Powered By Blogger

Laman

Sabtu, 17 April 2010

ANALISIS ( TEORITIS DAN EMPIRIS ) PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN LAHAN DAN TERHADAP MIGRASI PENDUDUK

URBAN & REGIONAL PLANNING
ANALISIS ( TEORITIS DAN EMPIRIS ) PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN LAHAN DAN TERHADAP MIGRASI PENDUDUK



AHMAD ROYHAN M HARAHAP 06 0404 105













DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2010

ANALISIS (TEORITIS DAN EMPIRIS) PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN LAHAN DAN TERHADAP MIGRASI PENDUDUK

I. PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN
A. KEGUNAAN TATA GUNA LAHAN
 Antar guna lahan yang berdekatan agar tidak saling menganggu (misal: industri dekat permukiman; tempat pembuangan sampah akhir dekat permukiman).
 Guna lahan berdekatan dapat saling menunjang; dan guna lahan tertentu berlokasi lebih tepat (misal: perdagangan di pusat kota, sedangkan permukiman di sekitarnya agar belanja sama dekatnya dari semua asal perjalanan)
 Pengaturan sebaran guna lahan sedemikian rupa sehingga mempunyai pengaruh (beban) terbaik bagi transportasi

B. SISTEM-SISTEM YANG MEMPENGARUHI TATA GUNA LAHAN
 Sistem Kegiatan (guna lahan mencerminkan macam kegiatan yang berlangsung di atas lahan tsb.). Macam guna lahan: permukiman, perdagangan, perkantoran, pendidikan, rekreasi, industri, dsb
 Sistem Pengembangan lahan (ada lahan yang belum dikembangkan untuk fungsi perkotaan, dan ada yang sudah). Macam guna lahan: pertanian, hutan, dan area terbangunSistem Lingkungan (lokasi sumberdaya yang perelu dilindungi dan lokasi pemakai sumberdaya). Macam guna lahan: kawasan lindung, kawasan budidaya

C. TEORI EMPIRIS TATA GUNA LAHAN
 Konsep Zona Konsentrik (Burgess 1923, model ini diangkat dari kasus kota Chicago sbg. kota radial, berlapis-lapis)
 Konsep Sektor/Busur daerah (Hoyt 1939, memperbaiki konsep Konsentrik, bahwa ada area kota yang berkembang secara busur/sektor karena factor kebutuhan kedekatan antar guna lahan yang sama)
 Konsep Pusat Ganda (McKenzie 1933 dan Harris & Ullman 1945, berpendapat kota tdk selalu berkembang dari satu pusat kota tapi sering punya banyak pusat kota; makin besar kotanya, makin banyak pusatnya).
D. TEORI EKSPLANATORIS TATA GUNA LAHAN
 Teori Klasik guna lahan (Alonso 1960): bersumber pada teori ekonomi yaitu interaksi nilai lahan dan penggunaan lahan (antara permintaan dan penyediaan).
 Teori guna lahan yang berorientasi ke Transportasi (Wingo 1961) berbasis teori ekonomi yaitu keseimbangan antara kemampuan membayar transportasi dengan nilai lahan (akibat fungsi jarak ke pusat kota). Yang jauh, nilai lahan murah tapi biaya angkutan mahal.
 Teori nilai sosial (Walter Firey 1947) bahwa lahan tdk hanya dilihat secara ekonomis tapi juga nilai sosial, rasa (taste) dan simbol. Meskipun jauh dari kota bisa mahal karena sudah jadi simbol perumahan orang kaya.

CONTOH EMPIRIS ( KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO 1998 – 2004)

Pertambahan jumlah penduduk, baik yang bersifat alami maupun migrasi merupakan salah satu penyebab meningkatnya jumlah penduduk membawa pengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan ruang. Meningkatnya jumlah penduduk membawa pengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan akan permukiman, fasilitas jalan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas pelayanan umum dan lainnya. Hal ini juga terjadi di Wilayah Kecamatan Sukoharjo disajikan pada tebel 1.1 berikut.

Tabel 1.1. Data Jumlah Penduduk
Kecamatan Sukoharjo dirinci per kelurahan
Tahun 1998 & 2004.




Kabupaten Sukoharjo terdiri dari 12 Kecamatan yang terdiri dari 167 desa/kelurahan. Luas wilayah Kabuaten Sukoharjo tercatat 46.666 ha, di mana Kecamatan terluas adalah Kecamatan Polokarto yaitu 6.218 ha sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kartasura yaitu seluas 1.923 ha. Adapun lebih jelasnya disajikan pada tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Data Luas Wilayah Kabupaten Sukoharjo
Dirinci per Kecamatan Tahun 1998 dan 2004

Kecamatan Sukoharjo merupakan pusat Kota Kabupaten Sukoharjo, di mana berbagai jenis kegiatan berpusat di Kecamatan Sukoharjo. Secara administratif, di bagian Utara Kecamatan Sukoharjo berbatasan dengan Kecamatan Grogol, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Nguter, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bendosari, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tawangsari dan Kabupaten Klaten.

Berdasarkan pembagian wilayah administrasinya Kecamatan Sukoharjo dibagi menjadi 14 kelurahan, adapun disajikan pada gambar 1.1. Dalam strategi pengembangannya, Kota Kecamatan Sukoharjo dibagi menjadi 5 (lima) Bagian Wilayah Kota (BWK). Pembagian wilayah kota ini didasarkan pada struktur pelayanan yang direncanakan dan disesuaikan dengan kecenderungan perkembangan.

Adapun arahan pembagian BWK adalah sebagai berikut:

a). Bagian Wilayah Kota I (BWK I)
BWK I meliputi Kelurahan Sukoharjo, Jetis, Joho, Gayam dan mempunyai luas sekitar 1108 Ha. BWK I ini merupakan pusat perkembangan Kota Kecamatan Sukoharjo dan dilalui oleh jalan utama kota dan merupakan jalan regional di samping sebagai pusat kegiatan pelayanan umum tingkat Kabupaten juga merupakan titik pertumbuhan kota dan pusat kegiatan utama. Selain itu BWK I diperuntukan sebagai pusat pelayanan umum, perkantoran tingkat Kabupaten, perdagangan, jasa, permukiman, fasilitas social dan umum, campuran, industri dan transportasi dengan dominasi fungsi kawasan sebagai pelayanan umum dan perkantoran tingkat kabupaten.


b). Bagian Wilayah Kota II (BWK II)
BWK II meliputi Kelurahan Mandan dan Begajah dengan luas wilayah sekitar 536 Ha. Bagian Wilayah Kota II (BWK II) diperuntukan sebagai kawasan penunjang pusat kota, permukiman, pertanian, fasilitas sosial dan umum, transportasi dan fungsi campuran, dengan dominasi fungsi kawasan sebagai pemukiman.
c). Bagian Wilayah Kota III (BWK III)
BWK III meliputi Kelurahan Bulakrejo dan Sonorejo dengan luas wilayah sekitar 859 ha. Bagian Wilayah Kota III (BWK III ) diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman, fasilitas sosial dan umum, campuran dan pertanian, dengan domonasi fungsi kawasan sebagai kawasan pemukiman.
d). Bagian Wilayah Kota IV (BWK IV)
BWK IV meliputi wilayah Kelurahan Dukuh, Bulakan, Kriwen dengan luas wilayah sekitar 1009 ha. Bagian Wilayah Kota IV (BWK IV) diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman, industri non polutan, perdagangan jasa, fasilitas sosial dan umum, campuran dan pertanian dengan dominasi sebagai kawasan industri non polutan, perdagangan dan jasa.
e). Bagian Wilayah Kota V (BWK V)
BWK V meliputi wilayah Kelurahan Combongan, Kenep dan Banmati dengan luas wilayah sekitar 964 ha. Bagian Wilayah Kota V (BWK V) diperuntukkan sebagai kawasan permukiman, industri non polutan, fasilitas sosial dan umum, campuran dan pertanian dengan domonasi fungsi sebagai kawasan industri non polutan dan pertanian.
(RUTRK Kecamatan Sukoharjo tahun 2005).


II. KETERSEDIAAN LAHAN BUDI DAYA

Pertambahan penduduk kota di Indonesia mendorong meningkatnya kegiatan kehidupan sosial dan ekonomi di kota yang selanjutnya menyebabkan kenaikan kebutuhan akan lahan. Kebutuhan lahan wilayah perkotaan terutama berhubungan dengan perluasan ruang kota untuk digunakan bagi prasarana kota seperti perumahan, jaringan air minum, jaringan sanitasi, taman-taman kota dan lapangan olah raga. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhankebutuhan tersebut cenderung mengakibatkan kenaikan harga lahan yang selanjutnya mendorong meluasnya spekulasi tanah sehingga menyebabkan pola penggunaan lahan yang kurang efisien di perkotaan, selain itu perkembangan kota yang pesat akan cenderung menurunkan kualitas lingkungan kota, seperti menurunnya kapasitas dan kualitas air, terutama air tanah apabila tidak dikendalikan secara baik.



Jumlah penduduk yang selalu mengalami perubahan, mengakibatkan kebutuhan ruang sebagai wadah kegiatan perkotaan juga berubah terus menerus. Ruang dalam hal ini adalah lahan, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan kehidupan manusia, karena lahan merupakan wadah tempat berlangsungnya berbagai aktivitas untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, dinamika kehidupan sejumlah pcnduduk di suatu daerah akan tercermin hubungan interaksi aktivitas penduduk dengan lingkungannya.

Bertambahnya penghuni kota baik yang berasal dari penghuni kota maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong di dalam kota (Bintarto, 1977). Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pemekaran kota adalah masalah perumahan, masalah sampah, masalah bidang lalu-lintas, masalah kekurangan gedung seko1ah, masalah terdesaknya daerah persawahan di perbatasan luar kota dan masalah administratif pemerintahan (Bintarto, 1980). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan ruang-ruang kosong di dalam kota, sehingga mengakibatkan bentuk penggunaan lahan tidak hanya mengalami perubahan dari lahan kosong saja tetapi juga dari lahan yang sudah terbangun. Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, proses perubahan bentuk penggunaan lahan ini akan berlangsung terus-menerus secara berkesinambungan.

Berbagai bentuk pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada saat ini, terutama pembangunan yang bersifat fisik tidak luput dan kebutuhan akan lahan. Pemenuhan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan aktivitas manusia merupakan salah satu sebab terjadinya dinamika penggunaan lahan di atas disebabkan oleh faktor-faktor saling berpengaruh antara lain pertumbuhan penduduk, pemekaran atau perkembangan daerah terutama daerah perkotaan ke daerah pedesaan dan kebijaksanaan pembangunan pusat maupun daerah (Hauser, 1985 dalam Bintarto 1986).

A. Klasifikasi bentuk penggunaan lahan perkotaan
 Perumahan: termasuk lapangan rekreasi dan kuburan
 Lahan perusahaan terdiri dari, kantor-kantor non instansi pemerintahan, gudang.
 Lahan industri: Pabrik, percetakan dll
 Lahan untuk jasa: Rumah sakit, instansi pemerintahan, terminal, pasar, bank dll
 Lahan kosong



Ditinjau dari ruang dan waktu maka penggunaan lahan oleh manusia atas wilayah yang sedemikian luas dan terbesar seperti Indonesia adalah sangat komplit, sehingga untuk mengadakan inventarisasi dan yang lebih penting untuk memantaunya merupakan suatu tugas yang sangat besar bahkan ada periode dimana pembangunan dan kerusakan lahan sedang berjalan dengan kecepatan besar, maka kebutuhan akan data penggunaan lahan yang mutakhir pada saat ini dirasakan sangat penting (Malingreau, 1978 dalam Sugiharto Budi S, 1999).

Perubahan penggunaan lahan pada dasarnya adalah peralihan fungsi lahan yang tadinya untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Dengan perubahan penggunaan lahan tersebut daerah tersebut mengalami perkembangan, terutama adalah perkembangan jumlah sarana dan prasarana fisik baik berupa perekonomian, jalan maupun prasarana yang lain. Dalam perkembangannya perubahan lahan tersebut akan terdistribusi pada tempat-tempat tertentu yang mempunyai potensi yang baik. Selain distribusi perubahan penggunaan lahan akan mempunyai pola-pola perubahan penggunaan lahan menurut Bintarto (1977) pada distribusi perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dikelompokkan menjadi :
 Pola memanjang mengikuti jalan
 Pola memanjang mengikuti sungai
 Pola radial
 Pola tersebar
 Pola memanjang mengikuti garis pantai
 Pola memanjang mengikuti garis pantai dan rel kereta api

T. B Wadji Kamal (1987) menjelaskan pengertian perubahan penggunaan lahan yaitu : Perubahan penggunaan lahan yang dimaksud adalah perubahan penggunaan lahan dari fungsi tertentu, misalnya dari sawah berubah menjadi pemukiman atau tempat usaha, dari sawah kering berubah menjadi sawah irigasi atau yang lainnya. Faktor utama yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah jumlah penduduk yang semakin meningkat sehingga mendorong mereka untuk merubah lahan. Tingginya angka kelahiran dan perpindahan penduduk memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penggunaan lahan. Perubahan lahan juga bisa disebabkan adanya kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di suatu wilayah. Selain itu, pembangunan fasilitas sosial dan ekonomi seperti pembangunan pabrik juga membutuhkan lahan yang besar walaupun tidak diiringi dengan adanya pertumbuhan penduduk disuatu wilayah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi perubahan penggunaan lahan tersebut pada dasarnya adalah topografi dan potensi yang ada di masing-masing daerah dan migrasi penduduk.


III. MIGRASI PENDUDUK
Ada tiga dimensi penting dalam pembahasan tentang migrasi, yaitu : dimensi spasial, sektoral atau lapangan kerja (occupational), dan temporal. Migrasi dilihat dari dimensi spasial adalah menerangkan perpindahan penduduk atau mobilitas penduduk yang melintasi batas teritorial (administratif) atau geografi (Sudarmo, 1993). Salah satu bentuk migrasi secara spasial yang banyak terjadi adalah mobilitas penduduk desa-kota. Terjadinya gerak penduduk atau mobilitas tenaga kerja dari desa ke kota menunjukkan adanya ketidak seimbangan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja antara desa dan kota.
Migrasi dari dimensi sektoral melahirkan konsep mobilitas penduduk berdasarkan jenis pekerjaan (okupasi) baik yang sifatnya permanen atau musiman (Sumaryanto dan Pasaribu, 1996). Selain dimensi spasial dan sektoral, dimensi penting lainnya adalah dimensi temporal. Dimensi waktu ini melahirkan konsep migrasi komutasi, sirkulasi, dan permanen. Dalam kenyataannya, sangatlah sulit membahas masalah migrasi dengan konsep dimensi secara terpisah, karena antar dimensi tersebut saling terkait.

A. KONSEP DAN DEFENISI MIGRASI
Migrasi salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi.
Migrasi bersama dengan dua komponen lainnya, kelahiran dan kematian, mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah
Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional).
Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.
Ada dua dimensi penting dalam penalaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu.

Pendekatan kontekstual dalam analisis migrasi menekankan pentingnya factor kesempatan kerja, tingkat upah, serta aksessibilitas terhadap fasilitas sosial maupun ekonomi. Sementara itu, pendekatan expektasi dalam analisis migrasi menekankan pentingnya nilai dalam mempengaruhi niat bermigrasi seperti kemandirian, affiliasi, dan moralitas.

B. JENIS – JENIS MIGRASI
migrasi internasional,yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain
migrasi internal perpindahan yang terjadi dalam satu negara, misalnya antarpropinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan dan seterusnya. Jenis migrasi yang terjadi antar unit administratif selama masih dalam satu Negara



Perhitungan angka migrasi biasanya didasarkan pada tiga kriteria;
Pertama, life time migration(migrasi seumur hidup) yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempa tinggal waktu lahir
Kedua, recent migration yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal lima tahun sebelum survei.
Ketiga, total migration(migrasi total), yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila dia pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal waktu survei


C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI
1. Faktor Pendorong
Makin berkurangnya sumber sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barangt ertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu atau bahan dari pertanian.
Menyempitnya lapangan pekerjaan ditempatasal (misalnya tanah untuk pertanian diperdesaan yang makin menyempit).
Adanya tekanan-tekanan politik, agama, suku sehingga mengganggu hak azasi penduduk di daerah asal.
Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan
Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.






2. Faktor Penarik
Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup.
Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya
Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar tersebut


D. CONTOH EMPIRIS (Pulau Jawa : Jawa Barat, Banten, Bodetabek, Banten, Jateng, DIY, Jatim)

LATAR BELAKANG
Tantangan dan permasalahan kependudukan (besaran, sebaran, struktur) Fenomena migrasi di Indonesia (ketimpangan, motif ekonomi)􀃆push & pull factors (Skeldon, 1990) : keterkaitan migrasi dengan pembangunan Polamigrasi: pulau Jawa–JawaBarat+ Banten-Bodetabek Trend migrasirisen ke Jawa Baratter konsentrasi di Bodetabek 37% (2000) naik menjadi 49% (2005).


Trend Migrasi Masuk












Trend Pengangguran



Gambaran Umum Wilayah BODETABEK



Distribusi Migrasi Masuk ke BODETABEK Berdasarkan Daerah Asal

Distribusi Migran Riset Tenaga Kerja Menurut Daerah Asal Tahun 2005 Berdasarkan Kelompok Umur



Alasan Pindah Migran Asal Internal BODETABEK



Alasan Pindah Migran Asal Internal Jakarta




Alasan Pindah Migran Asal Internal DIY, Jateng, Jatim

1 komentar: