kabel
yang sebelumnya mengalami tegangan tekan akibat pemberian gaya prategang dengan fitur tersebut
akan menjadi tarik. Kesalahan pada tahap pemodelan efek prategang menjadi tidak terlihat. Walaupun
terlihat bahwa hasil analisisnya sudah benar, namun pada kenyataannya besar tegangan yang terjadi
pada kabel adalah tidak tepat.Tegangan pada kabel yang dimodelkan dengan fitur prategang akan lebih
kecil daripada tegangan pada kabel sebenarnya. Tegangan awal yang negatif akan mengurangi
tegangan tarik yang terjadi akibat beban lainnya. Hasil analisis seperti ini dapat membahayakan
struktur, karena berkaitan dengan tegangan maksimum yang dapat dipikul oleh kabel.
International Civil Engineering Conference "Towards Sustainable Civil Engineering Practice"
101
4. FITUR BEBAN TEMPERATUR
Perubahan temperatur memiliki pengaruh pada struktur. Besarnya pengaruh tersebut bergantung pada
jenis material strukturnya. Akibat beban temperatur, struktur dapat memanjang ataupun memendek.
Pada perbedaan temperatur yang positif (suhu meningkat), struktur akan mengalami pemuaian.
Sebaliknya, pada perbedaan temperatur yang negatif (suhu menurun), struktur akan menyusut.
Sifat struktur yang dapat memuai atau menyusut akibat pembebanan temperatur ini dapat digunakan
untuk memberikan efek prategang pada kabel eksternal. Pada pembebanan temperatur negatif, struktur
akan menyusut atau memendek. Tanpa pemberian beban atau tahanan berupa kekakuan, struktur yang
diberi beban termal negatif hanya akan menyusut, dan tidak ada tegangan yang dihasilkan di
dalamnya. Tegangan akan timbul akibat pembebanan atau tahanan kekakuan yang akan menahan
struktur dari terjadinya penyusutan. Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi pada kabel prategang
eksternal. Pemberian gaya prategang dilakukan dengan memperpendek pemasangan kabel. Struktur
kabel yang diperpendek tersebut akan lebih kaku dalam memikul beban.
P L. AE
L
= Δ (1)
ΔL =α.ΔT.L (2)
. .
T P
α E A
Δ = (3)
Rumus (1) adalah rumus yang mengikuti hukum Hooke, yaitu gaya (P) sebanding dengan besarnya
perubahan panjang (ΔL) yang terjadi dan besarnya kekakuan aksial kabel (AE/L). Sedangkan
perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan temperatur (Rumus 2) sebanding dengan koefisien
muai termal material (α) dan selisih temperatur (ΔT). Dari rumus (1) dan (2), dapat diturunkan rumus
untuk mencari perbedaan temperatur yang dibutuhkan untuk menghasilkan gaya yang diinginkan
(Rumus 3).
Pada struktur kabel yang kedua ujungnya tertahan atau diberikan restraint, pemberian beban
temperatur negatif akan langsung menghasilkan tegangan tarik sebesar gaya prategang yang diberikan.
Namun, apabila tidak ada tahanan, maka pemberian beban temperatur hanya akan menghasilkan
perpendekan.
5. APLIKASI ELEMEN KABEL PRATEGANG EKSTERNAL PADA SAP2000
Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap aplikasi elemen kabel pada SAP2000 sebagai kabel
prategang eksternal pada struktur. Analisis akan dilakukan terhadap dua contoh kasus. Kasus pertama
merupakan contoh konfigurasi struktur sederhana yang digunakan untuk mengilustrasikan kondisi
elemen kabel yang diberi gaya prategang. Sedangkan kasus kedua merupakan aplikasi elemen kabel
sebagai kabel prategang pada struktur rangka batang yang dianalisis oleh Ayyub, Ibrahim dan
Schelling [6]. Analisis kedua contoh tersebut beserta evaluasinya akan dibahas pada sub bab berikut.
5.1 KANTILEVER DENGAN ELEMEN KABEL SEBAGAI KABEL PRATEGANG
EKSTERNAL
Berikut adalah ilustrasi mengenai aplikasi elemen kabel sebagai kabel prategang eksternal sederhana
pada kantilever. Sebuah struktur kantilever digantung dengan sebuah kabel (Gambar 3). Elemen kabel
pada struktur ini berfungsi sebagai pemikul beban kantilever. Kabel tersebut diberi gaya prategang
sebesar 100 kN. Berat sendiri kantilever diabaikan. Struktur kantilever di bawah ini akan dianalisis
dengan beberapa konfigurasi pembebanan untuk mengetahui perubahan gaya aksial pada kabel.
ANITA and DEWOBROTO
102
Gambar 3. Balok kantilever digantung dengan kabel prategang
Hasil analisis elemen kabel prategang, yaitu nilai gaya aksial dan deformasinya, ditampilkan pada
Tabel 1. Pemberian efek prategang pada kabel dilakukan dengan fitur prategang dan juga beban termal
agar dapat dibandingkan hasilnya. Pada tabel tampak bahwa dengan pemakaian kedua option,
deformasi yang terjadi pada kabel akibat setiap konfigurasi pembebanan adalah sama.
Tabel 1. Hasil analisis kabel pada kantilever
Gaya Aksial
Elemen Kabel (kN)
Deformasi
Konfigurasi Pembebanan di Titik B (m)
Prategang Termal Prategang Termal
Gaya Prategang (V = 100 kN) -93,79 6,21 0,00369 0,00369
V + PB (100 kN) 0,00 100,00 0,00000 0,00000
V + PA (100 kN) 70,21 170,20 -0,00276 -0,00276
V + qAC (50 kN/m) 404,42 504,42 -0,01589 -0,01589
Pada analisis pertama, kantilever tidak diberikan beban apapun. Struktur dianalisis terhadap gaya
prategang yang diberikan pada elemen kabel. Tanpa pembebanan apapun, maka efek prategang pada
kabel ditunjukkan dengan terjadinya perpendekan. Penggunaan fitur prategang akan menghasilkan
gaya aksial negatif pada kabel sebesar -93,79 kN (Tabel 1). Sedangkan dengan pemberian beban
selisih temperatur (α = 1,17 x 10-5, ΔT = -67,17°C), gaya aksial yang timbul pada kabel adalah gaya
tarik sebesar 6,21 kN (Tabel 1), yang merupakan akibat dari kekakuan lentur balok kantilever.
Pada analisis kedua, struktur dianalisis terhadap gaya prategang dan beban terpusat vertikal ke bawah
sebesar 100 kN di titik B. Pada analisis dengan fitur prategang, gaya aksial pada elemen kabel menjadi
nol (Tabel 1). Gaya aksial negatif sebelumnya dihilangkan oleh gaya tarik ke bawah. Sebaliknya, pada
kabel yang efek prategangnya diberikan melalui beban termal, gaya asial pada kabel akan menjadi
gaya tarik sebesar 100 kN (Tabel 1). Melalui pembebanan ini, dapat terlihat dengan jelas bahwa gaya
prategang memberikan efek mengurangi lendutan pada struktur.
Pemakaian kedua option pada kabel untuk analisis pembebanan ke tiga dan ke empat sama-sama
menghasilkan nilai gaya aksial positif pada kabel. Apabila tidak teliti, gaya aksial pada kabel yang
pemodelannya menggunakan fitur prategang dapat dianggap telah benar. Hal ini akan mengakibatkan
kesalahan fatal apabila nilai gaya aksial tersebut digunakan sebagai acuan untuk menentukan luas
penampang dan kekuatan ultimate kabel yang dibutuhkan.
Melalui perbandingan hasil analisis gaya aksial elemen kabel pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa
selisih gaya aksial pada kabel di antara 2 option pemodelan tersebut pada setiap konfigurasi
pembebanan adalah sama, yaitu sebesar 100 kN.
International Civil Engineering Conference "Towards Sustainable Civil Engineering Practice"
103
1 6
5.2 APLIKASI ELEMEN KABEL PRATEGANG PADA JEMBATAN RANGKA BATANG
Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, salah satu fungsi dari kabel prategang
eksternal adalah sebagai elemen sekunder untuk memperkuat struktur utama. Di bawah ini terdapat
contoh aplikasi elemen kabel yang digunakan untuk memperkuat struktur jembatan rangka batang.
Penggunaan kabel prategang ini dapat meningkatkan kinerja jembatan. Pemberian efek prategang akan
mengurangi tegangan besar pada rangka batang, mendistribusikan secara lebih merata tegangan pada
elemen rangka batang, mengurangi lendutan secara keseluruhan dan meningkatkan kemampuan
struktur untuk menahan beban. Oleh karena itu, pemberian efek prategang pada struktur rangka batang
dapat menambah tingkat pelayanan dan umur struktur jembatan tersebut.
Penempatan kabel prategang pada rangka batang dapat dilakukan dengan berbagai konfigurasi,
tergantung pada jenis rangka batang dan pembebanannya. Elemen kabel diangkur pada sambungan
rangka baja. Berikut ini adalah salah satu konfigurasi kabel prategang pada rangka batang yang
dianalisis oleh Ayyub, Ibrahim dan Schelling [5].
Rangka batang pada struktur di bawah ini (Gambar 4) adalah rangka statis tertentu. Luas penampang
baja yang digunakan pada rangka batang adalah 18813 mm2. Elemen kabel diletakkan antara notasi
U0, L4, dan U8. Elemen kabel terdiri dari tiga untaian (strands), yang masing-masing memiliki
diameter 15,24 mm (0,6 in). Tegangan tarik ultimat kabel adalah 1860 MPa (270 ksi). Luas area
penampang melintang kabel adalah 548 mm2. Kabel diberikan tegangan awal sebesar 206 kips.
Gambar 4. Rangka batang dengan kabel prategang [5]
Hasil analisis struktur di atas dengan SAP2000 ditunjukkan pada Tabel 2. Pemodelan efek prategang
pada elemen kabel dilakukan baik dengan fitur prategang, maupun pemberian beban temperatur
negatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya gaya aksial yang terjadi pada elemen-elemen
rangka batang dan kabel (dengan fitur termal) mendekati besar tegangan yang diberikan oleh Ayyub
Ibrahim dan Schelling [5]. Pemberian kabel prategang memberikan efek distribusi gaya aksial yang
lebih merata pada rangka batang. Pengurangan gaya aksial terjadi pada sebagian besar elemen rangka
batang. Hal ini meningkatkan kemampuan struktur untuk menerima beban yang lebih besar.
Tabel 2. Perbandingan hasil analisis SAP2000 dengan referensi
Tarik (+), Tekan (-)
Gaya Akibat
Beban Mati + Beban Hidup
(kips)
Gaya Akibat
Beban Mati + Beban Hidup + Prategang
(kips)
Elemen
Rangka Batang
Referensi
SAP2000
Referensi
SAP2000
(Prategang)
SAP2000
(Termal)
L0L1 320 319,74 270 269,79 269,79
L1L2 320 319,74 270 269,79 269,79
L2L3 746 746,05 597 596,21 596,22
L3L4 746 746,05 597 596,21 596,22
ANITA and DEWOBROTO
104
U1 0 0,00 -200 -199,79 -199,78
U1U2 -640 -639,47 -740 -739,37 -739,36
U2U3 -640 -639,47 -740 -739,37 -739,36
U3U4 -853 -852,63 -853 -852,63 -852,63
L0U0 0 0,00 -70 -70,30 -70,29
L0U1 -552 -552,03 -466 -465,79 -465,79
L1U1 0 0,00 0 0,00 0,00
L2U1 552 552,03 466 465,79 465,79
L2U2 0 0,00 0 0,00 0,00
L2U3 -184 -184,01 -98 -97,77 -97,78
L3U3 0 0,00 0 0,00 0,00
L4U3 184 184,01 98 97,77 97,78
L4U4 0 0,00 0 0,00 0,00
Kabel - - 212 5,80 211,79
5.3 PEMBAHASAN
Hasil analisis dengan kedua option pemodelan efek prategang pada contoh struktur di atas
menunjukkan suatu pola hubungan tertentu. Pemodelan dengan menggunakan kedua option tersebut
menghasilkan besar deformasi yang sama pada struktur (Tabel 1). Selanjutnya, pada contoh kedua
(Tabel 2) terlihat bahwa pemodelan efek prategang pada kabel, baik dengan fitur prategang maupun
pemberian beban termal negatif, dapat menghasilkan distribusi gaya aksial yang sama pada elemen
rangka batang.
Perbedaan yang besar terdapat pada nilai gaya aksial kabel. Contoh 1 menunjukkan bahwa pada
konfigurasi pembebanan apapun, selisih gaya aksial yang terjadi tetap sama, yaitu 100 kN. Sedangkan
pada contoh 2, selisih gaya aksial yang terjadi antara kedua kabel adalah 206 kips. Kedua contoh
tersebut menunjukkan bahwa selisih gaya aksial pada kabel di antara kedua option tersebut sama
besarnya dengan gaya prategang yang diberikan.
Oleh karenanya, fitur prategang tetap dapat digunakan untuk memodelkan gaya prategang pada kabel
eksternal secara benar. Namun untuk memperoleh nilai gaya aksial kabel yang aktual, nilai aksial
akhir pada kabel harus ditambahkan dengan besar gaya prategang yang diberikan.
6. BATASAN APLIKASI SAP2000 UNTUK ANALISIS KABEL PRATEGANG
Walaupun melalui contoh di atas telah ditunjukkan bahwa SAP2000 student version ini dapat
memodelkan dan menganalisis struktur berkabel prategang eksternal, namun tidak semua jenis struktur
berkabel prategang eksternal dapat dianalisis oleh program ini. Struktur kabel prategang yang dapat
dianalisis dengan program ini adalah struktur kabel prategang yang tidak mengalami large
deformation atau perubahan bentuk yang besar. Pada struktur yang mengalami deformasi besar,
geometri struktur sebelum dan setelah pembebanan mengalami perubahan besar. Oleh karenanya,
persamaan keseimbangan gaya harus dibuat berdasarkan bentuk geometrinya yang telah berubah.
Persamaan keseimbangan yang dibuat pada bentuk geometri awal tidak dapat berlaku lagi [6].
Struktur kabel prategang yang tidak mengalami deformasi besar dapat diasumsikan berperilaku linier.
Efek geometri non-linier yang disebabkan oleh perubahan kekakuan pada struktur yang demikian
sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Sebaliknya, pada struktur kabel prategang yang mengalami
deformasi besar, efek geometri non-liniernya besar dan tidak dapat diabaikan. SAP2000 student
version ini tidak memiliki fitur untuk menganalisis struktur dengan efek non-linier yang menyebabkan
deformasi besar. Hal ini ditunjukkan oleh referensi SAP2000 yang menyatakan bahwa program hanya
dapat memperhitungkan struktur dengan lendutan yang kecil dan program tidak dapat memasukkan
efek perubahan kekakuan yang terjadi pada struktur dalam analisisnya [7].
International Civil Engineering Conference "Towards Sustainable Civil Engineering Practice"
105
Deformasi besar akan terjadi pada struktur kabel prategang yang memikul beban transversal. Contoh
yang sederhana adalah elemen kabel prategang horisontal yang diberikan beban terpusat di atasnya.
Kabel ini akan mengalami deformasi besar sebelum mencapai keadaan stabilnya [8], yaitu tercapainya
keseimbangan antara gaya luar dengan gaya dalamnya. Analisis untuk memperoleh formasi
keseimbangan pada struktur harus dilakukan dengan proses iterasi berulang-ulang dengan
memperhitungkan efek dari kekakuan geometri struktur [6].
Struktur kabel prategang eksternal lain yang mengalami deformasi besar adalah cable truss (Gambar
5) yang banyak digunakan sebagai rangka atap tenda. Gaya prategang diberikan pada konfigurasi
kabel cembung (convex). Fungsi kabel prategang ini adalah untuk menstabilkan konfigurasi cable
truss, meningkatkan kekuatan, dan juga kekakuan struktur. Struktur kabel ini di dalam analisisnya
tidak dapat diasumsikan sebagai sebuah struktur balok kaku yang berperilaku linier. Selain itu, efek
deformasi besar pada cable truss ini juga tidak dapat diabaikan. Analisis untuk menentukan distribusi
beban pada tiap elemen kabel pada struktur ini merupakan masalah yang kompleks [9].
Gambar 5. Contoh konfigurasi cable truss
7. KESIMPULAN dan SARAN
Dari tulisan di atas, dapat disimpulkan: (1). SAP2000 student version dapat diaplikasikan untuk
menganalisis elemen kabel prategang eksternal. (2). Pemodelan efek prategang dapat diberikan baik
melalui fitur prategang (dengan menambahkan nilai gaya prategang pada elemen kabel), maupun
dengan pemberian beban temperatur negatif. (3). Struktur berkabel prategang yang dapat dimodelkan
dan dianalisis dengan SAP2000 student version adalah struktur berkabel prategang yang diasumsikan
berperilaku linier (small deformation).
Selain itu, penulis menyarankan agar pengguna program berhati-hati dalam menentukan struktur
dengan elemen kabel prategang eksternal yang dapat dianalisis maupun tidak dengan SAP2000 student
version. Pemahaman mengenai sifat dan perilaku struktur dengan elemen kabel prategang eksternal
akan sangat dibutuhkan untuk membuat asumsi apakah struktur tersebut dapat dianggap berperilaku
linier, atau sebaliknya.
8. DAFTAR PUSTAKA
1. Dewobroto, W., Aplikasi Rekayasa Konstruksi dengan SAP2000, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2004.
2. http://www.csiberkeley.com
3. http://www.engr.csufresno.edu/-aelzeiny/instruct.html
4. http://sipil-uph.tripod.com
5. Ayyub, B.M., Ibrahim, A., and Schelling, D., “Posttensioned Truss: Analysis and Design”,
Journal of Structural Engineering; Vol. 116, 1990, pp. 1491-1506.
6. McGuire, W. , Matrix Structural Analysis 2nd, John Wiley & Sons, New York, 2000.
7. Wilson, E.L., SAP2000 Analysis Reference, Computer and Structures, Inc., California, 1995.
8. Kollar, L., Covering Grandstands by Cable Structure, Budapest University of Technology and
Economics, 2002.
9. Schueller, W., The Design of Building Structures, Prentice-Hall, New Jersey, 2000.
ANITA and DEWOBROTO
106