Powered By Blogger

Laman

Kamis, 25 Maret 2010

PEMILIHAN MODEL TRANSPORTASI di DKI JAKARTA dengan ANALISIS kebijakan proses hirarki analitik

Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 25
PEMILIHAN MODEL TRANSPORTASI di DKI JAKARTA dengan ANALISIS
KEBIJAKAN “PROSES HIRARKI ANALITIK”
Haryono Sukarto
Email: hsukarto@yahoo.com
Jurusan Teknik Sipil - Universitas Pelita Harapan
UPH Tower, Lippo Karawaci, Tangerang 15811, Banten
ABSTRAK: Kepadatan lalu lintas yang meningkat dengan cepat akhir-akhir ini di kota Jakarta, telah
menimbulkan masalah yang cukup serius di berbagai bidang, seperti waktu tempuh perjalanan yang bertambah
lama, dan pencemaran udara yang semakin meningkat. Pemecahan masalah ini didekati dengan pemilihan
model transportasi yang paling sesuai, melalui suatu kebijakan (Pemerintah) dengan menggunakan Proses
Hirarki Analitik.
KATA KUNCI: transportasi, sistem, kebijakan, angkutan umum.
ABSTRACT: The fastly increasing of traffic density in Jakarta recently, has risen serious problems in many
fields, such as longer time travel, and an increasing in air pollution. The problem solving of this condition is
being approach by selecting the most appropriate transportation model, through a policy (by the government),
using the Analytic Hierarchy Process.
KEYWORDS: transportation, system, policy, public transport.
PENDAHULUAN
Kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor di jalanjalan
dalam kota Jakarta, akhir-akhir ini telah semakin
bertambah, sehingga sering menimbulkan kemacetan
lalu lintas, terutama di jalan-jalan protokol dan jalanjalan
utama lainnya.
Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor bisa
disebabkan oleh dua hal, yaitu semakin banyaknya
produksi kendaraan bermotor (oleh industri kendaraan
bermotor), dan semakin tidak mencukupi, tidak
nyaman dan tidak amannya angkutan bis kota.
Kondisi ini mendorong masyarakat lebih memilih
untuk memiliki kendaraan pribadi (walaupun bekas,
bahkan usia kendaraan yang telah cukup tua, sesuai
kemampuan dan daya beli mereka).
Beberapa faktor penyebab beralihnya pengguna
angkutan umum kepada angkutan pribadi, antara lain:
- Aktivitas ekonomi belum mampu dilayani oleh
angkutan umum yang memadai
- Meningkatnya harga tanah di pusat kota akan
menyebabkan lokasi pemukiman jauh dari pusat
kota, atau bahkan sampai ke luar kota yang tidak
tercakup oleh sistem jaringan layanan angkutan
umum
- Dibukanya jalan baru akan merangsang pengguna
angkutan pribadi, karena biasanya di jalan baru
tersebut pada saat itu belum terdapat jaringan
layanan angkutan umum
- Tidak tersedianya angkutan lingkungan atau
angkutan pengumpan yang dapat menjembatani
perjalanan dari - sampai ke jalur utama layanan
angkutan umum
- Kurang terjaminnya kondisi rasa aman dan
ketepatan waktu yang diinginkan penumpang
dalam pelayanan angkutan umum
Selanjutnya kemacetan lalu lintas masih dipengaruhi
lagi oleh rendahnya kinerja lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab menyelenggarakan transportasi
perkotaan, yang merupakan permasalahan stuktural,
di samping tidak adanya keterpaduan antara
perencanaan tata guna lahan dan perencanaan
transportasi, rendahnya kinerja pelayanan angkutan
umum, serta rendahnya tingkat disiplin pemakai jalan.
Dengan demikian jelas diperlukan adanya suatu
kebijakan yang terpadu yang dirumuskan secara
komperhensif melalui pentahapan yang terstruktur,
untuk dapat membenahi masalah transportasi di kota
Jakarta.
SISTEM JARINGAN TRANSPORTASI di
PERKOTAAN
Jaringan transportasi di perkotaan terjadi sebagai
interaksi antara transpor, tata guna lahan (land use),
26 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
populasi (jumlah penduduk) dan kegiatan ekonomi di
suatu wilayah perkotaan (urban area).
Transportasi sangat berhubungan dengan adanya
pembangkitan ekonomi di suatu daerah perkotaan,
guna memacu perekonomian setempat, untuk
menciptakan lapangan kerja, dan untuk menggerakkan
kembali suatu daerah. Namun dalam kenyataan,
hubungan tersebut masih sangat tidak jelas
Konsep transportasi adalah adanya pergerakan berupa
perjalanan (trip) dari asal (origin) sampai ke tujuan
(destination). Asal (origin) dapat berupa rumah
(home), sehingga perjalanan yang dilakukan disebut
home base trip, menuju kepada tujuan berupa
kegiatan yang akan dilakukan, seperti kegiatan sosial
(sekolah, olah raga, keluarga, dan sebagainya) dan
kegiatan usaha (bekerja, berdagang, dan sebagainya).
Sistem Transportasi terdiri atas Sub Sistem Prasarana,
Sub Sistem Sarana, Sub Sistem Kegiatan, dan Sub
Sistem Pergerakan (travel, movement, trip) yang
saling berinteraksi membentuk suatu sistem
transportasi, dan dapat digambarkan sebagai berikut:
Sub Sistem Kegiatan:
Kegiatan yang dilakukan oleh orang dapat dibedakan
dalam dua macam kegiatan pokok, yaitu:
a. Kegiatan usaha, yang merupakan kegiatan harian
(daily activity), dan dibagi dalam: kegiatan dasar
(basic activity) dan kegiatan jasa (services
activity)
b. Kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan
berkala (periodic activity).
Dalam pergerakan perjalanan dari asal (origin) ke
tujuan (destination) terdapat aliran barang (flow of
goods) dan aliran jasa (flow of services). Aliran
barang umumnya mencakup wilayah (regional),
sedangkan aliran jasa lebih banyak berlangsung di
dalam kota.
Sub Sistem Sarana dan Prasarana:
Sub sistem ini berkaitan dengan pola jaringan
(nertwork system) yang terbagi dalam:
• pola konsentrik (menuju ke satu titik)
• pola radial (menyebar)
• pola linier (contoh: Ribbon Development)
• pola grid/kotak (grid iron)
Perkembangan sub sistem ini bisa cepat, sedang,
lambat, atau stagnan (tetap, tidak berubah),
tergantung pada kecepatan pertumbuhan (rate of
growth) dan tingkat pengembangan (level of
development) dari daerah yang bersangkutan (antara
lain: kawasan tertinggal, kawasan yang cepat
bertumbuh, dan sebagainya)
Sub Sistem Pergerakan:
Terbagi dalam skala nasional, regional dan local. Pada
skala nasional diatur dalam kebijakan Sistranas
(Sistem Transportasi Nasional) dengan Rencana
Induk Perhubungan sebagai masterplan. Di dalam
Sistranas sebagai kebijakan umum, terdapat Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada skala regional
diatur dalam Sistem dan Strategi Transportasi
Regional, dan Rencana Umum Jaringan Transportasi
Jalan. Selanjutnya skala lokal diatur menurut Sistem
dan Strategi Transportasi Perkotaan (Urban
Transportation Policy).
Sasaran Sub Sistem Pergerakan : cepat (fast), murah
(cheap), aman / selamat (safe), nyaman (comfort),
lancar, handal (reliable), tepat guna (efektif), berdaya
guna (efisien), terpadu (integrated), menyeluruh (holistic),
menerus (continue), berkelanjutan (sustainable),
dan berkesinambungan, sedangkan proses dari
Sub Sistem Pergerakan dapat dikategorikan dalam:
sangat pesat, cepat, sedang, lambat, terisolasi (ini
melahirkan angkutan-angkutan perintis).
FAKTOR-FAKTOR yang BERPENGARUH atas
TERJADINYA KEPADATAN LALU LINTAS
Kepadatan lalu lintas pada suatu ruas jalan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
(1) Kondisi jalan dan lingkungan, berkaitan dengan
waktu, biaya, dan jarak. Jalan yang buruk
kondisinya (banyak berlubang, bergelombang,
dsb) menyebabkan kecepatan kendaraan lambat
sehingga waktu perjalanan bertambah.
(2) Jenis kendaraan bermotor juga mempengaruhi
pemilihan lintasan atau ruas jalan yang akan
dilalui kendaraan tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan penumpukan lalu lintas pada suatu
ruas jalan tertentu, yang berakibat timbulnya
kemacetan lalu lintas.
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 27
(3) Pengemudi atau penumpang kendaraan juga
menentukan dalam pemilihan lintasan yang akan
dilalui. Pada umumnya orang akan memilih jarak
minimum, biaya perjalanan minimum dan waktu
perjalanan yang minimum, atau ketiganya
sekaligus. Ada pula kecenderungan memilih
suatu ruas jalan tertentu karena kebiasaan.
Apabila semua pengguna jalan berpendapat
demikian, maka dapat terjadi penumpukan lalu
lintas pada suatu ruas jalan, sedangkan pada
ruas jalan yang lain lalu lintas kurang padat
PERENCANAAN TRANSPORTASI
PERKOTAAN
Perencanaan transportasi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari perencanaan wilayah dan kota.
Perencanaan kota tanpa mempertimbangkan keadaan
dan pola transportasi yang akan terjadi sebagai akibat
dari perencanaan itu sendiri, akan menimbulkan
keruwetan lalu lintas di kemudian hari, yang dapat
berakibat dengan meningkatnya kemacetan lalu lintas,
dan akhirnya meningkatnya pencemaran udara.
Beberapa upaya dalam rangka penerapan rekayasa
dan pengelolaan lalu lintas, antara lain perbaikan
sistem lampu lalu lintas dan jaringan jalan,
kebijaksanaan perparkiran, serta pelayanan angkutan
umum.
Rencana tataguna lahan dalam perencanaan wilayah
dan kota dipengaruhi oleh rencana pola jaringan jalan,
yang akan merupakan pengatur lalu lintas. Jadi ada
kaitan antara perencanaan kota dengan perencanaan
transportasi. Perencanaan kota mempersiapkan kota
untuk menghadapi perkembangan dan mencegah
timbulnya berbagai persoalan, agar kota menjadi
suatu tempat kehidupan yang layak. Perencanaan
transportasi mempunyai sasaran mengembangkan
sistem transportasi yang memungkinkan orang
maupun barang bergerak dengan aman, murah, cepat,
dan nyaman.
Jelas, bahwa perencanaan sistem transportasi akan
berdampak terhadap penataan ruang perkotaan,
terutama terhadap prasarana perkotaan. Untuk
menghindari dampak yang bersifat negatif, perlu
diterapkan sistem perencanaan yang memadai serta
sistem koordinasi interaktif dengan melibatkan
berbagai instansi yang terkait.
Kebutuhan transportasi merupakan pola kegiatan di
dalam sistem tataguna lahan yang mencakup kegiatan
sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, yang
membutuhkan pergerakan sebagai penunjang untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Transportasi dan tata guna lahan berhubungan sangat
erat, sehingga biasanya dianggap membentuk suatu
land use transport system. Agar tata guna lahan dapat
terwujud baik, maka kebutuhan transportasinya harus
terpenuhi dengan baik. Sistem transportasi yang
macet tentunya akan menghalangi aktivitas tata guna
lahannya. Sebaliknya transportasi yang tidak
melayani suatu tata guna lahan akan menjadi sia-sia,
tidak termanfaatkan .
Pergerakan (manusia / barang) ini memerlukan sarana
(moda angkutan) maupun prasarana (media tempat
moda angkutan dapat bergerak) meliputi jalan raya,
jalan rel, terminal bis, setasiun kereta api, pelabuhan
udara, dan pelabuhan laut. Interaksi antara kebutuhan
transportasi dan prasarana transportasi akan
menghasilkan pergerakan (manusia dan/atau barang)
dalam bentuk lalu lintas kendaraan maupun pejalan
kaki, yang untuk pengaturannya diperlukan penerapan
sistem rekayasa dan pengelolaan lalu lintas.
Selanjutnya pilihan rute perjalanan masih dipengaruhi
oleh kondisi lalu lintas, yang menyangkut waktu
tempuh dan kenyamanan (macet/lancar, kondisi jalan,
dan sebagainya).
Sebagai contoh dapat diberikan gambaran tentang
permasalahan transportasi di perkotaan, khususnya di
DKI Jakarta, yang dipengaruhi oleh beberapa kondisi
berikut:
a. Sarana dan prasarana lalu lintas yang terbatas.
b. Manajemen lalu lintas belum berfungsi secara
optimal.
c. Pelayanan angkutan umum penumpang belum
memadai.
d. Disiplin pemakai jalan (road users) masih rendah.
Untuk itu diperlukan perencanaan sistem transportasi
yang lebih baik, seperti :
- Pengadaan rute jalan alternatif untuk mengurangi
kepadatan lalu lintas, atau pengaturan jalan satu
arah,
- Pengelolaan lalu lintas yang lebih baik (antara
lain perbaikan sistem pengaturan traffic light
secara otomatik),
- Pengendalian kecepatan kendaraan bermotor di
jalan dalam kota (penetapan batas kecepatan).
Hal ini sejalan dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) tahun 2005 untuk transportasi di Jakarta,
yang bersangkutan dengan pengurangan kemacetan
lalu lintas, yaitu meliputi usaha-usaha:
a. Meningkatkan dan memperluas jaringan
transportasi yang telah ada, disertai pengaturan
lalu lintas yang layak untuk mengurangi
kemacetan dan meningkatkan kecepatan
perjalanan.
b. Mendorong pemakaian angkutan umum dan
menganjurkan dikuranginya pemakaian angkutan
pribadi.
28 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
c. Memperkecil penambahan jaringan jalan baru
yang memberikan dampak pertumbuhan kota ke
arah yang tidak sesuai dengan kebijaksanaan
pengembangan.
Pemilihan model lalu lintas pada dasarnya ditentukan
dengan mempertimbangkan salah satu persyaratan
pokok, yaitu “pemindahan barang dan manusia
dilakukan dalam jumlah yang terbesar dengan jarak
yang terkecil”. Angkutan massal (public MRT) yang
berorientasi pada kepentingan publik atau pelanggan
(customer), dalam hal ini merupakan pilihan yang
lebih baik dibandingkan dengan angkutan individual.
Di sini ada pilihan untuk angkutan (modal choice),
persaingan dalam jasa pelayanan (competitive
services), dan nilai waktu (time values).
Dengan mengurangi jumlah sarana transportasi
(kendaraan) sesedikit mungkin dan dalam waktu
tempuh yang sekecil mungkin, akan diperoleh
efisiensi yang tertinggi, sehingga pemakaian total
energi per penumpang akan sekecil mungkin dan
intensitas emisi pencemar yang dikeluarkan akan
berkurang.
Salah satu jenis angkutan massal adalah angkutan
dengan bis yang disebut Bus Rapid Transit (BRT).
Berbeda dengan angkutan yang menggunakan jalur rel
(rail transit) tersendiri, maka angkutan dengan bis
kota beroperasi pada suatu jalur terbagi dalam suatu
sistem yang terbuka dan bebas. Dalam kondisi
semacam ini, bis-bis menghadapi kelambatan yang
disebabkan oleh interaksi dengan kendaraankendaraan
lain dan adanya lampu lalu lintas pada
persimpangan. Kedua faktor ini sangat berpengaruh
pada operasi perjalanan.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
dampak negatif pada perjalanan bis, antara lain
dengan menggunakan lajur tersendiri untuk bis
(busway). Cara ini cukup efektif dalam mengatasi
kemacetan lalu lintas, tetapi biayanya mahal, dan
untuk kota-kota tertentu dengan ruang yang terbatas
untuk jalan, cara ini tidak mungkin dilakukan.
KONSEP MODEL
Pemilihan model transportasi pada dasarnya
ditentukan dengan mempertimbangkan salah satu
persyaratan pokok, yaitu pemindahan barang dan
manusia dilakukan dalam jumlah yang terbesar dan
jarak yang terkecil. Dalam hal ini transportasi massal
merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan
dengan transportasi individual.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan yang
merupakan kebijakan dalam rangka menurunkan
tingkat kepadatan lalu lintas di perkotaan, antara lain:
(a) Penyediaan busway yaitu lajur khusus untuk
angkutan bis kota. Busway atau lajur bis
disediakan pada jalur-jalur khusus yang
merupakan jalur utama dan padat lalu lintas
(contoh: jalur Blok M-Semanggi - Bundaran
HI - Bundaran Air Mancur – Harmoni -
Setasiun Kota). Di sini diperlukan adanya
jalur-jalur pengumpan atau feeder lines, dari
sentra-sentra permukiman penduduk menuju
ke jalur-jalur utama yang memakai busway.
Keuntungan dari cara ini adalah waktu
tempuh yang lebih singkat bagi kendaraan
angkutan bis pada busway, serta kapasitas
angkut yang relatif lebih besar daripada
kendaraan-kendaraan pribadi atau kendaraan
komersial yang lain (mis. taksi). Di Bogota,
Columbia sistem busway memakai bis-bis
gandeng (articulated bus), dengan kapasitas
lebih besar daripada bis tunggal.
Jalur khusus bis seharusnya hanya dipisah
dengan marka jalan, bukan dengan pemisah
(separator) dari blok-blok beton. Pemisahan
memakai separator mempunyai beberapa
kelemahan, antara lain berkurangnya lajur
bagi kendaraan non bis, yang mengakibatkan
timbulnya kepadatan (bahkan kemacetan)
lalu lintas pada lajur di luar busway.
Di samping itu, dengan adanya lajur khusus
bagi bis yang lebarnya hanya muat untuk
satu badan bis, akan menimbulkan kesulitan
apabila terjadi bis mogok (akibat kerusakan
mesin, ban pecah, dan lain-lain). Hal ini
dapat menimbulkan kelambatan / kacaunya
jadwal (schedule) angkutan bis kota.
Lajur khusus bis (busway) ini hanya
dikenakan pada jalur-jalur tertentu saja,
sehingga tidak semua jalur jalan mengalami
perubahan pola lalu lintas. Cara ini
memerlukan pengaturan lalu lintas yang
cukup rumit, terutama di persimpangan /
perempatan jalan, di samping biaya investasi
dan pengoperasian yang sangat besar.
Pengaruh busway terhadap pengurangan
volume lalu lintas hanya terbatas pada jalurjalur
jalan yang menggunakan busway,
sedangkan pada jalur-jalur yang lain praktis
tidak mengalami perubahan yang berarti.
(b) Konsep pembatasan penumpang: (three in
one), yang diberlakukan pada ruas-ruas jalan
tertentu yang sangat padat, terutama pada
jam-jam sibuk (peak hours) masuk dan
pulang kerja. Pengaturan lalu lintas berupa
pembatasan penumpang (antara lain: “three
in one”) dapat mengurangi jumlah lalu lintas.
Namun di sini diperlukan pengawasan yang
ketat terhadap penggunaan “joki”, yang
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 29
dapat mengurangi efektivitas pembatasan
penumpang, selain kemungkinan terjadinya
penumpukan/kemacetan lalu lintas pada jalur
jalan yang lain (di luar jalur “three in one”).
Dalam hal ini usaha pembatasan penumpang
hanya bersifat mengalihkan sementara
kemacetan lalu lintas dari jalur utama ke
jalur-jalur yang lain.
Pemecahan hanya bersifat lokal (hanya jalur
tertentu saja) dan tidak menyeluruh, sehingga
kepadatan lalu lintas tetap terjadi pada jalurjalur
di luar jalur “three in one”.
Dengan demikian usaha pengurangan
volume lalu lintas kendaraan bermotor
dengan cara ini kurang atau bahkan tidak
efektif. Di samping itu di luar waktu
diberlakukannya “three in one”, lalu lintas
akan kembali berjalan sebagaimana biasanya.
Dengan demikian metode pembatasan
penumpang dapat dikatakan tidak efektif
mengurangi jumlah lalu lintas kendaraan
bermotor
(c) Pembatasan mobil pribadi: yang umumnya
dikenakan berdasarkan usia kendaraan.
Namun demikian cara ini tidak mudah dalam
pelaksanaannya. Untuk mengetahui tahun
pembuatan kendaraan bermotor, perlu dilihat
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang
dikeluarkan oleh pihak Kepolisian, dan ini
berarti harus menghentikan kendaraan untuk
memeriksanya. Sudah tentu hal ini akan sulit
dalam pelaksanaannya, di samping akibat
yang akan timbul berupa antrian kendaraan,
yang selanjutnya berakibat dengan terjadinya
kemacetan lalu lintas, khususnya pada jalurjalur
jalan yang padat lalu lintas.
Pembatasan mobil pribadi tanpa diikuti
pembenahan angkutan bis umum (kondisi
fisik, jumlah maupun trayeknya), akan
menimbulkan dampak sosial yang negatif.
Mengingat jumlah mobil pribadi di Jakarta
kurang dari 30% dari seluruh jumlah
kendaraan bermotor di Jakarta, maka usaha
pembatasan mobil pribadi untuk tujuan
menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas
kendaraan bermotor, akan kurang efektif.
(d) Pembatasan kendaraan umum. Cara ini
justru bertolakbelakang dengan tujuan
transportasi untuk umum (public
transportation), di samping jumlah
kendaraan umum yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah kendaraan
pribadi (jumlah kendaraan bis di kota Jakarta
hanya 8%, lihat Tabel 4.11). Pembatasan
kendaraan umum kurang berdampak
terhadap pengurangan volume lalu lintas,
bahkan sebaliknya dapat menimbulkan
masalah lain dalam transportasi umum.
(e) Usaha yang lebih berjangka panjang dengan
menambah jaringan jalan dan pembuatan
jalan-jalan layang (fly overs) atau
underpass untuk menghindari persimpanganpersimpangan
sebidang, yang berarti
mengurangi kemacetan lalu lintas. Tetapi
cara ini membutuhkan biaya yang sangat
besar, dan bila tidak dibarengi dengan
pembatasan produksi (atau impor) kendaraan
bermotor, pada suatu saat akan timbul
kembali masalah kepadatan lalu lintas.
(f) Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM)
dengan kereta rel (listrik atau diesel) dapat
mengurangi penggunaan angkutan umum bis,
mikrolet, dan sebagainya. Namun cara ini
membutuhkan biaya yang sangat besar.
Sama halnya dengan SAUM adalah sistem
MRT (Mass Rapid Transit) yang berupa
subway. Membangun subway secara finansial
tidak layak, karena biaya pembangunan yang
sangat tinggi, tetapi dari segi ekonomi dapat
disebut layak, karena sistem ini akan
mengurangi jumlah penggunaan kendaraan
pribadi, menghemat waktu.
Sebesar 75% dari biaya pembangunan
infrastruktur subway akan hilang (sunk cost),
karena itu bagian ini harus disubsidi oleh
pemerintah, sedangkan pengoperasiannya
dapat dilakukan oleh pihak swasta .
(e) Pembenahan angkutan umum (bis kota),
meliputi penggantian kendaraan bis dengan
kendaraan bis baru yang lebih baik dan lebih
laik jalan, disertai dengan pendidikan disiplin
bagi para pengemudi dan awak bis,
pengaturan jadwal dan rute bis yang lebih
menyeluruh dan menjangkau semua wilayah
dalam kota. Cara ini tidak terlalu mahal
dibandingkan dengan SAUM, MRT
(subway), atau pembuatan jalan layang dan
underpass, tetapi memerlukan kesungguhan
dan disiplin dari semua pihak (pengelola,
pengemudi, pengatur lalu lintas, dan
masyarakat).
Untuk menetapkan kebijakan yang tepat dalam usaha
menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas kendaraan
bermotor di perkotaan, digunakan metode proses
hirarki analitik (AHP = Analytic Hierarchy Process),
dengan melakukan analisis terhadap ke tujuh cara
yang telah disebutkan di atas meliputi empat aspek,
yaitu aspek lingkungan, aspek sosial dan budaya,
aspek ekonomi, dan aspek pengelolaan (manajemen).
30 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
Pola pikir untuk analisis dengan metode AHP, dapat digambarkan dalam skema (bagan) sebagai berikut:
Skema Hirarki untuk Analisis Tingkat Kepadatan Lalu Lintas di Perkotaan
Keterangan:
A = Penyediaan busway
B = Konsep pembatasan penumpang (three in one)
C = Pembatasan mobil pribadi
D = Pembatasan kendaraan umum
E = Menambah jaringan jalan dan pembuatan jalan-jalan layang atau underpass
F = Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) / Mass Rapid Transit (MRT)
G = Pembenahan Angkutan Umum (bis kota)
Perbandingan karakteristik dari semua aspek dan setiap cara dinyatakan dalam matriks sebagai berikut:
Tabel 1. Matriks perbandingan dari semua aspek
Aspek
Lingkungan
Aspek
Sosial dan Budaya
Aspek
Ekonomi
Aspek Pengelolaan
(Manajemen)
Aspek Lingkungan 1 2 4 5
Aspek Sosial dan Budaya 0,50 1 3 2
Aspek Ekonomi 0,25 0,33 1 4
Aspek Pengelolaan (Manajemen) 0,20 0,50 0,25 1
Perhitungan matriks untuk semua aspek:
1 2 4 5
0,50 1 3 2
0,25 0,33 1 4
0,20 0,50 0,25 1
Σ kolom = 1,95 3,83 8,25 12 = 26,03 (Σ total)
Dengan unsur-unsur pada tiap kolom dibagi dengan jumlah kolom yang bersangkutan, diperoleh matriks sbb :
0,51 0,52 0,48 0,42
0,26 0,26 0,36 0,17
0,13 0,09 0,12 0,33
0,10 0,13 0,03 0,08
Selanjutnya diambil rata-rata nilai untuk setiap baris, menghasilkan = 0,48 0,26 0,17 0,09
Vektor kolom ini kemudian dikalikan dengan matriks semula, menghasilkan nilai untuk tiap baris, yang
selanjutnya setiap nilai dibagi kembali sengan nilai vektor yang bersangkutan.
Tingkat kepadatan lalu
lintas di perkotaan
menurun
Aspek
Lingkungan
Aspek
Sosial dan
Budaya
Aspek
Ekonomi
Aspek
Pengelolaan
(Manajemen)
A B C D E F G
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 31
Nilai rata-rata dari hasil pembagian ini merupakan principal eigen value maksimum (λmaks).
0,48 1 2 4 5
0,26 0,5 1 3 2
0,17 0,25 0,33 1 4
0,09 0,20 0,50 0,25 1
4,342
4
= 17,368 = λmaks , mendekati 4
Consistency index (CI) diperoleh menurut rumus:
−1

=
n
n
CI maks λ
, dengan n adalah banyaknya unsur dalam matriks
0,114
3
0,342
4 1
4,342 4 = =


CI =
Selanjutnya Consistency Ratio (CR) dinyatakan dengan persamaan:
RI
CR = CI ,
dengan RI (Random Index), yang tergantung dari jumlah unsur dalam matrik (=n) menurut tabel berikut:
n = 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
RI = 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
(Saaty, Thomas L., 1980: hal. 21)
Untuk n = 4, RI = 0,90 CR = 0,114 / 0,90 = 0,127
Jadi: λmaks = 4,342 , mendekati n = 4 ; CI = 0,114 􀃆 cukup kecil ; CR = 0,127 􀃆 cukup kecil
Kesimpulan : hasil cukup konsisten
Untuk memperoleh vektor prioritas, setiap unsur di setiap baris dikalikan, dan selanjutnya ditarik akar
berpangkat n.
Hasil dari setiap baris ini kemudian dibagi dengan jumlah dari hasil semua baris.
1 2 4 5
0,50 1 3 2
0,25 0,33 1 4
0,20 0,50 0,25 1
vektor prioritas:
2,515 : 4,241 = 0,593
1,315 : 4,241 = 0,310
0,012 : 4,241 = 0,003
0,398 : 4,241 = 0,094
Tabel 2. Matriks perbandingan dari setiap aspek terhadap ke tujuh cara penanganan lalu lintas
(a) Aspek Lingkungan
A B C D E F G
A 1 0,80 0,50 3 2 0,50 0,50
B 1,25 1 0,75 2 4 0,50 0,50
C 2 1,33 1 4 5 1 0,75
D 0,33 0,50 0,25 1 1 0,33 0,25
E 0,50 0,25 0,20 1 1 0,40 0,33
F 2 2 1 3 2,50 1 0,80
G 2 2 1,33 4 3 1,25 1
= 2,13 : 0,48 = 4,438
1,19 : 0,26 = 4,577
0,74 : 0,17 = 4,353
0,36 : 0,09 = 4,000
Σ = 17,368
4
√ 1x2x4x5 = 2,515
4
4
4



0,50x1x3x2
0,25x0,33x1x4
0,20x0,50x0,25x1
=
=
=
1,316
0,012
0,398
Σ = 4,241
32 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
Perhitungan Matriks untuk Aspek Lingkungan
1 0,80 0,50 3 2 0,50 0,50
1,25 1 0,75 2 4 0,50 0,50
2 1,33 1 4 5 1 0,75
0,33 0,50 0,25 1 1 0,33 0,25
0,50 0,25 0,20 1 1 0,40 0,33
2 2 1 3 2,50 1 0,80
2 2 1,33 4 3 1,25 1
Σ kolom = 9,08 7,88 5,03 18 18,50 4,98 4,13 = 67,60
(Σ total)
Dengan unsur pada setiap kolom dibagi dengan jumlah pada kolom masing-masing, diperoleh matriks sebagai
berikut:
Σ Baris =
0,110 0,102 0,099 0,167 0,108 0,100 0,121 0,807
0,138 0,127 0,149 0,111 0,216 0,100 0,121 0,962
0,220 0,169 0,199 0,222 0,270 0,201 0,182 1,463
0,036 0,063 0,050 0,056 0,054 0,066 0,061 0,386
0,055 0,032 0,040 0,056 0,054 0,080 0,080 0,397
0,220 0,254 0,199 0,167 0,135 0,201 0,194 1,370
0,220 0,254 0,264 0,222 0,162 0,251 0,242 1,615
Hasil rata-rata untuk setiap baris = 0,115
(jumlah tiap baris dibagi n=7) 0,137 0,209 0,055 0,057 0,196 0,231
Nilai vektor kolom ini selanjutnya dikalikan dengan matriks semula, dan hasil perkalian kemudian dibagi
kembali dengan nilai vektor kolom yang bersangkutan. Hasilnya dirata-ratakan menjadi eigen value maksimum
(λmaks).
0,115 1 0,80 0,50 3 2 0,50 0,50 = 0,822 : 0,115 = 7,148
0,137 1,25 1 0,75 2 4 0,50 0,50 0,990 : 0,137 = 7,226
0,209 2 1,33 1 4 5 1 0,75 1,495 : 0,209 = 7,153
0,055 0,33 0,50 0,25 1 1 0,33 0,25 0,393 : 0,055 = 7,145
0,057 0,50 0,25 0,20 1 1 0,40 0,33 0,400 : 0,057 = 7,018
0,196 2 2 1 3 2,50 1 0,60 1,355 : 0,196 = 6,914
0,231 2 2 1,33 4 3 1,25 1 1,649 : 0,231 = 7,139
Σ = 49,743
n=7 dan RI = 1,32 􀃆 7,106
7
= 49,743 = λmaks , mendekati 7
0,018
7 1
7,106 7 =


CI = dan 0,014
1,32
CI = 0,018 = 􀃎 Cukup kecil
Kesimpulan : hasil cukup konsisten
(b) Aspek Sosial dan Budaya
A B C D E F G
A 1 2 3 5 1 0,75 0,50
B 0,50 1 1,50 3 0,80 0,50 0,50
C 0,33 0.67 1 3 0,60 0,40 0,25
D 0,20 0,33 0,33 1 0,50 0,25 0,25
E 1 1,25 1,67 2 1 0,75 0,50
F 1,33 2 2,50 4 1,33 1 0,75
G 2 2 4 4 2 1,33 1
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 33
Perhitungan matriks untuk Aspek Sosial dan Budaya
1 2 3 5 1 0,75 0,50
0,50 1 1,50 3 0,80 0,50 0,50
0,33 0,67 1 3 0,60 0,40 0,25
0,20 0,33 0,33 1 0,50 0,25 0,25
1 1,25 1,67 2 1 0,75 0,50
1,33 2 2,50 4 1,33 1 0,75
2 2 4 4 2 1,33 1
Σ kolom = 6,37 9,25 14 22 7,23 4,98 3,75 = 67,58
(Σ Total)
Dengan unsur pada setiap kolom dibagi dengan jumlah pada kolom masing-masing, diperoleh matriks sbb:
Σ Baris = Rata-rata =
0,157 0,216 0,214 0,227 0,138 0,151 0,133 1,236 0,177
0,078 0,108 0,107 0,136 0,111 0,100 0,133 0,773 0,111
0,052 0,072 0,071 0,136 0,083 0,080 0,067 0,561 0,080
0,031 0,036 0,024 0,045 0,069 0,050 0,067 0,322 0,046
0,157 0,135 0,119 0,091 0,138 0,151 0,133 0,924 0,132
0,209 0,216 0,179 0,182 0,184 0,201 0,200 1,371 0,196
0,314 0,216 0,286 0,182 0,277 0,267 0,267 1,805 0,258
Nilai vektor kolom ini dikalikan dengan matriks semula, kemudian hasil perkalian dibagi kembali dengan nilai
vektor kolom yang bersangkutan, dan hasilnya dirata-ratakan menjadi eigen value maksimum (λmaks).
0,177 1 2 3 5 1 0,75 0,50 = 1,277 : 0,177 = 7,215
0,111 0,50 1 1,50 3 0,80 0,50 0,50 0,790 : 0,111 = 7,117
0,080 0,33 0,67 1 3 0,60 0,40 0,25 0,572 : 0,080 = 7,150
0,046 0,20 0,33 0,33 1 0,50 0,25 0,25 0,308 : 0,046 = 6,696
0,132 1 1,25 1,67 2 1 0,75 0,50 0,950 : 0,132 = 7,197
0,196 1,33 2 2,50 4 1,33 1 0,75 1,407 : 0,196 = 7,179
0,258 2 2 4 4 2 1,33 1 1,863 : 0,258 = 7,221
Σ = 49,775
n=7 dan RI = 1,32 􀃆 7,111
7
= 49,775 = λmaks , mendekati 7
0,019
7 1
7,111 7 =


CI = dan 0,114
1,32
CI = 0,019 = 􀃎 Cukup kecil
Kesimpulan : hasil cukup konsisten
(c) Aspek Ekonomi
Perhitungan matriks untuk Aspek Ekonomi
1 0,50 0,25 0,25 1 2 3
2 1 0,60 0,50 2 3 4
4 1,67 1 0,75 3 4 4
4 2 1,33 1 3 5 6
1 0,50 0,33 0,33 1 2 3
0,50 0,33 0,25 0,20 0,50 1 1,50
0,33 0,25 0,25 0,17 0,33 0,67 1
____________________________________
Σ kolom = 12,83 6,25 4,01 3,20 10,83 17,67 22,50 = 77,29
(Σ Total)
A B C D E F G
A 1 0,50 0,25 0,25 1 2 3
B 2 1 0,60 0,50 2 3 4
C 4 1,67 1 0,75 3 4 4
D 4 2 1,33 1 3 5 6
E 1 0,50 0,33 0,33 1 2 3
F 0,50 0,33 0,25 0,20 0,50 1 1,50
G 0,33 0,25 0,25 0,17 0,33 0,67 1
34 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
Dengan unsur pada setiap kolom dibagi dengan jumlah pada kolom masing-masing, diperoleh matriks sbb:
Σ Baris = Rata-rata =
0,078 0,080 0,062 0,078 0,092 0,113 0,133 0,636 0,091
0,156 0,160 0,150 0,156 0,185 0,170 0,178 1,155 0,165
0,312 0,267 0,249 0,234 0,277 0,226 0,178 1,743 0,249
0,312 0,320 0,332 0,313 0,277 0,283 0,267 2,104 0,301
0,078 0,080 0,082 0,103 0,092 0,113 0,133 0,681 0,097
0,039 0,053 0,062 0,063 0,046 0,057 0,067 0,387 0,055
0,026 0,040 0,062 0,053 0,030 0,038 0,044 0,293 0,042
Nilai vektor kolom ini dikalikan dengan matriks semula, kemudian hasil perkalian dibagi kembali dengan nilai
vektor kolom yang bersangkutan, dan hasilnya dirata-ratakan menjadi eigen value maksimum (λmaks).
n=7 dan RI = 1,32 􀃆 7,133
7
= 49,929 = λmaks , mendekati 7
0,022
7 1
7,133 7 =


CI = dan 0,017
1,32
CI = 0,022 = 􀃎 Cukup kecil
Kesimpulan : hasil cukup konsisten
(d) Aspek Pengelolaan (Manajemen) :
Perhitungan matriks untuk Aspek Manajemen
1 0,50 0,50 0,50 0,25 3 4
2 1 1 3 0,50 5 6
2 1 1 2 0,50 4 4
2 0,33 0,50 1 0,25 3 4
4 2 2 4 1 6 6
0,33 0,20 0,25 0,33 0,17 1 2
0,25 0,17 0,25 0,25 0,17 0,50 1
Σ kolom = 11,58 5,20 5,50 11,08 2,84 22,50 27 = 85,70
(Σ Total)
Dengan unsur pada setiap kolom dibagi dengan jumlah pada kolom masing-masing, diperoleh matriks sbb:
Σ Baris = Rata-rata =
0,086 0,096 0,091 0,045 0,088 0,133 0,148 0,687 0,098
0,173 0,192 0,182 0,271 0,176 0,222 0,222 1,438 0,205
0,173 0,192 0,182 0,181 0,176 0,178 0,148 1,230 0,176
0,173 0,063 0,091 0,090 0,088 0,133 0,148 0,786 0,112
0,345 0,385 0,364 0,361 0,352 0,267 0,222 2,296 0,328
0,028 0,038 0,045 0,030 0,060 0,044 0,074 0,319 0,046
0,022 0,033 0,045 0,023 0,060 0,022 0,037 0,242 0,035
0,091 1 0,50 0,25 0,25 1 2 3 = 0,654 : 0,091 = 7,187
0,165 2 1 0,60 0,50 2 3 4 1,175 : 0,165 = 7,121
0,249 4 1,67 1 0,75 3 4 4 1,794 : 0,249 = 7,205
0,301 4 2 1,33 1 3 5 6 2,144 : 0,301 = 7,123
0,097 1 0,50 0,33 0,33 1 2 3 0,698 : 0,097 = 7,196
0,055 0,50 0,33 0,25 0,20 0,50 1 1,50 0,389 : 0,055 = 7,073
0,042 0,33 0,25 0,25 0,17 0,33 0,67 1 0,295 : 0,042 = 7,024
Σ = 49,929
A B C D E F G
A 1 0,50 0,50 0,50 0,25 3 4
B 2 1 1 3 0,50 5 6
C 2 1 1 2 0,50 4 4
D 2 0,33 0,50 1 0,25 3 4
E 4 2 2 4 1 6 6
F 0,33 0,20 0,25 0,33 0,17 1 2
G 0,25 0,17 0,25 0,25 0,17 0,50 1
Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 1, Januari 2006 35
Nilai vektor kolom ini dikalikan dengan matriks semula, kemudian hasil perkalian dibagi kembali dengan nilai
vektor kolom yang bersangkutan, dan hasilnya dirata-ratakan menjadi eigen value maksimum (λmaks).
0,098 1 0,50 0,50 0,50 0,25 3 4 = 0,705 : 0,098 = 7,194
0,205 2 1 1 3 0,50 5 6 1,517 : 0,205 = 7,400
0,176 2 1 1 2 0,50 4 4 1,289 : 0,176 = 7,324
0,112 2 0,33 0,50 1 0,25 3 4 0,824 : 0,112 = 7,357
0,328 4 2 2 4 1 6 6 2,416 : 0,328 = 7,366
0,046 0,33 0,20 0,25 0,33 0,17 1 2 0,326 : 0,046 = 7,087
0,035 0,25 0,17 0,25 0,25 0,17 0,50 1 0,246 : 0,035 = 7,029
Σ = 50,757
n=7 dan RI = 1,32 􀃆 7,250
7
= 50,757 = λmaks , mendekati 7
0,042
7 1
7,250 7 =


CI = dan 0,032
1,32
CI = 0,042 = 􀃎 Cukup kecil
Kesimpulan : hasil cukup konsisten
Peringkat keseluruhan semua metode terhadap ke-4 aspek di peroleh dari matriks berikut, selanjutnya dikalikan
dengan vektor prioritas dari matriks pertama (dari empat aspek) : 0,593 0,310 0,003 0,094
Tabel 3. Matriks hubungan metode-metode pembenahan lalu lintas dengan ke empat aspek
Hasil Perhitungan : A = 0,132
B = 0,135
C = 0,167
D = 0,059
E = 0,106
F = 0,181
G = 0,220
Σ = 1,000
Prioritas:
G. (Pembenahan Angkutan Umum/Bis Kota) = 0,220
F. (Sistem Angkutan Umum Massal/SAUM) = 0,181
C. (Pembatasan Mobil Pribadi) = 0,167
B. (Konsep Pembatasan Penumpang/3 in 1) = 0,135
A. (Penyediaan Busway) = 0,132
E. (Penambahan Jaringan Jalan, Fly Over dan Underpass) = 0,106
D. (Pembatasan Kendaraan Umum) = 0,059
Dari hasil perhitungan di atas ternyata pembenahan angkutan umum, dalam hal ini biskota, menjadi prioritas
utama dalam upaya menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor.
Aspek
Lingkungan
Aspek
Sosial dan Budaya
Aspek
Ekonomi
Aspek
Manajemen
A 0,115 0,177 0,091 0,098
B 0,137 0,111 0,165 0,205
C 0,209 0,080 0,249 0,176
D 0,055 0,046 0,301 0,112
E 0,057 0,132 0,097 0,328
F 0,196 0,196 0,055 0,046
G 0,231 0,258 0,042 0,035
36 Pemilihan Model Transportasi di DKI Jakarta (Haryono Sukarto)
KESIMPULAN dan PENUTUP
Kebijakan pembenahan angkutan umum merupakan
bagian dari sistem pengaturan lalu lintas. Pembenahan
ini harus pula diikuti dengan pengaturan pola tata
ruang, khususnya dalam pengaturan jalur lalu lintas,
di mana ada pemisahan untuk jalur bagi kendaraan
umum dan kendaraan beroda dua. Dengan demikian
pembenahan sistem lalu lintas di perkotaan,
khususnya di kota besar/metropolitan seperti Jakarta,
harus dilakukan secara terpadu (integrated) dan
menyeluruh (holistic). Perlu integrasi antara
perencanaan tata guna lahan dan sistem transportasi.
Sistem transportasi yang layak (feasible) harus
memenuhi beberapa kriteria, antara lain kecepatan
atau waktu tempuh yang singkat dan dapat
diperhitungkan, frekuensi pengangkutan, banyaknya
persinggahan dalam perjalanan, biaya/tarif angkutan
yang layak, jaminan keamanan, serta keselamatan
penumpang. Perlu pembenahan dalam sistem
angkutan umum, meliputi jarak jauh, menengah, dan
pendek, sesuai hirarki transportasi.
Sistem pengoperasian angkutan umum yang ada
sekarang di Jakarta, yaitu “sistem setoran”, harus
diganti dengan “sistem gaji” (yang layak). Dengan
sistem gaji, maka para pengemudi tidak perlu lagi
mengejar waktu setoran dengan mengebut
kendaraannya (ini salah satu penyebab keruwetan dan
kemacetan, serta kemungkinan kecelakaan lalu lintas),
sehingga lalu lintas akan menjadi lebih tertib dan
lancar.
Sistem rute angkutan penumpang yang ada saat ini,
yang masih bersifat “end to end”, atau dari satu titik
ke titik lain, banyak menimbulkan tumpang tindih
antara satu rute dengan rute yang lain. Di sini perlu
diterapkan kombinasi antara sistem koridor (corridor
system) dan sirkulator (circulator system). Sistem
koridor merupakan rute utama yang bersifat end to
end (atau bisa juga melingkar, tetapi masih di jalur
utama), sedangkan sistem sirkulator merupakan rute
memutar yang diperlukan sebagai feeder
(pengumpan) sistem koridor, yang dapat menjaring
penumpang sampai ke tingkat kompleks perumahan.
Dalam pembenahan sistem transportasi perlu
penerapan manajemen lalu lintas, antara lain dengan
membatasi gerak mobil pribadi sesuai ruang yang
dipakai. Prinsipnya adalah mengurangi jumlah
perjalanan dan memaksimalkan peran angkutan
umum.
Dengan demikian jelas diperlukan adanya kebijakan
pemerintah untuk membenahi sistem transportasi,
khususnya di Jakarta. Kebijakan ini lebih
dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan angkutan
umum yang layak dan dikelola dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Iskandar.(2001). “Manajemen Lalu Lintas
Perkotaan”, paper pada lokakarya: Integrated
Vehicle Emission Reduction Strategy, Jakarta,
16-17 Oktober 2001.
Bappeda DKI Jakarta.(1998). “Jakarta Transport
Demand Management Strategy 1998-2003,
Final Report”, 30 Oktober 1998.
Japan International Cooperation Agency (JICA) and
Bappenas.(2000). “The Study on Integrated
Transportation Master Plan for Jabodetabek
(Phase 2), Interim Report (1)”, October 2002.
Lubis, Harun al Rasyid S., Karsaman, dan Rudy
Hermawan.(1997).“Krisis Perencanaan
Transportasi Kota”, Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Vol.8 no.3, Juli 1997, hal.
19-28, Bandung.
Poernomosidhi, I.F.(2001). “Fungsi dan Manfaat
Perangkutan”, Seri Kajian, bahan kuliah:
Pengantar Transportasi, pada Program
Pascasarjana Ilmu Lingkungan, Universitas
Indonesia, Jakarta. .
Saaty, Thomas L.(1980). “The Analytical Hierarchy
Process. Planning, Priority Setting, Resource
Allocation”, McGraw-Hill, Inc., USA..
Sukarto, Haryono (2005).“Pencemaran Udara Akibat
Lalu Lintas Kendaraan Bermotor di Jakarta
(Suatu Kajian Dengan Menggunakan
Pendekatan Sistem Dinamik)”, Studi Hasil
Penelitian, Universitas Pelita Harapan,
Karawaci, Tangerang.
Tamin, Ofyar Z.(1992).“Pemecahan Kemacetan Lalu
Lintas Kota Besar”, Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, No.4, Triwulan II, Juni
1992, hal.10-17, Bandung.
__________ .(1999).“Konsep Manajemen Kebutuhan
Transportasi (MKT) Sebagai Alternatif
Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan di
DKI Jakarta”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota, Vol. 10 no.1, Maret 1999, hal.10-22,
Bandung.
Tamin, Ofyar Z., dan Frazila, Russ Bona.(1997).
“Penerapan Konsep Interaksi Tata Guna Lahan
– Sistem Transportasi Dalam Perencanaan
Sistem Jaringan Transportasi”, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 8 no.3,
Juli 1997, hal.34-48, Bandung.
Tumewu, Willy.(1997).“Arah Pengembangan
Transportasi Perkotaan di Indonesia”, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 8 no.3,
Juli 1997, hal.11-18, Bandung.